[PERINGATAN: ada adegan penyerangan]
Di kedalaman hutan Bidden yang jarang dijelajahi manusia, terdapat koloni peri hutan atau mereka menyebut dirinya sendiri dengan Elfys. Mereka hidup dengan damai, bahu membahu dalam menjaga kelestarian hutan. Koloni itu terbagi atas beberapa jenis Elfys; Plantys yang bertugas mengatur pertumbuhan tanaman dan menjaganya, Hydrys yang menjaga sungai dan danau yang berada di dalam hutan juga menjaga pasokan air di hutan, Animalys yang merupakan sahabat para hewan maupun serangga di hutan, Clymos yang bertugas menjaga suhu di dalam hutan agar tetap kondusif dan mengatur cuaca dan iklim hutan, Ecosys bertugas menjaga dan mengatur ekosistem hutan, dan Consys yang mengatur pemberdayaan sumber daya hutan dan memberi hukuman bagi yang menyalahgunakannya. Keenam jenis Elfys itu memiliki tanda di samping leher yang berbeda; yang membedakannya. Elfys tak pernah menampakkan dirinya di hadapan manusia. Namun jika terpaksa, mereka bisa berubah menyerupai manusia dan berbaur dengan mereka.
Selama bertahun-tahun lamanya, Elfys hidup dengan damai tanpa gangguan. Mereka hidup dengan bahagia meskipun sesekali mereka harus waspada ketika ada manusia yang memasuki hutan, seperti waktu Artha—seorang anak manusia—yang mengikuti Ignis dan memergokinya.
"Apa benar yang aku dengar, Ignis?" tanya Solum—Elfys tertua dari klan Tellus, klan-nya Ignis. Ia baru saja diberitahu Latisha tentang Ignis yang secara tidak sengaja bertemu dengan manusia saat Ignis membuka penyamarannya.
"Soal apa?"
"Kamu bertemu manusia saat menggunakan fisik aslimu?" tanyanya lagi. Bukannya menjawab, Ignis malah menyengir lebar.
"Itu tidak sengaja, Kak. Jadi, waktu itu aku membeli obat luka untuk Merry di pasar manusia karena tanaman obat stoknya habis," jelas Ignis. "Terus aku tidak sengaja menjatuhkan obatnya dan anak manusia itu menemukannya dan ingin mengembalikannya padaku. Mungkin di sepanjang jalan aku tak mendengarnya memanggilku jadi dia mengikutiku hingga masuk hutan."
Solum memijat pelipisnya. Bukan kali ini saja adik bungsunya itu membuatnya sakit kepala, bahkan sudah sangat sering. Jika sehari saja Ignis tidak membuat ulah, ia malah keheranan.
"Lalu, kamu memberikan gelang permata itu?"
Ignis gelagapan. "Ba-bagaimana—iya, Kak. Aku memberikannya sebagai tanda terima kasih."
"Kakak 'kan sudah memberitahumu kalau gelang itu harus kamu simpan untuk seseorang yang kamu cintai nantinya, sebagai tanda. Kenapa kamu malah memberikannya pada seorang anak manusia?" Solum menghela napas panjang. "Kamu tahu persis 'kan mencintai manusia itu sangat dilarang dan resikonya tinggi?"
Mata Ignis melebar. "Tapi aku tidak mencintainya, Kak!"
"Lalu kenapa kamu memberikannya? Kamu bisa memberikan yang lain, 'kan?"
Ignis terdiam. Pertanyaan itu terdengar mudah, namun tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Solum mengacak rambutnya frustrasi.
"Kakak akan memberimu hukuman," ujarnya kemudian. "Periksa semua burung yang sedang bertelur, sedang mengerami telurnya, atau yang sudah menetas. Setelah itu catat, lakukan itu selama setahun."
Ignis mendesah kecewa. "Tapi Kak—"
"Dan satu lagi, cari anak manusia itu lalu ambil kembali gelangnya."
"Itu pencurian Kak—"
"Kakak tidak menerima penolakan, cepat lakukan."
Solum beranjak pergi dari kamarnya dan meninggalkan Ignis yang berdecak kesal. Ia mendengus kesal lalu mengangkat kakinya keluar dari kamarnya untuk melakukan hukumannya. Jika ia menolak melakukannya, bisa-bisa Solum akan semakin murka padanya.
"Hei, Tara!" panggil Ignis pada seorang perempuan yang tengah berjalan melewati rumahnya. Perempuan itu menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Ignis.
"Ada apa?" tanya Tara yang merupakan Elfys Animalys, sama seperti Ignis. Ignis mempercepat langkahnya untuk menghampirinya.
"Hari ini tugasmu mencatat jumlah burung Kasuari, 'kan?" tanyanya yang dibalas anggukan. Ignis langsung sumringah.
"Apa aku boleh ikut?" tanyanya antusias. Tara mengerutkan dahinya.
"Hah tumben sekali, biasanya kamu benci pekerjaan ini?"
Ignis menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Aku mendapat hukuman setahun mencatat burung yang sedang bertelur, sedang mengerami, dan yang sudah menetas."
Tara tertawa kencang. Ia tertawa cukup lama sampai air mata membasahi pipinya. Tara baru berhenti tertawa ketika Ignis menoyor kepalanya hingga dirinya hampir terjungkal.
"Astaga, tidak bisakah kamu berhenti tertawa? Suara tawamu hampir menewaskan telingaku," ucapnya berlebihan. "Ayo berangkat, keburu malam."
"Eh," Tara menyela. "Pakai Rhenos*-mu saja."
"Kenapa tidak jalan saja?"
"Ih, capek tahu! Lagipula 'kan mumpung ada kamu, jadi lebih baik kita menggunakan kendaraanmu saja agar lebih menghemat waktu."
"Cih, dasar. Ya sudah, ayo!"
°°
Pria berpakaian serba hitam yang menyebabkan kematian Ratu Xenna itu berlari memasuki hutan Bidden. Begitu ia tahu kalau panahnya meleset, ia langsung berlari meninggalkan kompleks istana. Sepanjang pelariannya, ia merutuki dirinya sendiri dengan berbagai umpatan.
Di belakangnya, pasukan Raja Kris mengejarnya. Meskipun mereka dibekali senjata, mereka tak pernah sekalipun menembakkan panahnya untuk melumpuhkan pria itu. Raja Kris berpesan untuk tidak melukainya.
"Atas perintah Raja, tolong berhenti!" seru salah satunya. Pria itu berdecak lalu mempercepat larinya. Tangannya meraih beberapa anak panah kecil berisi racun yang tersemat di pinggangnya lalu melemparinya ke arah pasukan itu.
"Argh!" Salah satu panahnya mengenai satu dari lima pasukan itu. "Lukai saja dia!"
"Tapi Kak—"
"Panah saja kakinya!"
Pria itu terus berlari. Beberapa panah mulai menghujaninya. Dengan gerakan lincah dan gesit, pria itu berhasil menghindarinya.
"ARGH! BERHENTI KAU!"
°°
"Ignis,"
"Hm."
"Ignis."
"Hm?"
"Astaga, Ignis!"
"Ya Dewi Hutan, apa?!" Ignis menghentikan kegiatannya mencatat jumlah telur burung puyuh hutan. "Aku sudah menyahutmu, katakan saja kamu mau bilang apa?"
"Kamu tidak menyahutiku dengan benar," sungutnya kesal. Sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah panik. "Kamu dengar sesuatu tidak?"
"Dengar apa?"
"Tadi aku dengar seseorang berteriak, menyuruh seseorang untuk berhenti."
Ignis mengerutkan dahinya, bingung. "Maksudnya?"
"Ih, pokoknya tadi ada yang berteriak, seperti marah. Aku rasa itu manusia, sepertinya kita harus kembali ke desa," ucap Tara dengan nada cemas.
"Kamu ini bicara apa? Ini tinggal sedikit lagi. Setelah itu, aku janji kita langsung pulang."
"Sekarang saja."
"Nanti, Tara—"
"BERHENTI DI SITU!"
Seruan itu membuat keduanya mematung di tempat. Ignis menarik tangan Tara lalu membawanya menuju sebuah pohon besar untuk keduanya bersembunyi. Tara berlindung di balik punggung Ignis, sesekali ikut mengintip.
Pria itu masih berlari dan sesekali melempar anak panah beracunnya. Tembakannya terus saja meleset. Pria itu mengumpat keras lalu kembali berlari. Sekelompok pasukan itu menembakinya dengan puluhan anak panah yang anehnya selalu saja meleset.
"Kenapa manusia-manusia itu mengejar dan menyerang manusia berbaju hitam itu?" bisik Tara.
"Aku sering melihat manusia seperti itu. Biasanya manusia itu telah melakukan kejahatan. Jadi mereka mengejarnya untuk menghukumnya atas kejahatannya."
"Biasanya mereka melakukan kejahatan apa?" tanyanya lagi.
"Banyak. Mencuri, merampok, menipu, bahkan aku mendengar ada yang melakukan pembunuhan."
Tara meringis pelan. "Manusia benar-benar mengerikan."
Ignis mengangguk setuju. Keduanya masih mengawasi manusia-manusia itu dan menunggu kapan mereka pergi dari sana. Namun manusia-manusia itu malah sibuk saling menyerang.
"Astaga, ada apa dengan manusia-manusia ini?" gerutu Ignis.
"Manusia itu aneh seka—EH, SHERLY?" Tara terkesiap ketika menyadari seekor rusa betina tengah memakan rerumputan di dekat manusia-manusia itu. Ia langsung keluar dari persembunyiannya lalu berlari menghampirinya.
"Sherly siapa—Tara! Kamu mau kemana?"
Tara memeluk rusa betina itu untuk melindunginya. Ia begitu panik dan khawatir rusa betina itu akan terluka. Di waktu yang bersamaan, pria berpakaian serba hitam itu melemparkan anak panahnya yang terakhir. Sayangnya, tembakannya kembali meleset dan malah menancap di punggung Tara yang tengah mengajak si rusa betina untuk menjauh.
"Tara!" Ignis berseru panik. Ia terburu-buru menghampiri Tara yang mencoba meraih anak panah yang tertancap di punggungnya.
Seruan Ignis menarik perhatian pria itu dan membuatnya lengah. Tak ingin kehilangan kesempatan, salah satu pasukan itu langsung menembakkan anak panahnya ke arah kaki si pria. Anak panahnya tepat sasaran, pria itu langsung terjatuh. Ia mengerang kesakitan.
"Akhirnya, kau benar-benar menyusahkanku," ucap si pasukan. "Ayo, ikut aku ke istana."
Sekelompok pasukan itu membawa si pria berbaju hitam yang masih mengeluarkan berbagai kata umpatan. Pasukan itu berjalan menjauh, namun satu di antaranya masih terdiam di tempat. Ia menatap Ignis yang bergerak panik ketika tubuh Tara mulai melemas dan kulitnya makin pucat.
"Tara, sadarlah! Jangan pejamkan matamu, bertahanlah! Aku akan membawamu ke desa, oke?" Ia berucap cemas. Si lawan bicara hanya bisa menatapnya dengan pandangan sayu.
"Dia tidak akan bisa diselamatkan."
Ignis terkesiap saat mendengar seseorang bicara padanya. Ia menoleh dan mendapati seorang manusia berdiri di dekatnya.
"M-manusia?!" Ignis terbata. Ia memeluk Tara, berjaga-jaga jika saja sewaktu-waktu manusia itu akan menyerangnya.
"Tenang, aku tidak akan menyakitimu," ucapnya tenang. "Aku hanya ingin memberitahumu, anak panah yang menancap padanya tadi adalah panah beracun."
"A-apa ada penawarnya?"
"Dilihat dari reaksi yang timbul di rekanku yang juga terkena racunnya tadi, itu adalah jenis racun paling mematikan bagi manusia. Para manusia sengaja memakainya untuk senjata karena tidak ada penawar untuk racun ini," jelasnya. "Apalagi, fisik Elfys lebih lemah dari manusia. Dia akan meninggal lebih cepat."
Ignis gemetar. Ia menatap wajah Tara yang sama sekali tidak menunjukkan harapan. Tara tersenyum kecil, seolah-olah mengatakan padanya kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Tidak... apa-apa, Ignis. A-aku... juga... tidak yakin bisa... b-bertahan."
"Jangan mengatakan itu, Bodoh. Apa yang akan aku katakan pada yang lain?" Air mata Ignis mendesak keluar. Sebisa mungkin ia menahannya.
"Katakan saja yang... sebenarnya."
Tara memejamkan matanya sambil meringis pelan. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, rasanya seperti ada yang meremuk tubuhnya dari dalam. Si pasukan itu menyentuh dahinya lalu membelainya pelan. Ringisan Tara perlahan luntur tergantikan dengan senyum. Ignis menatapnya bingung.
"Kenapa kamu tersenyum, Tara?" tanyanya. Namun percuma saja, Tara tidak menjawab.
"Dia sudah pergi dengan tenang," ucap si pasukan itu. "Maafkan aku, tapi aku harus membiarkannya pergi agar dia tidak lagi merasakan sakit."
Air mata yang sedari tadi ditahannya pun akhirnya lolos. Ignis memeluk tubuh Tara yang tak lagi bernyawa. Tangisannya terdengar memilukan di antara keheningan hutan. Seisi hutan pun seolah-olah ikut bersedih karena salah satu penjaganya pergi ke hadirat Sang Dewi.
"Tubuhnya akan menjadi debu setelah dua puluh empat jam, segera bawa dia ke desa."
Ignis mengangkat kepalanya lalu menatap pria itu dengan sorot kebingungan di balik matanya yang berair. Sejak awal, ia tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba mendatanginya dan berucap seolah-olah ia mengetahui segalanya.
"Sebenarnya, Anda siapa?" tanyanya langsung. Pria itu menyunggingkan senyum kecil.
"Aku bagian dari kalian."
°°
*Rhenos: kendaraan Elfys, berbentuk seperti badak dan bisa terbang.