Mino terlalu senang atas apa yang didapatkannya hari ini sampai dirinya lupa akan janji makan malam dengan presdir Dong. Mino duduk di kursi yang ada di dekat ranjang Aeri, memandangi wajah wanita yang dicintainya, lalu kenangan di masa lalu berputar indah di kepalanya.
"Baju apa yang kau kenakan itu, Mino-ssi? Hahaha." Aeri tergelak melihat Mino dengan pakaian yang sesungguhnya terlihat bukan Mino's style sekali.
"Kenapa? Ini bagus." Protes Mino.
Mendengar protes Mino, Aeri mengatup bibirnya agar tawanya bisa ditahan. Hari ini adalah hari pertama mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Langit biru New York menjelaskan luasnya perasaan Mino sampai-sampai ia memilih pakaian dengan warna senada dengan langit New York hari ini.
"Kau tahu kan hari ini aku sangat bahagia, jadi jangan rusak kebahagiaanku." Mino menaik-turunkan kedua alisnya diiringi senyuman yang tak berhenti mengembang. Ia bahkan menunjukkan beberapa pose yang membuat Aeri semakin sulit menahan tawa.
"Memangnya apa yang membuatmu sebahagia ini?" goda Aeri.
Mino beranjak mendekat ke Aeri, wajahnya hanya beberapa senti dari Aeri dan membuat gadis itu merona, "Karena. kau milikku." Mino menyentuh genit ujung hidung Aeri, membuat gadis itu semakin merona.
"Selamanya. Kau dengar kan, Jung Aeri? Kau milikku selamanya. Kau mengerti?" sambung Mino.
"Aku mengerti, Dong Mino-ssi." jawab Aeri, ia usil menarik kedua telinga Mino untuk menghilangkan malunya. Menarik ke kanan dan ke kiri dengan gemas sambil memejamkan matanya.
Mino dengan sigat meraih kedua pipi Aeri dan langsung mendaratkan bibirnya ke bibir Aeri dengan singkat. Aeri yang terkejut, langsung melepas tangannya dari telinga Mino hingga Mino mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri.
"Yakk! Dong Mino!" teriak Aeri, lalu mengejar Mino.
Mengingat kejadian itu senyuman Mino semakin lebar. Melihat Aeri yang tidur dengan damai bak malaikat sambil menghitung mundur waktu kedatangan bunga yang akan menjadi obat bagi Aeri membuat perasaan Mino terus melompat-lompat dalam dirinya. Mino bahkan membayangkan hari-hari yang akan dilaluinya bersama Aeri yang sembuh.
* * *
"Ayo bicara." Seunghoon masuk ke ruang praktek Jinwoo dengan tiba-tiba. Jinwoo melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam lalu menatap Seunghoon yang berbalik dan pergi dari ruangan Jinwoo, kemudian mengikuti Seunghoon.
Jinwoo masuk ke dalam mobil yang langsung disambut Seunghoon dengan mengatakan untuk mencari wanita lain, "carilah wanita lain, jangan adik perempuanku." Ucap Seunghoon dingin.
"Aku hanya ingin Seunghi." Jawab Jinwoo singkat.
"Haa. Dia bukan yang terbaik untukmu, hyung." ucap Seunghoon masih dengan nada yang datar dan dingin.
"Bagiku dia yang terba—"
"Seunghi telah ternoda, Hyung." Potong Seunghoon. Namun ia terkejut sendiri setelah mengucapkan kalimat itu.
"Seunghi hanya korban, Kang Seunghoon. Jika bisa memilih, aku yakin Seunghi juga tak ingin hal ini terjadi dalam hidupnya. Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini? Kau itu kakaknya!" tekan Jinwoo.
"Hyung!" bentak Seunghoon.
"Aku benar-benar menyayanginya, Seunghoon." Jinwoo melembut hingga membuat Seunghoon diam tak berkutik.
"Kau tidak percaya cinta dari orang sepertiku?" tanya Jinwoo karena Seunghoon tak menanggapinya.
"Aku benar-benar mencintai adikmu." Aku Jinwoo sekali lagi, namun Seunghoon masih tak menanggapi pengakuannya.
"Sekarang kuserahkan semuanya padamu. Berapa lamapun kau bersikap seperti ini pada kami, aku dan Seunghi akan tetap pada pendirian kami untuk mempertahankan cinta kami. Kau lebih dewasa darinya harusnya kau tahu, mengganti seseorang yang sudah bertahta di hatimu tak semudah membalikkan telapak tangan." Lanjut Jinwoo.
"Aku harus kembali ke ruanganku, ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini. Sampaikan pada Seunghi, aku menyayanginya." Jinwoo menutup pembicaraan mereka dan turun dari mobil Seunghoon.
Jinwoo berjalan masuk ke dalam gedung, ia melirik kecil dan tersenyum, "Pada akhirnya kau akan menyetujui kami, Seunghoon-ah."
* * *
"Mino-ya. Dong Mino. Bangunlah." Seseorang membangunkan Mino yang tertidur di sofa panjang kamar rawat Aeri.
Mino mengerang kecil lalu mengintip siapa yang membangunkannya. Saat ia melihat seseorang yang dikenalnya, ia beranjak untuk duduk, "Oh, Hongseok hyung. Jam berapa sekarang, hyung?"
Profesor Jung Hongseok melihat jam tangannya sesaat, "jam 8 pagi. Kau tertidur di sini?"
"Hm." jawab Mino.
"Ayo gantian, kau bisa mandi dulu dan aku yang jaga." Tawar profesor Jung.
"Tidak perlu. Aku ingin bersamanya hari ini." tolak Mino.
"Oke. Aku akan membeli sesuatu untukmu."
Sekeluarnya profesor Jung dari kamar rawat Aeri, seorang perawat masuk dan menyapa Aeri dengan ramah. Mino melihat nampan yang dibawa perawat itu dan menghentikan langkahnya.
"Apa yang kau bawa?" tanya Mino.
Perawat yang masuk tampak kaget, "Omo! Profesor Dong. Anda mengagetkanku."
"Sorry. Apa yang kau bawa untuk dokter Jung?" tanya Mino sekali lagi.
Perawat itu melihat nampannya dan tersenyum, "bubur abalon. Eh, bukankah anda tidak memiliki jadwal hari ini?"
"Karena itulah aku berada di sini. Apa kita punya menu seperti itu di rumah sakit??" tanya Mino dengan raut muka seperti berpikir.
"Tidak. profesor Jung membawanya dari rumah, bubur abalon buatan ibu mereka." jawab perawat yang mulai menaruh nampan di atas meja yang ada di depan ranjang Aeri.
"Tinggalkan saja di situ, aku akan menyuapi dokter Jung begitu ia bangun."
Sesaat perawat itu diam lalu mengangguk setuju dan pergi begitu selesai menata makanan di atas meja. Mino beranjak dan berjalan mendekat ke ranjang Aeri, membelai lembut rambut wanitanya hingga Aeri perlahan terbangun dari tidurnya.
"Aku mencintaimu, sayang." Bisikan kata cinta Mino. menghasilkan senyuman di wajah Aeri.
Mino mulai menyuapi Aeri dengan bubur yang dibawa kakaknya, sedikit demi sedikit dengan telaten. Saling berbalas senyum menjadi kebiasaan kedua orang ini sekarang.
"Apa kau selalu cantik karena aku mencintaimu?" goda Mino.
Saat sisa bubur abalon tinggal sedikit, syaraf motorik pada tenggorokan Aeri tiba-tiba saja berhenti bekerja yang membuat bubur yang baru ditelan Aeri tidak bisa mengalir melewati tenggorokannya. Akibatnya, Aeri mengalami kesulitan bernapas. Saat Aeri menarik napas mengambil udara, dadanya akan mengembang ke atas namun karena saluran pernapasannya terhambat jadi dada Aeri terlambat kembali ke keadaan semula. Keadaan ini juga berimbas pada kerja jantung Aeri yang lebih cepat 1 detik dari manusia normal. Jantungnya berhenti bekerja dikarenakan serangan jantung mendadak. Aeri meninggalkan Mino di detik-detik terakhir perjuangan Mino melawan Ataxia.
Suara mesin alat pendeteksi detak jantung berbunyi dengan satu nada yang sama dan panjang, sontak membuat Mino tertegun dan menghentikan kegiatannya mengaduk bubur yang tinggal sedikit di mangkuk.
Mino tertegun selama beberapa detik, ia tertegun karena untuk sesaat Mino tak tahu apa yang harus dilakukannya. Mino bahkan kesulitan mengatur ritme napas dan menelan salivanya.
"Aeri-ya." panggilnya pelan sambil menyentuh wajah Aeri lembut.
Mino memperhatikan wajah Aeri lalu berpindah ke dada dan perut untuk melihat pergerakan tubuh Aeri, namun ia tak menemukan pergerakan yang diharapkannya dari Aeri. Mino menaruh mangkuk bubur yang dipegangnya, lalu naik ke atas ranjang untuk melakukan CPR.
"Jung Aeri, kumohon." air mata Mino mulai membasahi wajahnya meski ia tak mau menangis, bahkan menetes mengenai wajah Aeri namun wanita itu tak bergerak atau bersuara.
Satu! Dua! Tekan!
Satu! Dua! Tekan!
Satu menit sudah berlalu namun CPR yang dilakukan Mino tak memberikan hasil yang diinginkannya. Aeri benar-benar telah pergi meningalkan Mino selamanya sebelum Mino sadar akan hal itu.
"MINO!" panggil profesor Jung Hongseok yang masuk dan terkejut melihat apa yang Mino lakukan kepada adiknya.
"Hyung, bantu aku melakukan CPR. Aku akan mencoba mengambil gumpalan bubur yang menghambat di tenggorokannya." Mino memanggil profesor Jung tanpa menghentikan tindakannya pada Aeri.
Profesor Jung berjalan gontai ke arah Mino dan menepuk punggung pria itu sambil terisak, "sudahlah, Mino. Aeri sudah pergi." ucapnya dengan nada yang bergetar.
Mino tak menghentikan usahanya. Ia memang berhasil mengeluarkan bubur yang menyumbat di tenggorokan Aeri tapi nyawa Aeri dari awal memang tak tertolong. Profesor Jung menarik tubuh Mino dengan kasar hingga ia terjatuh dari ranjang, namun Mino kembali menaiki ranjang dan tetap melakukan CPR pada Aeri.
"Mino, sudahlah. Hentikan, itu tidak ada gunanya." Pinta profesor Jung tapi Mino tak peduli.
"DONG MINO, AERI SUDAH MENINGGAL! BERHENTI LAKUKAN CPR! TIDAK ADA GUNANYA." Teriak profesor Jung.
Perkataan profesor Jung menghantam dada Mino hingga terasa begitu sesak. Napasnya tercekat karena sesak di dada. Profesor Jung menarik pelan Mino untuk turun dari ranjang. Hampir saja Mino terhuyung jatuh jika profesor Jung tak cepat memapahnya.
"Aku sudah menemukan obatnya, hyung. Tim yang kubentuk dalam perjalanan ke sini, kenapa dia tidak bisa bersabar sedikit lagi, hyung? Aeri tidak boleh meninggalkanku seperti ini." Mino terisak keras di depan jenazah Aeri. Dong Mino menangis dan menjerit.
Selama 8 bulan Mino berusaha menguasai semua bidang ilmu kedokteran hanya untuk menemukan cara penyembuhan ataxia. Saat ia menemukan obat untuk ataxia, Aeri malah meninggalkannya tanpa pernah sempat berusaha menyembuhkan Aeri dengan obat itu.
Mino sedang duduk di sofa yang ada di ruangan Aeri saat pesan masuk di ponselnya.
Mr. Dong, we've arrived and on the way to meet you.
Membaca pesan itu, sontak Mino melempar ponselnya ke sembarang tempat, "Aaarrgghh!"
"Aku tidak butuh itu lagi sekarang." Teriaknya.
Jinwoo masuk ke dalam ruangan diikuti yang lain dan melihat Mino tengah melipat kakinya dan melingkarkan tangannya memeluk kaki yang yang terlipat sambil menenggelamkan kepalanya di antara kaki dan bahunya.
"Mino." panggil Jinwoo mengiba.
Mendengar suara yang dikenalnya, Mino mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya sudah basah oleh air mata yang terus mengalir. Melihat Mino tak berdaya, tanpa disadari Jinwoo, air matanya mengalir. Ketiga sahabat mereka yang lain ikut menunjukkan wajah sedih mereka karena mereka tahu betul kisah cinta antara Mino dan Aeri.
Jinwoo menaruh tangannya di pundak Mino dan langsung saja kesedihan pria itu membuncah dalam tangisan. Mino menunduk dalam menyembunyikan wajah sedihnya dengan suara tangis yang memenuhi ruangan, suaranya terdengar berat dan kasar.
Sejenak Mino ingat akan peraturan Kiss Note, ia segera berdiri dan mendatangi Seungyoon. Mencengkeram erat baju Seungyoon, "Aku akan melakukannya!"
Awalnya Seungyoon terkejut dengan yang Mino ucapkan tapi kemudian ia mengerti maksud ucapan Mino. Tidak ada yang bisa Seungyoon lakukan kecuali menarik Mino masuk ke dalam pelukannya.
"Aku akan berkencan dengan siapapun wanita yang kau pilihkan untukku, Seungyoon-ah, tapi katakan padanya." Mino berusaha bicara diantara tangisannya.
"Katakan pada Kiss Note untuk mengembalikan Aeri padaku. katakan itu padanya, Seungyoon. Aku mohon." Mino memohon pada Seungyoon yang mulai menitikkan air mata mendengar kesedihan Mino.
"Mianhae, hyung." tanggap Seungyoon pelan.
"Jangan minta maaf, Seungyoon. Aku tidak ingin maaf, aku ingin kau melakukannya." tolak Mino sambil melepas pelukan Seungyoon.
"Mianhaeyo. mianhaeyo." Ucap Seungyoon lagi.
Mino berlutut di depan Seungyoon dengan telapak tangan yang menyatu di depan dadanya dan kepala yang menunduk. Seungyoon turut berlutut di hadapan Mino, meraih kedua tangan Mino, "hyung, jaebal." sesalnya.
Kesedihan Mino menjadi kesedihan bagi sahabatnya, tidak terkecuali Taehyun yang diam-diam menghapus air matanya. Apapun yang mereka genggam sekarang, kenyataannya kehidupan yang sudah diambil Yang Kuasa takkan pernah bisa mereka tukar dengan apapun yang mereka punya.
* * *
Ingat!
Tidak ada keserakahan yang menghasilkan suatu kebaikan. Bagaimanapun bentuknya, keserakahan hanya akan membuatmu tidak memiliki apapun.
- Kiss Note –