Sepuluh tahun kemudian...
"Astaga, sudah berapa kali aku bilang. Rapatkan kakimu!"
Seruan dari bibir Rosetta menggelegar di sepenjuru ruangan. Artha memundurkan sedikit langkahnya karena terkejut, lalu kembali menegakkan tubuhnya. Ia mengangkat roknya hingga setinggi lututnya, membuat Rosetta membelalakkan matanya.
"Kau gila, apa yang kau lakukan?!" pekiknya. Ia hendak mendekati Artha untuk menurunkan roknya, namun gadis itu langsung menghindarinya.
"Diam di situ! Akan aku tunjukkan mengapa aku tak bisa merapatkan kakiku saat berjalan." Artha merapatkan kakinya lalu memaksakan dirinya untuk berjalan. Belum mencapai tiga langkah, ia jatuh tersungkur.
"Lihat itu, aku akan jatuh jika merapatkan kakiku saat berjalan."
Rosetta memijat pelipisnya. "Baiklah. Kita tidak usah melakukan ini. Sekarang aku akan memberitahu tentang pernikahan, suatu saat nanti kamu akan menikah dengan pria pilihan Ayahmu."
"Oh astaga, kita sudah mempelajarinya kemarin."
"Sehari tidak cukup untuk mempelajari tentang arti pernikahan, Artha. Arti pernikahan itu sangat luas. Oh iya, sampai mana kemarin?"
Rosetta mengambil sebuah buku lalu membolak-balik halamannya. Tangannya berhenti di sebuah halaman. Setelah menatapnya beberapa saat, ia menyodorkannya pada Artha.
"Kemarin aku mengatakan akan memberitahumu kewajiban istri pada suaminya," ucapnya. "Seorang perempuan yang sudah dipersunting oleh seorang laki-laki akan menjadi istrinya. Istri memiliki kewajiban kepada suami, begitu juga sebaliknya.
"Istri harus melayani suaminya, menghormatinya, menjaga nama baik dan aibnya, dan tidak boleh menolak apapun yang di minta suaminya. Istri harus menuruti segala perintah suami; mau tidak mau, suka tidak suka."
Artha membaca kalimat-kalimat yang tertulis di atas muka halaman buku itu. Matanya memindai bacaan di sana dan meresapinya. Ia mengangkat kepalanya lalu menatap Rosetta yang masih mengawasinya.
"Apa menikah itu wajib?" tanyanya dengan tatapan polos. Rosetta mengangguk sebagai jawaban.
"Baik perempuan atau laki-laki yang sudah memasuki usia matang harus menikah, dan jika dirinya sudah siap menikah maka dia harus menikah," jelasnya. Artha mengangguk-angguk mengerti.
"Apa aku boleh tidak menikah?"
Rosetta mengerutkan dahinya. "Memangnya kenapa?"
"Aku rasa aku tidak ingin menikah, dan juga aku tidak siap."
Mendengar ucapan Artha, Rosetta murka. Ia memegang bahu Artha yang membuat gadis itu terkesiap.
"Jangan pernah sekali-kali kau mengatakan hal itu lagi, Artha. Sebagai seorang Putri Raja dan satu-satunya keturunan Kerajaan Ales, sudah seharusnya kamu menikah agar kerajaan ini memiliki penerus. Ingat, seorang perempuan tidak bisa menjadi pemimpin kerajaan."
"Lalu, apa arti pernikahan yang sebenarnya hanya untuk mendapatkan keturunan? Begitu?"
"Artha!"
Artha menegakkan punggungnya, merasa tidak takut dengan bentakan Rosetta tadi. Ia sudah terlalu terbiasa dengannya.
"Di sini tertulis, pernikahan didasarkan atas cinta. Nanti kelak aku akan dijodohkan dan tidak boleh menolak. Kenapa di sini tidak tertulis 'pernikahan bisa didasarkan atas keputusan orangtua atau kepentingan tertentu'?" ucapnya lagi. "Buku ini sangat naif."
"Artha! Diamlah!" seru Rosetta.
"Aku benar 'kan? Lagipula jika aku nanti jatuh cinta pada orang lain, semua orang tidak akan menyetujuinya. Apa kehidupan semua bangsawan seperti ini?"
"Astaga, Artha! Tidak bisakah kau diam? Sudah menjadi kodratnya seorang bangsawan seperti itu. Seorang bangsawan harus menikahi bangsawan lainnya, dan menikah dengan seorang yang bukan bangsawan adalah sesuatu yang terlarang," jelasnya dengan nada kesal. "Dan juga, kau memang seharusnya menikah saat kau sudah dewasa."
Artha berdecih. "Kamu tahu sesuatu, Nona Rosetta? Aku muak dengan semua ini, aku tidak akan lagi mengikuti pengajaranmu yang aneh ini."
Artha bangkit lalu keluar dari ruangan itu, meninggalkan Rosetta yang menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Ia menatap punggung Artha yang menjauh kemudian menghilang dari balik pintu. Semakin gadis itu beranjak dewasa, sikapnya semakin tak terkendali. Ia hanya khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi padanya suatu saat nanti.
°°
Artha mengetuk pintu kayu besar yang membatasi lorong dengan ruang perpustakaan. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dan menampilkan seorang wanita yang seumuran dengan ibunya. Dengan senyum cerahnya, wanita itu sedikit menundukkan kepalanya untuk memberi hormat kepada sang Putri.
"Selamat datang, Tuan Putri."
Artha balas menunduk. "Terima kasih, Bibi Marty. Apa saya boleh masuk?"
"Tentu saja boleh, Anda tidak perlu izin dari saya. Silahkan."
Marty mempersilakan gadis itu untuk memasuki ruang perpustakaan yang menjadi tempat favoritnya. Setiap hari, Artha selalu mendatanginya—entah untuk membaca beberapa buku atau hanya sekedar mengobrol dengan Marty atau anggota istana lain yang kebetulan juga tengah mendatangi perpustakaan. Hampir semua koleksi buku di sini sudah pernah dibaca olehnya.
"Sepertinya Anda membolos lagi, ya?" tanya Marty setelah melihat ke arah langit lewat jendela-jendela besar perpustakaan. Ia memandangi matahari yang belum seberapa tinggi.
Artha menyunggingkan senyum tipis. "Iya Bi."
"Sampai kapan Anda terus-terusan begini, Tuan? Ini akan berdampak buruk bagi masa depan Anda," ucap Marty kemudian. Artha mengambil salah satu buku di rak tertinggi lalu membukanya.
"Saya sedang tidak ingin mendengar nasihatmu, Bi. Aku ingin menyegarkan pikiranku."
Marty menghela napasnya. "Pasti berat menjadi seperti Anda, ya?"
"Tidak aku jawab pun Bibi pasti sudah mengetahui jawabannya 'kan?" Artha balik bertanya. "Aku hanya... lelah dengan semua tanggung jawab dan kewajiban itu. Semua orang di istana tak pernah memikirkannya."
Tangan Artha meremas buku di tangannya, meredam kekesalan yang berkecamuk dalam dirinya. "Aku tidak pernah menginginkan kehidupan seperti ini."
"Dan Anda tidak memiliki pilihan," sambung Marty. "Ini sudah menjadi takdir Anda, dan Anda tidak bisa memprotes karena yang membuat takdir itu adalah Tuhan. Kita hanya bisa menjalaninya saja."
Artha menutup bukunya lalu memberikannya pada Marty. Ia menyunggingkan senyum yang dipaksakan.
"Aku pergi dulu ya Bi," ucapnya lalu beranjak dari tempat itu.
°°
Artha mendorong pintu kamarnya dengan tenaga penuh. Alhasil, pintu itu menabrak dinding dan membuat suara debuman yang begitu kencang. Beberapa pelayan yang selalu berjaga di ruangan itu tampak terkejut, lalu memberi hormat padanya. Setelahnya, para pelayan itu meninggalkan kamar Artha karena setelah ini pasti gadis itu akan mengamuk.
"ARGH!!" teriaknya sambil melempar tubuhnya ke atas ranjangnya. Ia menenggelamkan wajahnya di bantalnya dan menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala emosi yang dipendamnya.
"Aku tidak mau menjadi seperti ini, aku tidak mau," gumamnya dengan suara parau yang terdengar memilukan.
Di tengah tangisnya, benda berwarna oranye yang sudah bertahun-tahun melingkar di pergelangan tangannya bercahaya. Cahaya itu menarik perhatian Artha dan membuat tangisnya sedikit mereda. Matanya terus menatap benda itu hingga cahayanya meredup. Senyum kecil terulas di bibirnya. Perasaan nyaman melingkupinya setelah gelang itu mengeluarkan cahaya.
Bukan hanya sekali ini saja gelang itu mengeluarkan cahaya misterius. Saat suasana hati Artha sedang tidak baik, gelang itu bercahaya. Ketika suasana hatinya sedang baik pun gelang itu tetap bercahaya. Sebenarnya Artha tidak menyukai aksesoris-aksesoris khas perempuan, apalagi mempunyai kekuatan magis aneh. Namun entah kenapa Artha tidak mau melepasnya.
Artha mengusap pipinya yang basah karena air mata. Ia kembali menatap gelang itu dan mengingat-ingat kembali bagaimana gelang itu diberikan padanya. Artha tidak begitu mengingat wajah si pemberi gelang, namun tanda yang smar terlihat di samping lehernya masih tergambar jelas di memorinya. Sejak pertemuannya terakhir kali dengan laki-laki itu, Artha tak pernah lagi melihat sosoknya di kerajaan.
"Paman," ucapnya pada gelang itu seolah-olah dirinya dapat berbicara dengan si laki-laki lewat benda itu. "Saya tidak pernah lagi melihat kamu di mana-mana. Kamu begitu misterius, saya punya firasat kamu bukan manusia. Buktinya, benda yang kamu berikan ini benar-benar aneh."
Artha tergelak, menertawakan tingkahnya sendiri yang benar-benar aneh. "Astaga, kalau ada yang melihatku mungkin aku akan disangka sudah gila."
Artha merubah posisinya menjadi duduk di atas ranjangnya. Ia menunduk menatap kedua tangannya yang tertaut dengan gelisah. Kepalanya tiba-tiba dipenuhi berbagai macam pikiran.
"Tapi sungguh, aku tidak bohong," gumamnya entah pada siapa. "Sepertinya paman itu—atau entah siapa itu—sepertinya dia bukan manusia."