Pintu aula istana terbuka, menarik atensi orang-orang yang berada di dalamnya. Pasukan utusan Kris berjalan memasuki aula sambil menyeret seorang pria berbaju hitam yang tangannya telah diikat. Sesampainya di hadapan sang Raja, mereka mendorongnya hingga tersungkur.
"Dia pelakunya, Yang Mulia," ucap salah satunya. "Dia membawa busur panah yang menjadi senjatanya."
Kris bangkit dan berjalan mendekat sambil menatap pria itu yang tengah kesulitan untuk kembali bangun. Ia menarik paksa lengannya hingga pria itu akhirnya berdiri tegak.
"Apa-apaan ini?! Apa tidak ada yang menjaga? Mengapa seorang pembunuh bisa masuk sembarangan ke dalam wilayah istana?!" ucapnya penuh kemarahan.
"Kami semua sudah memeriksa semua orang yang akan memasuki wilayah istana, Yang Mulia."
"Lalu apa ini?! Ratu Xenna terbunuh karenanya! Aku tidak akan segan-segan membunuh seseorang yang membuat dia berhasil masuk ke wilayah istana."
Kris beralih pada pria itu yang tengah menatapnya dengan tatapan angkuh. Ia melepas cadar yang menutupi sebagian wajahnya dengan sekali sentakan. Matanya terbelalak melihat wajah di balik cadar itu.
"Kak... Marvin?"
"Halo, Adik." Marvin menyunggingkan senyum lebar. "Apa kamu merindukanku?"
Kris kehilangan kata-katanya. Ia hanya menatap paras kakaknya yang sudah lama tak ia lihat itu. Peristiwa beberapa tahun silam melintas di benaknya.
"Apa yang kamu lakukan, Kak? Apa kamu sudah gila? Mengapa kamu melakukan itu?" tanyanya bertubi-tubi. Marvin tertawa pelan sebagai balasannya.
"Kelihatannya kamu benar-benar merindukanku ya, sampai-sampai pertanyaanmu sebegitu banyaknya," sahutnya. "Yah, tadinya aku ingin menghabisimu. Sayangnya panahku meleset, sepertinya aku terlalu terburu-buru."
"Astaga, tujuanmu masih sama? Mau sampai kapan?"
"Sampai aku mendapatkan apa yang aku mau." Marvin mengeratkan rahangnya. Kedua bersaudara itu saling beradu tatapan tajam, seolah-olah mereka dapat saling membunuh lewat matanya.
"Apa dengan mengusirmu saja tidak cukup? Apa yang harus aku lakukan agar kamu berhenti?" tanya Kris dengan nada dingin yang menusuk. Pasukannya yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka perlahan mengambil langkah mundur untuk memberi mereka ruang.
"Berikan takhtamu."
Kris tertawa sarkastis. "Kenapa aku harus?"
"Karena seharusnya aku yang berada di posisimu!" Nada suara Marvin meninggi. "Aku adalah anak pertama dan sudah seharusnya aku menduduki takhta itu!"
"Kamu tahu kenapa kamu tidak bisa mendapatkan takhta kerajaan? Itu karena Ayah tahu kamu tidak mampu," jawabnya. "Kamu hanya mementingkan kepentingan dirimu sendiri, harta, dan kekuasaan. Hanya itu. Kamu bahkan tidak pernah repot memikirkan tentang rakyatmu sendiri. Dari dulu, kamu memanglah seperti itu. Kamu tidak memiliki empati."
"Lalu, apa kamu tahu penyebab aku bisa menjadi seperti ini?" balasnya, tak mau kalah. "Orangtua kita hanya memedulikanmu, semua hanya tentangmu! Selalu saja aku yang disalahkan kalau kamu kenapa-kenapa. Mereka selalu repot memedulikanmu, sementara aku selalu terabaikan! Bahkan hingga di detik terakhir, Ayah memberikan takhtanya padamu. Kehidupanmu benar-benar nyaman, ya? Sedangkan aku selalu saja menderita."
Kris menatap manik cokelatnya yang dipenuhi amarah dan dendam. Ia masih berharap dapat menemukan kebaikan di hati Marvin, namun hingga saat ini ia belum berhasil menemukannya.
"Aku selalu berharap ada kebaikan dalam dirimu, Kak. Tapi aku rasa memang kamu tidak memilikinya," ucapnya. "Tapi apa harus dengan membunuh?"
"Satu-satunya cara untuk menyingkirkanmu dengan cepat hanya dengan membunuhmu."
Keduanya terus bersitegang, tanpa menyadari sepasang mata tengah mengawasi dari kejauhan. Reitz mengeratkan kepalan tangannya demi menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya. Ia menatap Marvin yang masih melemparkan tatapan sengitnya ke arah Kris. Rasanya ia benar-benar ingin menghajar wajah itu.
"Sayangnya, keberuntungan tak berpihak padamu, Kak. Tapi tetap saja, kamu harus membayar perbuatanmu itu." Kris menarik lengan Marvin dengan paksa, sebelum pria itu menyentaknya dan pegangannya terlepas. Marvin menendang tubuh Kris hingga pria itu terjatuh. Sebelum ia sempat melepaskan tendangannya lagi, tubuhnya terhuyung ke belakang dan terjatuh setelah Reitz menariknya. Kemudian Reitz menginjak punggungnya agar Marvin tidak bisa bangkit lagi.
"Argh, sialan! Siapa kau?!" bentak Marvin. Reitz sedikit membungkuk lalu menarik rambut Marvin hingga wajahnya terangkat. Ia mendekatkan bibirnya ke samping wajah Marvin.
"Akulah yang akan mengambil nyawamu, seperti bagaimana kau mengambil nyawa istriku."
Reitz melepaskan tangannya dari rambut pria itu. "Harry, Orion. Bawa pembunuh ini. Dia akan menjadi tahanan hukuman mati."
Dua pria memasuki ruangan lalu membawa Marvin atas perintah Reitz. Sebelum benar-benar pergi, Marvin menyempatkan dirinya untuk melihat Kris yang tengah berusaha berdiri dibantu Reitz. Pandangan keduanya kembali bertemu. Marvin menyunggingkan senyum miringnya.
"Kamu masih sama, Dik. Kemampuan fisikmu masih payah," ujarnya. "Otakmu memang cerdas, tapi tidak dengan tubuhmu. Perbaikilah itu."
Dua pria itu menyentaknya dan membuatnya kembali melangkah keluar ruangan, meninggalkan Kris yang tertegun setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Marvin. Suara Reitz menyadarkan lamunannya.
"Apa kamu mengatakan sesuatu, Reitz?"
"Aku memikirkan ini sedari tadi," ucap Reitz. "Aku ingin membatalkan perjodohan Josh dan Artha."
Kris menoleh dan menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Kenapa? Apa ini karena kejadian hari ini? A-aku minta maaf Reitz, aku sungguh minta maaf. Orang-orangku sangat lalai, maafkan aku."
Reitz menggeleng. "Ini sama sekali bukan salahmu. Hanya saja, aku tidak bisa melakukannya. Jika saja pelakunya bukan seseorang yang memiliki hubungan denganmu, mungkin itu tidak akan apa-apa."
Kris menghela napasnya. Kepalanya terasa berat seperti ada beban yang menimpanya.
"Baiklah, aku bisa mengerti itu."
"Dan juga," Reitz kembali berucap. "Sepertinya aku tidak akan pernah kemari lagi. Aku hanya... tidak bisa."
"Apa kamu yakin, Reitz? Aku tahu, ini memang sangat berat bagimu. Tapi, apa harus kamu melakukan ini?"
Giliran Reitz yang menghela napasnya. "Maafkan aku, Kris."
Sepasang mata mengintip dari balik pintu besar ruangan itu. Gurat kecewa tersirat di wajahnya. Ia melangkah mundur lalu berjalan menjauhi pintu itu. Kakinya melangkah dengan gontai.
Semua kejadian hari ini seolah menghajarnya bertubi-tubi. Ibunya pergi meninggalkannya, dan kemungkinan dirinya tak lagi bisa bertemu dengan satu-satunya teman baiknya. Jiwanya memberontak dan ingin mengutarakan segala protes, namun dirinya hanya seorang bocah yang perkataannya tak pernah didengar oleh para orang dewasa. Terkadang Josh bertanya-tanya; kenapa orang dewasa berlaku semena-mena seperti itu?
"Josh, kamu habis kemana? Aku mencarimu kemana-mana, sampai-sampai aku harus bertanya pada semua orang." Artha muncul entah dari mana tepat di hadapannya. Mata Josh langsung jatuh pada boneka Artha yang seharusnya diberikan padanya. Sebelah tangan boneka itu tampak patah.
"Astaga, aku merusaknya ya?" tanya Josh, mengabaikan pertanyaan Artha. Gadis itu menatap boneka yang berada di genggamannya itu.
"Iya nih, kamu tidak menjaga barang yang aku berikan dengan baik," ucap Artha dengan mimik wajah sendu. Perasaan bersalah melingkupinya.
"M-maafkan aku," ucapnya.
"Aku akan meminta Bibi Marty untuk memperbaikinya—"
"Tidak perlu, Artha." Josh menahan lengan Artha yang bersiap untuk menghampiri salah satu pelayannya. "Berikan saja padaku, aku akan memperbaikinya nanti."
"Tapi boneka ini rusak, aku akan memberikan boneka lain yang lebih bagus."
"Tidak apa-apa, dari awal kamu ingin memberikan boneka ini kepadaku 'kan?" Josh menengadahkan telapak tangannya. "Berikan saja padaku."
Dengan terpaksa, Artha memberikan boneka itu pada Josh dan memberikan bagian lengannya yang patah. Josh menerimanya dan memeluk benda itu.
"Artha," panggil Josh. "Aku rasa, setelah ini kita tidak akan bisa bertemu lagi."
Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan tepat setelah Josh mengatakan kalimatnya. Perasaan bingung, kesal, sedih; semuanya bercampur menjadi satu.
"Kenapa? Apa aku membuat suatu kesalahan?"
Josh menggeleng. "Tidak tidak, kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Aku hanya merasa, aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi setelah ini," ujarnya sambil tersenyum paksa. "Keadaannya akan berubah."
Artha menunduk. Melihatnya, Josh turut merasa bersedih. Ia mendekat lalu merengkuh tubuhnya.
"Jangan sedih begitu, kita masih bisa saling mengirim surat."
"Itu tidak sama," keluhnya. "Aku ingin selalu bermain denganmu."
"Di pikiranmu ini hanya ada bermain ya?" Josh tertawa sambil melepas pelukannya. Artha mengerucutkan bibirnya, namun setelahnya ikut tertawa.
"Aku janji, suatu saat nanti kita akan kembali bertemu."
°°
Ignis membopong tubuh Tara yang sudah tak bernyawa di punggungnya. Sedari tadi tangisnya tak kunjung berhenti, berharap Tara hanya sedang bercanda dan tiba-tiba terbangun. Namun suhu tubuhnya yang semakin rendah membuatnya terpaksa menerima kenyataan.
Ignis berjalan terburu-buru setelah turun dari Rhones. Alhasil, kaki putihnya terluka karena tanaman-tanaman tajam yang menggoresnya. Ia tidak memedulikan itu, yang terpenting ia harus segera memberi tahu penduduk desa.
"KAK SOLUM!" Hal pertama yang ia lakukan setelah berhasil memasuki desa adalah berteriak memanggil kakaknya. Entah di mana laki-laki itu berada, Ignis hanya merasa harus memanggilnya. Teriakannya itu menarik perhatian orang-orang, dan juga kepanikan.
"Apa yang terjadi pada Tara? Kenapa dia sangat pucat?"
"Ignis, Tara kenapa?"
"Apa kalian baik-baik saja? Apa yang terjadi?"
Ignis tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu. Kakinya terus melangkah menuju bangunan utama di desa Elfys. Biasanya Solum berada di situ.
"Kak Solum!" panggilnya lagi. Tepat setelahnya, sesosok pria tinggi keluar dari bangunan itu diikuti beberapa Elfys di belakangnya. Solum sudah bersiap mengomelinya lagi sebelum akhirnya tertegun melihat keadaan Ignis yang begitu kacau, di tambah tubuh lemas yang bersandar di punggungnya.
"Ignis?"
"Kak," isaknya. "Tara terkena panah beracun milik seorang manusia."
Solum langsung menghampirinya dan menurunkan tubuh Tara dari punggungnya. Ia tersentak ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Tara yang memiliki suhu tak wajar. Perasaan tidak enak langsung merayapinya.
Solum memeriksa tanda di samping leher gadis itu dan mendapati tanda itu hampir memudar, yang menandakan sesuatu telah terjadi padanya.
"Lalu apa yang terjadi? Apa kamu sudah memberinya penawar atau sesuatu?" tanya Solum pada Ignis yang tengah mengatur napasnya.
Ignis menggeleng. "Seseorang berkata padaku, kalau racun itu tidak memiliki penawar. Racunnya adalah racun paling berbahaya, bahkan manusia yang terkena racun ini pun tidak akan selamat."
Sebuah tinju mendarat di pipi tembamnya. Solum terkejut lalu menoleh ke arah si pelaku--Nathan. Ia baru saja ingin bangkit ketika Oxy menarik pakaian yang dikenakan pemuda itu.
"Apa kau gila?! Kenapa kau memukul adikku?" tanyanya penuh emosi. Keduanya saling melempar tatapan sengitnya.
"Kau masih bertanya kenapa aku melakukannya? Adikmu itu pergi bersama dengan kekasihku! Sudah seharusnya dia bertanggungjawab atas kematiannya!" Nathan memegang tangan Oxy lalu menyentaknya. "Dia yang terakhir kali bersama dengan Tara."
"Aku sudah berusaha melindunginya saat manusia-manusia itu datang, Nathan. Tapi tiba-tiba saja Tara mendekati seekor rusa lalu tertembak panah itu," sambung Ignis yang tengah memegangi pipinya yang berdenyut.
"Jadi kau menyalahkan Tara?"
"Astaga, diamlah!" Eros--tetua di desa itu akhirnya membuka suara. Ketiganya langsung membungkam mulutnya begitu pria itu mendekat.
Eros berlutut di samping tubuh Tara. Ia menatap gadis itu dengan tatapan sendu. Ia menyentuh tandanya yang memudar lalu mengusapnya. Perlahan-lahan, tanda itu menghilang dan rambut legamnya memutih. Para Elfys menundukkan kepalanya lalu mendoakan Tara yang telah pergi ke hadirat Sang Dewi Hutan.
"Setelah matahari terbenam, kita akan membawanya ke bawah Pohon Agung," ujarnya kemudian. "Dan kalian semua, tolong ikhlaskan kepergiannya--terutama dirimu, Nathan. Kematiannya bukan karena kesalahan siapapun, ini semua kehendak Dewi."
"Bukankah yang seharusnya disalahkan manusia-manusia itu?" sahut seseorang. "Ini bukan kali pertama manusia itu merenggut nyawa seorang Elfys, ini sudah cukup sering."
Para Elfys itu menyetujui perkataannya. Suasana menjadi penuh dengan kalimat-kalimat yang menjelek-jelekkan manusia. Eros menghela napasnya lalu menyuruh mereka yang ada di sana untuk diam.
"Lalu jika ini karena manusia, kita harus apa? Melawan mereka? Itu sama saja dengan bunuh diri," balas Nathan.
"Tapi apakah kita harus diam saja, begitu? Kalau begini caranya, lama-kelamaan kita akan musnah. Apa kita harus terus-menerus bersembunyi?"
"Kenyataannya memang seperti itu, Nino. Kita memang memiliki kekuatan untuk melawan mereka, hanya saja mereka terlalu banyak. Apa yang kita harapkan?"
Semuanya terdiam. Masalah ini sudah menjadi masalah yang belum bisa terselesaikan oleh Elfys sejak dahulu. Harus bersembunyi demi keselamatan, namun tetap saja mereka tidak aman.
"Tuan Eros, bagaimana jika kita pindah dari sini? Pindah ke hutan yang lebih jauh dari jangkauan manusia. Saya pikir, hutan ini tak lagi aman bagi kita," usul seorang Elfys.
"Lalu bagaimana dengan hutan ini? Hutan ini masih membutuhkan penjaga."
"Klan kami akan tetap di sini," ucap Solum, mengalihkan atensi banyak orang ke arahnya.
"Serius, Kak?" Aqua yang jarang sekali berkomentar di suasana seperti ini membuka suaranya. Solum mengangguk.
"Klan kita paling sedikit, dan kecil kemungkinan keberadaan kita dapat diketahui manusia jika koloni kita hanya sedikit."
"Kak, itu akan menyulitkan kita!" Oxy berseru panik. Solum menggeleng, masih tetap pada keputusannya.
"Tidak jika ada aku bersama kalian."
"Ah, aku benci kalimat itu."
"Klan Shevro-ku akan bersama klan kalian!" sahut Claro yang berdiri tak jauh darinya. Solum kembali menggeleng.
"Tidak perlu, koloni kita harus sedikit."
"Hah, baiklah Solum. Aku tahu aku tidak akan bisa merubah keputusanmu," ucap Eros final. "Besok, aku dan para Tyros* akan melakukan survei di sekitar sini untuk mencari hutan yang aman. Setelah aku menemukannya, kita akan segera pindah."
Ignis menghela napasnya. Segalanya menjadi terlihat rumit karena manusia-manusia itu. Ia mengepalkan tangannya, menahan amarah yang tiba-tiba merayapi dirinya ketika memikirkan tentangnya.
"Dasar manusia-manusia kotor."
"Jangan berkata seperti itu, Ignis. Ingat alasanmu memberi gelangmu kepada seorang anak manusia?" sahut Solum.
Ignis mengatupkan bibirnya. Segala macam kata umpatan terucap di dalam hatinya, yang tentu saja diperuntukkan bagi dirinya yang bodoh.
°°
*Thyros: Elfys penjaga