Chapter 22 - BAB 16

Mendengar presdir Dong membawa kembali semua luka yang berusaha dikuburnya, membuat laju ingatannya menjadi tak terkendali. Semua kejadian mengulang secara berurutan di kepalanya dengan tepat.

Saat dimana, Dong Haru -adiknya masih menghiasi kehidupan Mino dengan senyumannya. Saat itu, Haru masih berusia lima tahun.

"Oppa, apa kau benar-benar sudah menjadi dokter sekarang?" tanya Haru.

"Tentu saja. Kenapa?" tanya Mino balik.

"Berarti oppa bisa mengobati rasa sakit di dadaku ini kan? Iya kan?" Haru menunjuk dadanya yang kerap terasa sakit tanpa tahu sebab pastinya.

Dari situ Mino tahu bahwa rasa sesak di dada Haru yang dikeluhkannya bukan berasal dari kelelahan setelah aktif bermain, tapi karena kanker paru-paru. Mino hanyalah seorang dokter magang saat itu, tak bisa sembarang menyentuh kondisi adiknya, terlebih yang dihadapinya adalah kanker. Sayangnya, dokter yang dianggapnya profesional malah angkat tangan dengan kondisi Haru.

"Kami sudah tidak bisa melakukan apapun, presdir Dong. Kankernya sudah mencapai stadium akhir, meski ia terlihat baik-baik saja. Kankernya sudah menyebar, waktunya tak banyak. Dibanding melakukan operasi, lebih baik dia menghabiskan waktu dengan orang-orang dicintainya. Operasi takkan membantu banyak malah akan jauh lebih menyakitinya." Jelas dokter yang ahli.

"Begitu? Hmmm, aku mengerti. Terimakasih dokter Im." Jawab presdir Dong.

Mino tak terima dengan ucapan dokter Im, "Terimakasih? Untuk apa, ayah? Terimakasih karena dia tak melakukan apapun untuk Haru? Terimakasih karena membiarkan Haru meninggal perlahan?" Mino meracau di tengah tangisannya.

"Hentikan, Mino. Ayo kita bawa Haru pulang." ucap presdir Dong kepada istrinya.

"Aku akan melakukannya!" ucap Mino tiba-tiba, membuat presdir Dong terkejut.

"Aku yang akan mengoperasinya!" lanjutnya dengan percaya diri.

"Kau hanya dokter yang baru lulus. Jangan coba-coba melakukan hal yang pasti tidak mungkin terjadi!" ancam presdir Dong.

"Jadi, kau akan membiarkan Haru pergi begitu saja tanpa ada usaha menyembuhkannya? Aku tidak sepengecut dirimu, Ayah. Aku akan melakukannya." jawab Mino tak kalah sinis.

"Cepat bawa Haru ke mobil!" Presdir Dong melewati Mino. Nyonya Dong masuk ke dalam ruangan rawat Haru.

Presdir Dong sudah berada di dalam mobil selama lima belas menit namun nyonya Dong tidak juga datang. Ia mengambil ponsel dan mencoba mnghubungi nyonya Dong tapi malah terhubung dengan kotak suara.

Tiba-tiba seorang pengawalnya datang, "tuan, tuan muda sedang melakukan operasi."

Presdir Dong menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi mobil. Anak tertuanya benar-benar membawa sang adik ke meja operasi. Mino melakukannya setelah berhasil menyakini ibunya, tapi Haru meninggal setelah Mino membuka tubuhnya. Pendarahan.

Mino tak bisa mengendalikan tangis ibunya, presdir Dong tiba dan mengetahui yang terjadi.

"Sudah kukatakan dari awal, jika tanganmu hanya mampu merenggut nyawa orang lain. JANGAN MENJADI DOKTER!" bentak presdir Dong.

Mino hanya diam. Ia tak berhak bicara, kenyataannya ia memang membuat nyawa adik kecilnya hilang.

"Kau lihat? Berkat kau, kita bahkan tak bisa memberikan kebahagiaan di saat-saat terakhirnya." Lanjut presdir Dong geram.

"Kau mulai tidak mendengarkan perintahku. Kau pikir, aku menyuruhmu membawanya pulang karena ingin membiarkannya tersiksa? Membedah tubuh dan akhirnya gagal justru lebih menyakitkan!" presdir Dong melampiaskan kekesalannya pada nyonya Dong.

"Minggir!" ucap presdir Dong saat nyonya Dong berlutut memohon ampun padanya.

"Aku akan membawa putriku pulang. Kalian berdua pembunuh!" ucapnya kejam.

Sejak itu Mino hidup seperti tak memiliki orang tua. Ia bahkan pergi dari lingkungannya, orang tua, sahabat dan Aeri. Mino terlihat tak punya tujuan, tak segan memaki orang tua dari pasien anak-anak yang ditemuinya di bangsal anak. Kejadian Haru meninggalkan luka yang dalam di kehidupannya.

Tarikan napas beratnya tertahan di dada mengingat kejadian itu. terlebih, dadanya akan semakin sulit mengembang-mengempis saat mengingat senyuman Haru.

"Ehei, siapa ini? Ya! Dong Haru! Kau sangat seksi." Goda Mino saat melintas kamar mandi yang terbuka dimana Haru tengah mandi ditemani nyonya Dong.

"Oppa! Nappeun oppa!" teriak Haru dari dalam.

Presdir Dong memiliki sepasang anak yang jenius. Mino menyelesaikan kuliah kedokterannya di Washington dalam tiga tahun, dan Haru mampu membaca dan berhitung di usianya yang memasuki lima tahun.

Air mata Mino semakin tak tertahan mengingat kejadian yang sebenarnya menggemaskan. Ingatannya kembali berputar ke saat ia bermain sepakbola dengan Haru.

"Tidak mau. Haru ini perempuan, Oppa. Haru tidak mau main sepakbola." Haru merajuk.

"Baiklah, ayo." Kata Mino kemudian. Mino membelakangi Haru dan gadis kecil itu malah menendang bola hingga mengenai bokong Mino lalu tergelak.

"Ya! Dong Haru!" teriak Mino.

Mendengar Mino berteriak, Haru balik berteriak sambil berlari menghindari kejaran Mino.

Lain waktu, Haru tengah bermain lipstick nyonya Dong saat Mino menemukannya tengah berkaca untuk melihat tampilan bibirnya.

"Oppa?" katanya dengan nada terkejut.

"Apa yang sedang kau lakukan, Haru? Ibu akan marah padamu." Mino menggoda Haru dengan menakutinya.

"Jangan beritahu Ibu, oppa. Ya?" bujuk Haru dengan wajah yang hampir menangis.

"Aku mau saja jika aku mendapatkan imbalan tutup mulut." Ujar Mino.

Haru melirik ke sebungkus cokelat batang yang tergeletak di atas meja, "Aku punya ini, oppa."

"Cokelat?" tanya Mino.

"Baiklah, aku akan merahasiakannya dari ibu." Lanjut Mino lalu mengambil cokelat Haru.

Air matanya tak bisa berhenti saat dia mengingat semua kenangannya bersama Haru.

"Bagaimana, bu? Haru cantik kan memakainya." Mino menunjukkan dress bunga berwarna kuning kepada ibunya.

"Dress ini masih terlalu besar untuknya, Mino. Lagipula terlalu tua." Protes ibunya saat melihat Haru memakai dress yang diberikan Mino.

"Aku memang sengaja memakaikannya untuk dipakainya saat dewasa nanti." Ucap Mino yang puas menjahili adiknya.

"Kau bahkan belum sempat dewasa untuk mencoba baju itu, Haru. Maafkan aku. Maafkan Oppa." ucap Mino diantara tangisannya.

Mino menguburnya selama lima tahun belakangan ini, menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan tapi ayahnya hanya memerlukan waktu kurang dari lima menit untuk membuatnya kembali mengingat kenangan itu.

Sebuah cengkraman terasa di pundak kanannya. Mino melihat dan menemukan Taehyun, "Taehyun."

"Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku dan ayahku." Taehyun menguatkan Mino.

"Mino-ya, saranghae." Seungyoon kemudian hadir dari belakang Taehyun sambil memberikan love sign dan menembakkan tangannya yang membentuk pistol ke arah Mino.

"Bodoh" lirihnya.

"Benar, tidak apa-apa?" tanya Seunghoon selanjutnya.

"Hmm. terima kasih." Jawab Mino. Ia cukup heran, melihat teman-temannya bisa menemukannya, "Bagaimana kalian menemukanku?"

"Psikiater itu bilang saat kepalamu sudah penuh, kau akan ke sini untuk membersihkan sampah-sampah yang tak berguna lalu kembali seperti sebelumnya" Jawab Seunghoon.

"Lalu dimana dia?" tanya Mino yang tak menemukan Jinwoo ada bersama mereka.

"Dia bilang ada urusan penting di rumah sakit, jadi dia menyuruh kami datang lebih dulu. Dia akan menyusul begitu urusannya selesai." jawab Seungyoon.

"Taehyun, maaf." Ucap Mino kemudian.

"Jangan minta maaf, bodoh. Aku mengerti alasanmu, jadi jangan minta maaf." Tanggap Taehyun dengan senyumnya.

Ponsel Seunghoon berbunyi jadi ia langsung mengangkatnya, namun wajahnya berubah menjadi serius begitu mendengar ucapan lawan bicaranya, "Aku akan segera ke sana, hyung."

"Mau kemana?" tanya Mino.

"Terjadi sesuatu dengan Seunghi, aku harus melihatnya." jawab Seunghoon.

"Kami ikut!"

* * *

Seunghoon benar-benar khawatir dengan apa yang terjadi pada adiknya, sampai-sampai tiga orang lainnya berpegangan dengan erat karena Seunghoon mengendarai mobilnya dalam kecepatan tinggi.

"Seunghoon-ah, jika kau ingin mati, mati saja sendiri. Aku masih ingin hidup." Mino menepuk dada Seunghoon untuk menyadarkannya.

"Hyung, aku tahu kau khawatir, tapi, ada baiknya kau mengurangi kecepatan mobil ini." sahut Taehyun.

"Aku sangat mengkhawatirkan dia, kalian tahu itu kan?" Seunghoon menoleh ke mereka dengan tangan yang terus memegang kemudi tanpa mengurangi kecepatannya.

"Aiissh! Tidak bisakah kalian diam? Jangan mengganggu konsentrasinya atau kita akan benar-benar mati. HYUNG! LIHAT KE DEPAN!!" protes Seungyoon dengan raut wajah yang terkejut karena sesuatu mungkin akan terjadi selanjutnya.

Saat Seunghoon kembali melihat ke depan, sebuah sepeda motor menyalip sembarang dari sisi kanan hingga Seunghoon harus membanting setirnya ke kiri untuk menghindari kecelakaan. Selagi Seunghoon membuang arah ke kiri, ketiga sahabatnya bersamaan teriak seolah mereka sedang naik wahana rollercoaster.

"AAAAAKKKK."

Tiba di rumah sakit, Seunghoon memarkirkan mobilnya sembarang dan langsung melempar kunci mobilnya pada petugas keamanan di sana. Ketiga pria muda yang ada di dalam mobil, keluar dengan terhuyung sambil berpegangan dengan sisi mobil.

"Haaaahh. Lututku lemas." Keluh Seungyoon.

"Sepertinya jantungku tertinggal di jalan tadi, aku tidak merasakan detaknya." Mino meraba dada kirinya mencari letak jantung dan merasakan detak jantungnya.

"Kurasa aku sudah bereinkarnasi saat dia menginjak dalam pedal gasnya tadi." Taehyun tak kalah mengeluh.

"Sungguh. Tidak akan kubiarkan Seunghoon membawa mobil lagi ketika sedang bersamanya.". Celetuk Mino yang berdiri ditengah Seungyoon dan Taehyun. Kedua anak itu pun mengangguk menyetujui dengan tatapan kosong.

Saat semua sudah berada pada kesadaran penuh, mereka langsung menyusul Seunghoon ke ruangan khusus Seunghi. Seunghoon sendiri terlihat tegang saat tiba di depan ruangan Seunghi, Jinwoo sudah berdiri menunggunya.

"Apa yang terjadi, Hyung? Dimana dia? Dimana Seunghiku?" Seunghoon kalap karena tak melihat Seunghi ada di ruangannya.

"Kenapa kalian ikut ke sini?" tanya Jinwoo saat menemukan Seungyoon, Mino dan Taehyun muncul sambil terengah-engah.

"LEE JINWOO!!" Teriak Seunghoon yang kesal karena Jinwoo mengabaikannya. Ia sampai menarik kerah jas kedokteran Jinwoo untuk menunjukkan kekesalannya.

"Oppa!"

Seunghoon mematung. Ia mengenal suara itu. Seunghoon menatap Jinwoo yang juga menatapnya, perlahan guratan senyum dari wajah Jinwoo semakin jelas seolah memberi jawaban pada pertanyaan Seunghoon yang tak ia ucapkan.

"Berbaliklah. Dia menunggumu daritadi di sana."

Ucapan Jinwoo membuat Seunghoon perlahan melepas cengkaramannya pada jas kedokteran Jinwoo lalu berputar sesuai instruksi Psikiater itu.. Ia menemukan seorang wanita muda dengan dress biru muda-putih, jelas sekali dress itu milik Seunghi karena ia yang membelikan baju itu. Mata Seunghoon mulai beranjak naik ke wajah pemakai dress itu dan Seunghi melihatnya dengan senyuman yang manis menghiasi wajahnya yang terlihat merona bak buah persik, kulitnya sehat dan bersinar.

Seunghoon tak bisa membendung air matanya saat membandingkan keadaan Seunghi yang sekarang dengan keadaan Seunghi saat Seunghoon membuka pintu ruangan terkutuk bersama sahabat-sahabatnya.

"Seunghi." lirih Seunghoon dengan suara yang bergetar.

"Oppa." balas Seunghi. Gadis itu berlari masuk ke dalam dada Seunghoon, memeluk Seunghoon erat. betapa ia merindukan kakak yang selalu bersama dan melindunginya selama ini.

Seunghoon balas memeluk Seunghi. Ia membelai lembut rambut panjang Seunghi yang halus dan harum. Seunghoon bisa mencium aroma stroberi dari puncak kepala Seunghi. Air mata bahagianya tak terbendung lagi. wajahnya perlahan basah karena liquid bening itu terus turun tanpa izin.

"Kenapa lama sekali? Aku hampir mati di sana. Hiks. Apa kau tidak merindukanku? Aku sangat merindukanmu, Oppa." isak Seunghi mewarnai keharuan Seunghoon yang telah bebas memeluk adiknya tanpa takut lagi.

"Maaf. Maaf, Seunghi. Maafkan aku." Seunghoon terus mengucapkan kata maaf dan mengeratkan pelukannya ke Seunghi.

Mino berjalan menghampiri Jinwoo dan berbisik, "kau yakin Seunghi sudah baik-baik saja, hyung?"

"Seunghoon adalah satu-satunya orang yang paling mungkin ditemui Seunghi saat ini, tapi aku belum yakin mempertemukan Seunghi dengan presdir Ka—"

Jinwoo menghentikan kalimatnya saat menyadari Seunghi melonggarkan pelukannya ke Seunghoon. Ia yakin Seunghi tengah terkejut dan memilih untuk mengikuti arah pandangan Seunghi. Kini bukan hanya Seunghi yang terkejut, kelima pria muda itu terkejut melihat seseorang yang berdiri di ujung lorong.

"Ayah?" Kata Seunghoon pelan, perkataan Seunghoon malah membuat Seunghi memegang erat bagian jas Seunghoon di dekat pinggang karena takut.

Dua pengawal yang memang bertugas menghalangi presdir Kang dan nyonya Kang untuk menjenguk Seunghi kembali ke posisinya saat Taehyun menyuruh para pengawal itu menyingkir.  Dengan ragu presdir Kang dan nyonya Kang berjalan mendekat ke arah kedua anak mereka tapi semakin pendek jarak diantara mereka, Seunghi semakin mengeratkan cengkramannya dan Seunghoon mengepalkan tangannya, bersiap jika presdir Kang akan merenggut Seunghi dari perlindungannya.

Seunghoon mulai memindahkan Seunghi ke belakang tubuhnya. Gadis itu hanya mengintip dengan wajah ketakutan. Seunghoon bersiap untuk sesuatu yang buruk terjadi dan Seunghi menyembunyikan wajahnya di balik punggung Seunghoon. Bukannya berusaha menarik Seunghi seperti yang ada dalam bayangan Seunghoon, presdir Kang dan nyonga Kang mendaratkan lututnya di lantai dingin rumah sakit grup Lee.

Mata Seunghoon membulat melihat ayah dan ibunya melakukan itu. Jinwoo, Seungyoon, Taehyun dan Mino tak kalah terkejut. Mereka tahu watak ayah dan teman-teman ayah mereka jadi sikap presdir Kang yang berlutut di hadapan putra dan putrinya tidak termasuk dalam watak yang mereka tahu. Kelima ajushi manja itu memiliki persamaan dalam hal harga diri yang tinggi.

Seunghi yang bersembunyi di belakang Seunghoon bingung karena tak terjadi sesuatu atau belum terjadi sesuatu yang membahayakannya, jadi Seunghi mengintip kembali dan menemukan presdir Kang tengah berlutut di hadapan mereka bersama nyonya Kang.

Melihat ayah dan ibunya berlutut, perlahan Seunghi maju dan berdiri sejajar dengan Seunghoon, "Ayah. Ibu." panggilnya pelan.

Mendengar panggilan itu dari Seunghi, baik presdir Kang maupun istrinya semakin tertunduk dan meneggelamkan kepalanya dengan isakan tangis yang terdengar berat, juga air mata yang menitik ke lantai.

"Ayah. Ibu." panggil Seunghi sekali lagi, menunggu tanggapan dari kedua orang tuanya.

"Aku bukan ayahmu, Seunghi! Aku bukan ayahmu. Seorang ayah takkan tega melakukan dosa kepada anak-anaknya." Parau suara presdir Kang menandakan ia sangat bersedih dengan perlakuan yang dilakukannya kepada Seunghi juga Seunghoon.

Seunghoon memalingkan wajahnya untuk menutupi kesedihannya, tapi Seunghi? Gadis itu dengan sisa keberaniannya berjalan ke hadapan presdir Kang dan berlutut agar ia bisa meraih wajah ayah dan ibunya. Memegang lembut wajah kedua orang tuanya setelah lima tahun berlalu, menghapus air mata mereka untuk pertama kalinya.

"Jangan menangis, Ayah. Jangan menangis, Ibu. Aku mengerti. Tidak apa. Aku baik-baik saja sekarang." Ucapnya lembut dengan senyuman.

"Dengarkan aku sekarang, Ayah. Kau adalah ayahku dan aku adalah anakmu. Sampai kapanpun akan tetap seperti itu. Aku hanya sedang menjalani hukuman yang kau berikan, tapi tidak masalah sekarang, ayah. Jangan menangis lagi. Aku mohon. Hatiku sakit melihat kalian menangis." Pinta Seunghi, putrid satu-satunya keluarga Kang yang dikurung selama lima tahun karena menjadi aib keluarga. Tidak terbayangkan jika Seunghi tak menyampai level sekuat ini menjadi putri keluarga Kang.

'Bukan bagian yang tepat membalas kesalahan seseorang dengan kekerasan, bagaimanapun bentuknya. Menjadi pribadi yang memaafkan akan membuatmu berhenti menyesali masa lalu. Aku mempelajarinya hari ini.' Jinwoo berkata dalam hati.

Seunghi memilih untuk memaafkan karena tahu selama lima tahun terakhir, presdir Kang pasti telah mengutuk dirinya sendiri atas perlakuannya ke Seunghi jutaan kali. Terlebih presdir Kang sudah memangkas harga dirinya untuk berlutut bukan hanya di hadapan anak-anaknya tapi juga di hadapan teman-teman anaknya. Karena ayah tetaplah ayah, tidak akan benar-benar berniat menyakiti anaknya sendiri.

Bunyi ponsel Mino membuat dirinya harus menyingkir setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya, "Ada apa, Jiseob? Apa? Aku mengerti. Aku akan ke sana segera. Persiapkan ruang operasi."

Taehyun menatap Mino, ia merasa sesuatu yang tak enak mungkin terjadi saat ini, "ada apa?"

"Ayahmu kritis. Aku akan pergi sekarang. Tolong hubungi ayahku untuk menemuiku di sana. Kali ini aku tak mau bersama Seunghoon, aku butuh rasa aman dan nyaman sebelum melakukan operasi." Mino melirik Seunghoon yang tersenyum tidak enak padanya.

"Aku ikut denganmu." Jinwoo menyusul Mino yang sudah pergi dari tempat tadi.

"MINO!" panggil Taehyun. Ia berlari untuk mendekat ke Mino.

"Kau yakin akan melakukannya?" tanya Taehyun ragu.

Mino diam sejenak. Kemudian ia menatap Taehyun yakin, "Aku memang sedikit takut, tapi semua ini memang harus dilakukan. Bukan hanya untuk ayahmu dan dirimu tapi juga untuk kita semua." Jelas Mino. Jinwoo tersenyum bangga pada pilihan Mino, ia menepuk punggung sahabatnya.

"Terimakasih." Kata Taehyun.

"Simpan ucapan itu saat operasinya berhasil. Ayo, hyung."

* * *

Operasi berjalan dua jam, tapi Mino masih membutuhkan waktu untuk menyelesaikannya karena ini menyangkut nyawa ayahnya dan ayah sahabatnya.

Presdir Choi, presdir Lee dan presdir Kang tampak resah menyaksikan operasi dari layar televisi yang ada di ruang tunggu VIP. Seungyoon dan Seunghoon terlihat serius memperhatikan kesigatan tangan Mino dalam memainkan peralatan operasi yang mereka tak tahu namanya. Taehyun terlihat gelisah karena ayahnya tengah berjuang melawan maut tapi Jinwoo lebih dari gelisah, ia berjalan mondar-mandir lalu berhenti dan menatap layar, kemudian menggigit bawahnya dan kembali berjalan mondar-mandir. Sikapnya ini menarik perhatian presdir Choi.

"Lee Jinwoo!" panggil presdir Choi.

"Ya, presdir?" jawab Jinwoo cepat.

"Ayahmu ada di sini bersama kita, kenapa kau terlihat lebih gelisah dari Taehyun? Apa sesuatu terjadi?" selidik presdir Choi yang kemudian berdiri menghampir Jinwoo.

"Kenapa dia peka sekali?" lirih Jinwoo.

"i-itu. a-mm-ku." ucap Jinwoo terbata.

"Dia takkan terbata jika bukan hal besar." Potong presdir Lee yang menyusul presdir Choi menghampiri anaknya.

"Ayah!" protesnya.

"Katakan! ada apa sebenarnya?" tegas presdir Lee.

Jinwoo mulai menceritakan apa yang membuatnya gelisah.

Mino dan Jinwoo dalam perjalanan menuju rumah sakit menggunakan mobil Jinwoo. Mino terlihat gelisah namun ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya dari Jinwoo.

"Kau yakin, kau baik-baik saja?" tanya Jinwoo.

"Hmm. Aku baik-baik saja." jawab Mino singkat.

"Benar baik-baik saja?" Sekali lagi Jinwoo bertanya yang dijawab Mino dengan anggukan.

Jinwoo tak berhenti sampai disitu, ia kembali melayangkan pertanyaan ke Mino, "Lalu kenapa kau bersikap seperti kemarin?"

"CEPAT HYUNG! Nanti kuceritakan. Sekarang, injak yang dalam pedal gasnya! Aiissh!" protes Mino yang terlanjur geram melihat Jinwoo sudah menyalakan mesin mobil tapi tak juga menginjak pedal gas malah menanyakan hal yang sama berulang kali.

Tidak seperti Seunghoon dan Taehyun yang berpegangan pada prinsip waktu adalah uang, Mino mennggantungkan nyawa pasiennya pada ketepatan waktu yang ia miliki. Tidak ada yang bisa menjamin apakah bila ia terlambat sedetik, pasiennya bisa selamat atau tidak.

Jinwoo menekan pedal gas dan mobil sudah melaju ke jalanan menuju rumah sakit tempat Mino. Ia bersiap menagih janji Mino yang akan menceritakan semua padanya.

"Ceritakan, Dong Mino!" tagih Jinwoo.

"Sikapku kemarin bukan hanya karena ayah menyebut tentang Haru tapi juga karena hal lain." buka Mino.

"Hal lain? Apa itu?" tanya Jinwoo.

Tidak ada jawaban selain helaan napas Mino yang panjang melepas beban.

"Dong Mino!" panggil Jinwoo, namun Mino masih enggan membuka mulut untuk menceritakannya.

"AKU AKAN MENGHENTIKAN MOBILNYA JIKA KAU TAK MEMBUKA MULUTMU!" ancam Jinwoo dengan meninggikan nada bicaranya.

"AKU BERTANYA PERTANYAAN BESAR PADA KISS NOTE." Mino meninggikan suaranya, terbawa emosi Jinwoo. Jinwoo menghentikan mobilnya tanpa aba-aba membuat tubuh Mino terhempas ke depan, beruntung mereka berdua memakai seatbelt jadi mereka masih bisa selamat dari benturan.

Mino melihat Jinwoo mematung, ia melihat jam tangan dan kembali cemas, "Hyung! jalankan mobilnya. Aku mohon." Rengek Mino.

Jinwoo menjalankan kembali mobilnya. Setelah mencerna ucapan Mino, ia mencoba bersikap tenang dan kembali melempar pertanyaan kepada Mino, "pertanyaan seperti apa itu?"

Mino menarik napas, "aku bertanya tentang obat untuk ataxia."

Jinwoo memalingkan wajahnya segera ke Mino, "Ya! Dong Mino! Haaaa." lalu kembali menatap jalanan.

"Maaf, hyung. Aku tak bisa berpikir jernih lagi bila berhubungan dengan Aeri, aku hanya ingin Aeri sembuh." Sesal Mino.

"Apa kiss note benar-benar menjawab pertanyaanmu?" tanya Jinwoo penasaran.

"Iya. Tim yang kubentuk sedang mencari obat yang disebutkan kiss note, aku masih menunggu kabar mereka." jawab Mino. Jinwoo menarik napas panjang lalu menghelanya dengan berat.

Kegelisahan kedua presdir itu bertambah setelah mendengar cerita Jinwoo, membayangkan segala kemungkinan resiko terburuk dari keberuntungan yang diterima Mino.

"Jika Mino sudah menggunakan jawabannya, artinya bisa saja Kiss Note." presdir Choi menggantung kalimatnya.

"Mengambil nyawa keduanya sebagai imbalan keberuntungan Mino." Sambung presdir Lee.

BERSAMBUNG.....