Hutan Bidden; semua orang tahu hutan itu. Hutan rimbun nan rapat yang menjadi pembatas antara Kerajaan Ales dan Kerajaan Terra yang semula merupakan kerajaan yang sangat dekat sampai kejadian sepuluh tahun lalu membuat hubungan keduanya tak lagi sama. Karena konflik itu, hutan Bidden tak lagi sering dilalui manusia dan semakin menjadikannya tempat yang suram.
Sebenarnya, hutan Bidden menyimpan banyak misteri yang hingga kini belum bisa dipecahkan oleh manusia. Konon katanya, ada koloni makhluk ajaib yang tinggal jauh di kedalaman hutan yang gelap. Beberapa orang mengaku telah melihatnya, namun sama sekali tidak ada bukti yang menunjukkan eksistensi sang makhluk dan pada akhirnya tak ada seorang pun yang mempercayai pernyataan itu.
Tidak ada yang tahu, pernyataan itu ternyata memang benar.
Ya, makhluk magis itu benar-benar ada.
"KAK OXY!"
Saat ini, para makhluk magis itu tengah berlarian di tengah hutan; saling berkejaran memperebutkan sesuatu yang berada di genggaman salah satunya. Siapapun yang melihat rupa fisik makhluk itu, pasti akan tertegun karena mengaguminya. Fisik makhluk itu berkilauan; surainya yang legam berkilatan diterpa sinar matahari yang menembus pepohonan, kulitnya putih pucat berpendar, dan bola matanya yang berwarna biru kadang terlihat bercahaya.
Makhluk itu, mereka menyebut dirinya sendiri sebagai Elfys; si penjaga hutan yang diutus Sang Dewi Hutan.
Ignis mempercepat tempo larinya hanya untuk mencapai Oxy yang berlari dengan santai sambil tertawa mengejek. Wajahnya memerah kesal sementara tangannya berkali-kali menyambar benda yang berada di genggaman Oxy.
"Ayoooo tangkap ini! Ah, payah. Katanya kamu bisa lari dengan sangat cepat seperti kijang. Apa itu? Kura-kura saja lebih cepat darimu hahahahaha." Oxy tiada hentinya menertawakan si adik. Perhatiannya teralihkan dan tidak sadar ada akar pohon besar yang menghalangi langkahnya. Sedetik setelahnya, kakinya tersandung lalu dirinya terjerembab. Ignis menghentikan larinya lalu tertawa dengan sangat kencang, membuat para penghuni hutan terkejut mendengar gelegar tawanya.
"HAHAHAHAHA ASTAGA, RASAKAN ITU!" Ignis memegangi perutnya yang mulai nyeri karena terlalu banyak tertawa. Oxy mendengus kesal lalu berusaha bangkit meskipun rasa nyeri menyerang sekujur tubuhnya. Berbagai bentuk luka menghiasi tubuhnya, namun tangannya masih cukup mampu untuk menoyor kepala Ignis hingga pemuda itu sempat hampir terjatuh.
"Dasar, bukannya menolong. Aduh," ucap Oxy sambil meringis kesakitan. Ignis mengusap ujung matanya yang berair lalu perlahan menghentikan tawanya.
"Salah sendiri mengerjaiku, jangan harap aku akan menolongmu." Ignis kembali menertawakan Oxy. Tangannya terulur ke depan.
"Kembalikan buku catatanku, Kak," pintanya dengan ekspresi kesalnya. Oxy berdecak.
"Memohonlah."
"Apa?"
"Apa kurang jelas? Kamu harus memohon," ucap Oxy. "Seperti ini: 'Kak Oxy, Ignis mohon berikan buku catatan Ignis'. Begitu."
"Astaga, Kak!" rengek Ignis. Oxy menggeleng-geleng.
"Harus."
Ignis berdecak, sungguh dirinya sangat membenci ini. Dengan sangat terpaksa, Ignis menyatukan kedua tangannya di depan dadanya lalu memasang tampang memelas.
"Kak Oxy, Ignis mohon berikan buku catatan Ignis, ya?" ucapnya. Oxy langsung tertawa puas lalu memberikannya. Ignis bersorak senang lalu langsung memeluk benda itu.
"Memangnya isinya sangat penting, ya?" tanya Oxy yang dibalas anggukan kepala oleh Ignis. "Apa isinya?"
"Rahasia."
"Ah, tidak seru." Oxy mendecih lalu berjalan meninggalkan Ignis yang masih diam di tempatnya. Ignis membuka lembaran-lembaran bukunya dan memastikan isinya masih baik-baik saja.
"Akh!"
Pekikan tertahan itu membuat Oxy menoleh dan mendapati Ignis yang membungkukkan tubuhnya sambil memegangi dadanya. Pemuda itu tampak kesakitan.
"Ignis! Kamu kenapa?"
"Jangan!" seru Ignis sambil memberi gestur pada Oxy untuk tetap di tempatnya. "Tetap di situ, aku tidak apa-apa."
"Tapi Ignis—"
"Aku bilang, tetap di situ!"
Oxy terkejut dengan sikap Ignis yang tampak aneh. Ia mengira-ngira mengapa adiknya itu tiba-tiba marah. Setelah menemukan jawabannya, Oxy menghela napasnya.
"Karena anak manusia itu lagi?" tanyanya.
Ignis sudah jauh lebih tenang dan membaik. Ia menegakkan punggungnya lalu berbalik ke arah Oxy yang masih setia berdiri beberapa meter di belakangnya. Kepalanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan pemuda itu.
"Sudah hampir seminggu aku merasa tenang karena menerima emosi bahagia darinya, sekarang ia sepertinya sedang kesal sampai dadanya sesak lalu menangis."
"Kehidupannya begitu menyedihkan, huh?" ucap Oxy. "Menjadi manusia sungguh tidak menyenangkan."
"Dia hanya tidak beruntung saja, Kak. Rasanya aku ingin sekali menyelamatkannya—"
"Ignis!"
"Hah, apa? Kenapa kamu tiba-tiba membentakku?"
Oxy menatap Ignis dengan tatapan tajam. Ekspresi jenaka yang selalu terpasang di wajahnya sama sekali tak tampak. Jika sudah begini, Ignis tak berani untuk membuka mulutnya.
"Dewi Hutan sudah sangat sering memperingati kita, Ignis. Jangan sekali-kali ikut campur dengan urusan manusia," ucapnya. Ignis mengangguk.
"Iya Kak, aku hanya bicara saja kok. Aku tidak akan melakukannya."
Oxy mengangguk-angguk. "Sebaiknya jangan memikirkan hal itu lagi. Pikirkan saja bagaimana cara mengambil kembali gelang itu. Dan apa kamu tidak ingat bagaimana manusia membuat koloni kita sengsara?"
Oxy berjalan meninggalkan Ignis yang masih terdiam di tempat. Tangannya membuka buku catatannya yang dipenuhi kalimat-kalimat samar yang berasal dari hati si anak manusia yang dapat didengarnya karena gelang itu. Benda itu merupakan penghubung antara si pemberi dan si penerima gelang, dan seharusnya gelang itu memang diberikan pada gadis yang ia cintai suatu saat nanti. Tapi ya sudahlah, Ignis sudah terlanjur memberikannya.
Setiap kali emosi yang disalurkan gelang itu, pasti Ignis dapat mendengar suara hatinya. Seperti saat si anak manusia senang karena dapat membaca buku tanpa gangguan, kesal karena seseorang bernama Nona Rosetta, atau saat dirinya benar-benar merasa stress karena berbagai tekanan yang di dapatnya. Dari berbagai suara hatinya itu, Ignis dapat mengetahui si anak manusia itu memiliki kehidupan yang sangat menjamin namun dirinya sama sekali tidak merasa bahagia karena hal itu. Si anak manusia selalu mendapat tekanan dan paksaan, yang tentunya hal itu sangatlah tidak diinginkan olehnya. Ignis dapat menyimpulkan si anak manusia itu tengah tersiksa.
Empatinya selalu memaksa Ignis untuk menyelamatkan si anak manusia, menenangkannya dan membebaskannya dari kehidupannya yang sangat mengikat. Namun, seperti yang dikatakan Oxy tadi; ia tidak perlu repot ikut campur urusan manusia, apalagi menyelamatkannya dari nasibnya.
"Ingat Ignis, ingat. Jangan ikut campur," gumamnya pada dirinya sendiri.
°°
Terik matahari yang bertengger tepat di atas kepalanya begitu menusuk. Artha merapatkan jubah yang dikenakannya hingga cahaya matahari tidak bisa membakar kulitnya. Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada penjaga yang mengikutinya.
Beberapa saat yang lalu, Artha keluar dari istana tanpa sepengetahuan para penjaga ataupun orang-orang di istana. Kecuali Delia; gadis itu meminjamkan pakaiannya sebagai bagian dari penyamarannya agar tidak dikenali. Sudah sangat sering Artha melakukan ini dengan berbagai cara berbeda dan hanya Delia yang mengetahuinya. Ia sudah berkali-kali menasihatinya agar tidak terlalu sering kabur dari istana, namun gadis itu tetap keras kepala. Akhirnya Delia menyerah dan membebaskannya, asal Artha tidak akan melibatkannya saat dirinya tertangkap nanti.
Artha berjalan melewati pasar, pertokoan, dan juga pemukiman yang selalu ramai. Sesekali ia berhenti untuk membeli makanan atau minuman kesukaannya. Seperti yang ia duga, tak ada seorang pun yang mengenalinya dalam pakaian rakyat biasa. Rasanya ia ingin bersorak senang, ia harus memberitahukan hal ini pada Delia.
Artha terlalu asyik dengan kegiatannya berkeliling, sampai-sampai tidak sadar ada seorang penjaga yang mengenalinya. Penjaga itu berteriak memanggil teman-temannya. Dengan panik, Artha berlari meninggalkan toko kue yang sebelumnya ia singgahi. Ia mengangkat jubahnya tinggi-tinggi agar kakinya lebih leluasa mengambil langkah lebar-lebar.
"Tuan Putri Artha! Saya mohon untuk berhenti!"
Tentu saja Artha tidak akan menuruti perintah penjaga itu. Ia mempercepat larinya dan dengan lincah menyelinap di antara pertokoan warga, membuat penjaga-penjaga itu kewalahan.
"Oh, astaga."
Artha menghentikan larinya saat dirinya sudah berada di depan hutan Bidden yang terlihat gelap dan suram. Ia berpikir untuk lari dan bersembunyi di sana, namun sepertinya itu adalah ide yang buruk. Namun ia juga tidak ingin kembali ke istana itu dan akhirnya mendengar omelan Mendes.
"Tuan Putri, jangan ke sana! Itu berbahaya!" Seruan para penjaga itu kembali terdengar. Ia terdiam di tempatnya, kebingungan. Setelah beberapa saat berpikir dengan keras, akhirnya ia memilih untuk kembali lari dan memasuki hutan. Artha pikir penjaga itu akan berhenti mengejarnya begitu dirinya memasuki hutan, namun mereka masih tetap mengejarnya.
"Sial," umpatnya saat mengetahui penjaga itu masih mengejarnya. Matanya memandang sekeliling dengan was-was, takut jika akan ada binatang buas yang akan menyerangnya. Ia berlari semakin dalam menuju hutan hingga langkahnya kembali terhenti ketika dirinya dihadapkan dengan jalan yang bercabang.
"Aduh ini—aduh aku harus keman—AAAAKK!"
Lengannya ditarik oleh seseorang. Orang yang belum ia ketahui fisiknya itu menyembunyikannya di balik batang pohon besar. Artha sudah ingin membuka suaranya saat sebuah telapak tangan besar membekap mulutnya. Pria yang menariknya tadi memberinya isyarat untuk diam sementara dirinya memastikan keadaan disekitarnya aman. Artha menurut dan diam di tempatnya sambil memandangi pria di hadapannya. Matanya memicing, merasa wajah pria itu tidak asing.
"Tadi aku lihat Putri Artha lari ke sini."
"Lalu dia kemana? Aku tidak melihatnya dimana pun."
Kedua penjaga itu berdebat selama beberapa menit, sebelum akhirnya berpencar. Setelah dirasa aman, keduanya keluar dari tempat persembunyiannya. Artha menghela napas lega lalu menoleh pada pria itu. Lagi-lagi, Artha berusaha mengingat-ingat sosok di hadapannya itu. Pria itu membalas tatapannya lalu mengerutkan dahinya.
"Bukannya bilang terima kasih, kenapa kamu malah menatapku dengan tidak sopan seperti itu?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. "Ternyata kamu masih sama saja seperti dulu."
Artha ikut mengerutkan keningnya dan menatapnya bingung. "Dulu? Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Pertanyaan Artha itu membuat sang pria memekik tertahan. Sebelah tangannya menutup mulutnya, menambah kesan bahwa dirinya benar-benar terkejut.
"Astaga Artha, kamu melupakanku? Jahat sekali," ucapnya dengan nada sedih yang dibuat-buat. Artha berdecak kesal.
"Memangnya kamu siapa sih?"
Pria itu menunjuk dirinya sendiri. "Aku Josh, Joshua McKellen. Ingat?"