Chapter 24 - BAB 18

Aku ingin sekali Dong Mino berkencan dengan wanita lain.

Tulis Seungyoon didalam Kiss Note....

"Apa kau gila?" tanya ketiganya bersamaan.

"Kau tahu kan, dia sangat sensitif dengan hal itu." keluh Seunghoon.

"Apa yang kau pikirkan saat menulisnya, Seungyoon-ah?" timpal Taehyun.

"Ini tidak akan selesai dengan cepat, kurasa. Dia benar-benar terlihat marah. Huft." Perkataan Jinwoo semakin membuat Seungyoon merasa bersalah pada Mino.

Mino mengemas semua perlengkapannya dan kembali ke Korea seorang diri.

Seperti dugaan Jinwoo. Kejadian di New York tak mudah dimaafkan oleh Mino. Ia tidak ingin ditemui siapapun. Permintaan maaf dari ketiga temannya diabaikan Mino. Berdiri di depan ruangan Mino tak memberikan pengaruh, ia tetap berjalan melewati mereka seperti tak pernah saling kenal atau bertemu. Melihat tak ada perubahan berarti, Jinwoo adalah yang terakhir untuk mencoba menemui Mino dan melunakkan hatinya.

"Sudah kubilang jauhi makanan yang manis, atau setidaknya kurangi. Jika kau makan cokelat sampai 10 batang seperti itu, kenapa tidak sekalian saja kau makan sekarung gula? Jangan lakukan lagi! Ingat, jika kau terus seperti ini, jangan salahkan aku bila dokter lain akan memprediksi hidupmu tak sampai tiga tahun lagi." Mino mengomeli pasiennya yang obesitas.

Mino menghela napas saat ia menemukan Jinwoo sudah berdiri di daun pintu ruang prakteknya. Ia baru masuk ke dalam ruangan Mino, saat pasien Mino keluar dari ruang prakteknya.

"Bicaralah denganku, jangan seperti ini." bujuk Jinwoo.

"Sudahlah, aku masih banyak pasien." Tolak Mino.

Jinwoo menutup pintu bahkan mengunci pintu agar tak ada pasien atau perawat yang masuk mengganggu pembicaraan mereka. Mino membentak Jinwoo untuk kelakuannya ini tapi Jinwoo tak punya pilihan lain.

"INI TIDAK AKAN SELESAI JIKA KITA TIDAK BICARA! Apa kau benar-benar ingin berakhir seperti ini?" bentak Jinwoo.

Mino hanya diam. Melihat reaksi Mino, Jinwoo mulai merendahkan nada bicaranya, "Seungyoon hanya ingin bercanda, Mino. Dia tak benar-benar serius tentang hal itu."

Mino tersenyum sinis, "Bercanda kau bilang? Dia menyuruhku berkencan dengan wanita lain. Bukankah itu artinya aku harus menyelingkuhi Aeri? Apa dia gila? Oke, jika memang benar itu sebuah candaan. Tidakkah itu artinya kau juga adalah hasil bercanda, Hyung? Begitukah?"

Jinwoo terkejut mendengar hal itu dari Mino. "Apa?"

"Benar. Kurasa kau benar, kalian sudah sama-sama dewasa. Sepertinya kalian bisa menyelesaikannya sendiri. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Maaf karena membuatmu menyia-nyiakan waktu." Jinwoo membuka pintu lalu menghilang di balik dinding.

"Kau lebih bodoh dari Seungyoon. Harusnya kau tidak mengucapkan itu, Mino! Bodoh!" Mino mengutuk dirinya sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan menatap langit-langit ruang prakteknya.

* * *

-Jinwoo-

Tak pernah ada dalam bayanganku salah satu dari mereka akan mengungkit soal itu. Mino membuatku sadar akan kedudukanku. Bahwa aku hanya anak yang terlahir karena sebuah candaan. Bahwa aku bukan anak kandung Park Minyoung.

Aku. Aku adalah anak hasil dari perselingkuhan ayahku. Hanya berselang beberapa bulan setelah pernikahan ayah dengan wanita yang kupanggil ibu, ayah berselingkuh dengan wanita lain yang akhirnya melahirkanku. Semua orang di luar sahabat ayah dan keluarganya hanya tahu bahwa aku anak resmi mereka berdua. Kenyataannya, Park Minyoung adalah wanita mandul. Mereka melakukan segalanya untuk membuat identitasku murni sebagai keturunan antara Lee Seungri dengan Park Minyoung.

Bagiku, Park Minyoung bukan seorang ibu atau manusia. Dia adalah seorang malaikat. Jika aku menjadi dirinya, sudah kubuang bayi hasil perselingkuhan itu. Tak sudi merawat anak itu, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Ia merawatku, menjagaku dan menyayangiku seperti anak yang lahir dari rahimnya. Karena itulah aku sangat menyayanginya. Jika disuruh memilih siapa yang harus kuselamatkan antara Park Minyoung dengan ibu kandungku, jawabannya sangat jelas. Aku akan menyelamatkan wanita yang menyayangiku, Park Minyoung.

Aku sangat marah saat ayahku melakukannya sekali lagi. Berselingkuh dengan sekretarisnya di apartemen keluarga Seungyoon. Sampai Seungyoon harus salah paham cukup lama karena mengangap ayahnya memberi fasilitas untuk ayahku berselingkuh.

Ibuku pernah berkata, "Menghukum seseorang tidak hanya bisa dilakukan dengan kekerasan. Dengan memaafkannya juga sudah merupakan hukuman seumur hidup. Karena rasa bersalah yang ia rasakan."

Aku merasa pesannya itu ditujukan  bukan hanya untuk ayahku, tapi juga untuk diriku sendiri. perasaan bersalah karena mungkin akan terus terluka saat melihat bukti hidup dari kesalahan yang dilakukan suaminya.

Mino membuatku sadar akan posisi, jangan kan menjadi pewaris keluarga Lee. Menjadi sahabat mereka saja sebenarnya bukan posisi yang tepat untukku.

Aku terduduk di kursi taman rumah sakit grup Dong. Tubuh ini rasanya letih sekali, ucapan Mino benar-benar membuatku terkejut sepertinya. Saat sedang mencoba untuk mengatur napasku, kulihat Seunghoon menghampiriku dengan mata yang memerah. Ada apa dengannya?

-BUG-

Hantaman tangannya tepat mengenai wajahku.

"Hei! Kang Seunghoon, ada apa?" tanyaku sambil memegang pipiku yang terasa panas. Bukannya menjawab, dia malah menarik kerah bajuku.

"Ada apa?" tanyaku sekali lagi.

"Apa yang kau lakukan pada adikku?" Tanyanya dengan tatapan yang tak sanggup kulihat sebenarnya tapi pertanyaannya yang kumengerti  membuatku terdiam.

"Aku menyerahkan dia padamu untuk diobati, BUKAN UNTUK DIKENCANI! BRENGSEK!" teriaknya padaku. Aku hanya bisa diam karena itu benar. Aku memang berkencan dengan Seunghi.

"Apa yang kau pikirkan sebenarnya? YANG KAU KENCANI ITU ADIK DARI SAHABATMU!!! Apa kau sudah gila?" teriaknya sekali lagi. Lagi-lagi aku hanya bisa membungkam.

"Kau bahkan hanya diam dan tak menyangkalnya." Katanya.

"Apa yang harus kusangkal? Aku memang menyayanginya." Jawabku.

"YAKK! LEE JINWOO!!" bentaknya.

"Jauhi dia jika kau masih ingin kita bersahabat!" Seunghoon mengancamku. Bagaimana dia bisa berkata seperti itu padaku?

"Kau yakin kita masih bisa terus bersahabat jika kujauhi dia setelah kau tahu aku menyukainya? Aku tidak yakin, Seunghoon."

Seunghoon tak berbalik setelah mendengar ucapanku tapi dia mengucapkan sesuatu yang sekali membuatku sadar akan tempatku.

"Memang tidak. Tapi dengan begitu, kau akan selalu sadar siapa dirimu."

Kulihat punggungnya semakin jauh lalu menghilang di balik pintu. Sekarang, bertambah lagi orang yang mengingatkan kedudukan di piramida kehidupan Bigbang Corp. aku harus sadar diri, aku hanya anak hasil perselingkuhan.

Pulang ke rumah, aku langsung menuju kamar. Melempar cardigan yang kupakai ke ranjang dan duduk di lantai dengan sandaran ranjang. Menatap langit-langit kamarku untuk melancarkan aliran oksigen ke kepalaku.

Salahkah jika aku mencintai adiknya?

Aku juga tidak tahu kapan ini semua dimulai. Kapan aku mulai menyayanginya, memperhatikannya hingga merindukannya?

Ini pertama kalinya dalam hidupku muncul perasaan ingin melindungi seorang wanita selain Ibu.

Haruskah kuhempaskan rasa ini demi persahabatan?

Dan.

Apa anak hasil perselingkuhan sepertiku tidak punya hak memilih cintaku sendiri?

Aku selalu membantu menyelesaikan masalah orang lain karena pekerjaanku, tidak bisakah kau membantuku untuk sekali ini saja Tuhan?

* * *

"Cukup aku yang mengatakannya. Kenapa kau katakan lagi, bodoh?" Mino melihat pertengkaran antara Jinwoo dan Seunghoon. Mino sedikit terkejut mengetahui kenyataan Jinwoo berkencan dengan Seunghi, tapi sebelum lupa dia harus menelpon Taehyun untuk menceritakan semua.

Beberapa hari kemudian, Taehyun mendapat kabar bahwa Seunghoon melarang Seunghi keluar dari rumah. Setelah mendapatkan kabar tentang itu, Taehyun dan Seungyoon mampir ke rumah Seunghoon.

"Jika kalian datang untuk membela psikiater itu, silakan pulang." ucap Seunghoon dengan wajah tak pedulinya saat menemui kedua sahabatnya di ruang keluarga.

"Kami bahkan belum duduk, Hyung." tanggap Seungyoon dengan kepolosannya.

"Kenapa kau tidak menyetujui mereka berhubungan? Memang pria seperti apa Jinwoo hyung itu di matamu?" tanya Taehyun tanpa basa-basi.

"Bukan urusanmu." Jawab Seunghoon singkat.

"Kau pikir hanya karena kau kakaknya, kau berhak memilih apa yang boleh dan tidak boleh untuk adikmu?" sinis Taehyun.

"Jika memang seperti itu, bisakah kau disebut kakaknya saat kau tidak mampu melindunginya selama lima tahun terakhir?" sindir Taehyun.

Sindiran Taehyun menyulut emosi Seunghoon, "Kwon Taehyun!" bentaknya.

"Makanya! Beritahu aku kenapa kau menolak Jinwoo?!" bentak Taehyun tak mau kalah.

"KARENA DIA ANAK HARAM!"

-BUG!-

Taehyun menghantam Seunghoon setelah ia mengucapkan kata 'anak haram'. Seunghoon terjatuh ke lantai dengan ujung bibir yang berdarah. Taehyun tak membantu, ia hanya menatap tajam. Membiarkan Seunghoon berdiri sendiri.

"Sejak kapan kau mulai membandingkan itu, hah? Kita sudah masing-masing berjanji untuk tidak mengungkit apapun tentang hal itu. Lalu kenapa sekarang dengan bodohnya kau menjadikan itu alasan, hah?" Taehyun mengepalkan tangannya tapi menahan diri untuk tidak memukul Seunghoon lagi.

"Hentikan!" Jinwoo tiba-tiba muncul dan berjalan mendekat ke mereka.

"Hyung." panggil Seungyoon.

"Aku akan menjauhinya, tapi pastikan dia tidak kau kurung di rumah. Dia tak bersalah, akulah yang sudah kurang ajar mencintainya. Aku ke sini hanya untuk mengatakan itu. Ayo pulang! Taehyun! Seungyoon!"

Jinwoo pergi setelah mengucapkan itu. Seungyoon mengejar Jinwoo, sedang Taehyun menghela napas dengan berat.

Seunghi muncul dengan linangan air mata, "Oppa, aku akan kembali ke New Zealand. Jadi, jangan memutus persahabatan kalian karena aku."

Seunghoon terkejut mendengar ucapan Seunghi. Ia yakin, Seunghi mendengar semua percakapan mereka. Setelah mengucapkan itu, Seunghi masuk kembali ke kamarnya.

"Kau dengar sendiri kan? Sikapmu bahkan lebih memalukan dari anak haram." Taehyun meninggalkan Seunghoon yang kesal dengan yang terjadi barusan.

* * *

Hari yang indah untuk orang lain di luar sana, langit yang biru, awan putih yang menggumpal dan matahari yang tak terlalu terik, tapi hari ini tidak mampu menghangatkan hati kelima anak muda itu.

Mino bangun tidur langsung melihat jam weker di meja yang ada di samping ranjangnya. Seungyoon enggan beranjak dari tempat tidurnya tetapi Jiho sudah berteriak memanggilnya untuk sarapan. Seunghoon masih bersikap dingin kepada Seunghi. Jinwoo sudah meminum susu di dapur, sedangkan Taehyun masih betah dalam pelukan Eunsoo.

Saat mereka tanpa sengaja menoleh ke sebuah pigura foto yang ada di atas meja dekat tempat tidur, kelimanya hanya bisa menghela napas panjang hampir bersamaan.

"Haaaa."

Ini pertama kalinya mereka berselisih paham satu dengan yang lain. Karena sejak dulu ayah mereka selalu berusaha memisahkan mereka, jadi mereka tidak pernah memiliki pikiran untuk bertengkar. Mereka hanya melakukan apa yang mereka suka bersama-sama, protes jika tidak suka, tertawa jika ada yang memalukan, tapi sekarang rasanya mereka enggan keluar rumah karena takut bertemu satu sama lain di jalan.

Apa yang harus kulakukan?

Bagaimana cara menyapanya?

Apa yang harus dibahas saat mereka membalas sapaanku?

Itu yang berada di benak mereka masing-masing jika nanti bertemu dengan salah satunya.

"Kau ada operasi malam ini?" tanya presdir Dong.

"Tidak ada, kenapa?" tanya Mino.

"Kita akan makan malam bersama." jawab presdir Dong.

"Baiklah, kirimkan alamatnya nanti." Mino tak ingin banyak tanya karena pasti nanti jadi masalah. Presdir Dong mengangguk.

"Selamat pagi, dokter Dong." Sapa beberapa pasien tapi dokter Dong hanya mengangguk dan berlalu. Mino memang dikenal sebagai dokter yang tidak ramah, cenderung ketus, tapi rumah sakit ini adalah miliknya, hingga tidak ada yang bisa menegurnya untuk itu.

Saat di depan lift, Mino mendapat pesan tepat saat liftnya terbuka. Kwang Jiseob ada di dalamnya.

"Tahan lift ini untukku." Jiseob menahan lift untuk Mino yang mengambil ponselnya dari dalam saku jas prakteknya.

Mr. Dong, we've got the flower. We're on the way to back to Korea. please prepare the money you promised.

Mino tersenyum membaca pesan yang masuk, sementara Jiseob yang daritadi menahan pintu untuk profesornya terlihat bingung bercampur tidak enak pada pengguna lift lain yang kerap keluar karena tidak tahan menunggu.

"Profesor Dong?" bisik Jiseob namun Mino tak peduli, ia masih membalas pesan yang masuk tadi.

Are you sure, it's the right flower?

"Profesor." panggil Jiseob kembali.

We're really sure about it. The chief themselves who showed the way and told us what kind of flower it.

Mino semakin terlihat kegirangan dengan pesan yang diterimanya.

Okay, I'll prepare the money. Just bring the flower to me.

Bukannya masuk ke dalam lift, Mino malah berlari menuju tangga darurat naik ke atas gedung. Bahkan panggilan Jiseob tak dihiraukan padahal Jiseob sudah menahan pintu lift untuk Mino.

"Woaaahh! Daebak! Aeri akan sembuh. Dia akan benar-benar sembuh." Teriak Mino dari atas gedung.

* * *

Di tempat berbeda.

Seunghi tengah berjalan-jalan di luar ditemani dua pengawal suruhan Seunghoon untuk menjaga jika Jinwoo dan Seunghi bertemu diam-diam. Meski sedikit risih tapi ia tak punya pilihan lain selain menurut.

Tiba-tiba kedua pengawal Seunghoon mendapat serangan. Seunghi yang menyadari itu terkejut dan melangkah mundur. Ketika melihat pengawalnya kalah, ketakutan Seunghi semakin menjadi. Ia mengambil langkah untuk berlari tapi sebuah mobil van hitam menghadang langkahnya. Dua orang bertopeng keluar dari dalam mobil dan menarik Seunghi masuk ke dalam van dengan membekap mulutnya agar tak berteriak. Tidak ada dari dua pengawal itu yang berhasil melindungi Seunghi. Salah satu diantaranya kini menghubungi Seunghoon, melaporkan yang terjadi dengan Seunghi.

Seunghi dibawa ke sebuah villa tua yang berada di luar kota. Dua pria yang memaksanya masuk ke dalam mobil, kini menyuruhnya duduk di kursi kayu yang berada di tengah-tengah ruangan yang minim cahaya.

-Plak!-

"Kalian membuatnya takut." Seseorang yang baru masuk memukul kepala pria bertopeng dengan tangannya bergantian.

"Ah." rintih mereka bersamaan. Orang yang baru masuk tadi langsung menyalakan lampu.

"Maaf. Kau tidak apa-apa?" tanyanya pada Seunghi.

"Jinwoo oppa?" ragu seunghi.

"Taehyun oppa? Seungyoon oppa?" seru Seunghi.

Beberapa hari yang lalu.

"Kenapa kalian meninggalkan dia dan justru mengejarku?" protes Jinwoo heran.

"Hah?" Taehyun bingung melihat Jinwoo bertanya seperti itu, namun tetap mengikuti Jinwoo masuk ke dalam mobil.

"Apa maksudmu tadi, hyung? Aku tidak mengerti." Tanya Taehyun.

"Apa kalian tidak sadar, Seunghoon sedang merengek." Ucap Jinwoo.

"Merengek?" ulang mereka bersamaan.

"Dia hanya ingin adiknya saat ini untuknya saja. Lima tahun berpisah dengan Seunghi, sudah pasti ada banyak waktu yang ingin ia habiskan bersama Seunghi. Jika aku tiba-tiba masuk diantara mereka, maka—" kalimat Jinwoo terpotong.

"Maka perhatian Seunghi akan lebih banyak untuk pria yang dicintainya?"  Seungyoon melanjutkan kalimat Jinwoo yang dipotongnya.

"Benar!" ucap Jinwoo.

"Jadi, Seunghoon benar-benar sedang cemburu sekarang?" tanya Taehyun tak percaya.

"Iya. Jadi, biarkan aku menyelesaikan masalahku sendri. Kalian berdua tidak perlu ikut campur." Pinta Jinwoo.

"Kami kan hanya ingin membantu, hyung." cibir Seungyoon.

"Kalau begitu bantu aku bertemu Seunghi."

Jinwoo menatap kedua anak itu berpakaian, dengan topeng yang masih mereka genggam membuat Jinwoo berdecak.

"Kalian membawa Seunghi padaku dengan cara menculiknya?" Tanya Jinwoo tak percaya.

"Tidak ada cara lain. Dua pengawal Seunghoon selalu berada disisinya, aku sendiri saja tak percaya dengan apa yang dilakukan si dewa ambisi itu. Wooah, rasa cemburunya benar-benar nyata." Omel Taehyun.

"Oppa..." Seunghi berlari ke arah Jinwoo dan memeluk pria yang tak pernah ditemuinya sejak Seunghoon tahu soal hubungan mereka. Jinwoo membalas pelukan Seunghi.

"Oppa~" tiru Seungyoon yang memeluk Taehyun.

"Hei! apa-apaan kau ini. aiisshh." Taehyun melepaskan pelukan Seungyoon namun pria usil itu masih berusaha bertahan memeluknya.

"Mmmm.. bisa kalian tinggalkan kami berdua?" tanya Jinwoo.

"Baiklah. Ayo, Seungyoon."

Sekarang tinggal Jinwoo dan Seunghi di ruangan itu. Jinwoo meminta Seunghi untuk duduk sementara dirinya berlutut di hadapan Seunghi. Ia menatap Seunghi, "aku sudah dengar dari Taehyun. Jangan pergi ke New Zealand. Oke?"

"Oppa." ucap Seunghi yang terkejut.

"Seunghi-ya, aku tahu ini berat tapi kita harus bertahan. Ini bukan hanya untukku, untukmu atau untuk kita tapi ini juga untuk Seunghoon." Kata Jinwoo perlahan sambil mengusap lembut punggung tangan Seunghi.

Kedua mata Seunghi mulai berkaca mendengar ucapan Jinwoo, "bisakah kau percaya padaku?" tanya Jinwoo pada Seunghi. Gadis itu dengan mata yang berkaca, mengangguk kecil diiringi senyuman untuk kekasihnya. Jinwoo meninggikan tubuhnya agar dapat meraih kening Seunghi untuk dikecupnya lembut.

"Tapi akan sulit membujuk Seunghoon oppa." tiba-tiba kekhawatiran menyergap Seunghi.

"Kita tidak perlu membujuk atau melakukan apapun, Seunghoon hanya membutuhkan waktu." tenang Jinwoo yang kemudian menarik Seunghi masuk ke dalam pelukannya.

"Ayo kuantar pulang." Jinwoo melepaskan pelukannya dan meraih tangan Seunghi lalu menariknya keluar dari ruangan itu.

Jinwoo pun mengantar Seunghi pulang ke rumah. Hendak masuk ke dalam pekarangan rumah keluarga Kang, Jinwoo dihadang dua pengawal. Seunghoon yang tidak sengaja melihat ke arah pekarangan menemukan Seunghi tengah bersama Jinwoo. Padahal sebelumnya kabar yang ia terima adalah penculikan Seunghi, tapi sekarang Seunghi justru tengah bersama Jinwoo dengan tangan yang bertaut saling menggenggam. Ada rasa marah yang kemudian memenuhi dadanya, Seunghoon segera keluar untuk menemui mereka.

"Biarkan mereka." perintah Seunghoon yang membuat para pengawal membuka jalan untuk Jinwoo yang kemudian berjalan berdampingan dengan Seunghi sambil berpegangan tangan. Melihat Jinwoo yang tak punya rasa takut karena menggenggam tangan Seunghi di depannya, Seunghoon melepas tautan tangan mereka dan menarik Seunghi ke sisinya.

"Kau sampai harus menculiknya hanya untuk bertemu dengannya? Tidakkah kau mulai berlebihan?" sinis Seunghoon.

"Mau bagaimana lagi? Aku merindukannya." Tanggap Jinwoo santai sementara Seunghi menggigit bibir bawahnya untuk menahan tawa.

"Jika dia bukan adikmu, aku takkan mengembalikannya dan langsung membawanya mendaftarkan pernikahan kami." Sambung Jinwoo dengan senyum lembut yang ditujukannya pada Seunghi.

"Lee Jinwoo!" geram Seunghoon. Ia tak percaya Jinwoo mampu berkata seperti itu padanya.

"Jangan lupa minum vitaminnya. Aku pulang dulu, chaggi." pamit Jinwoo.

Seunghi mengangguk lembut sambil melepas kepergian kekasih hatinya, sementara Seunghoon tak melepaskan tatapan tajamnya pada Jinwoo.

"Jinwoo oppa." panggil Seunghi kemudian. Jinwoo berhenti dan menoleh.

"Saranghae." Ucap Seunghi dengan nada yang sedikit centil.

"Yakk! Kang Seunghi!" sergah Seunghoon.

"Nado..." Balas Jinwoo.

Kedua orang yang tengah dimabuk asmara tak peduli dengan kekesalan Seunghoon. Jinwoo semakin menjauh dan menghilang di balik gerbang, sementara Seunghi berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang riang.

* * *

Mino yang berada di atap gedung mulai menuruni tangga darurat lalu keluar di lantai yang dituju. Ia tengah merasakan kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sejak Aeri sakit. Kebahagiaannya bahkan mengubah kepribadiannya menjadi lebih ramah, menyapa orang-orang yang ia temui selagi berjalan menuju kamar rawat Aeri. Bahkan ketika bertemu Jiseob, muridnya, Mino memanggilnya untuk mendekat dengan cara yang imut.

Jiseob bergidik namun ia tetap mendekat, tentu karena yang memanggilnya adalah mentor. Saat Jiseob mendekat. Mino tanpa ragu memegang kedua pipi Jiseob lalu menarik wajahnya hingga bibir Mino bisa menyentuh dahi Jiseob dengan mudah.

"Saranghae."

Setelah mencium dahi Jiseob dan bilang 'I love you', Mino berlalu begitu saja seperti tak terjadi apa-apa. Jiseob hanya geleng-geleng melihat mentornya bersikap aneh seperti itu.

Seperti Mino tak bisa menggambarkan kegembiraan kecuali dengan bertingkah di luar kebiasaannya, karena bayangan kebersamaan Aeri setelah Aeri dinyatakan sembuh telah memenuhi kepalanya.

* * *

Waktu adalah sesuatu yang terdengar sederhana namun dapat mengendalikan semuanya. Terus bergerak maju tanpa berpikir untuk mundur. Karena ketika waktu itu mundur mungkin akan kembali menyakiti kita. Seperti cinta.

- Lee Jinwoo –

BERSAMBUNG.....