"Dira... Tanganmu terluka..." Risa yang bekerja di Villa tempat menginap Dira terlihat khawatir, apalagi melihat darah di lantai dan wajah Dira memucat. Dira tidak bergeming, tersenyum walau samar. Risa melihat di mata Dira masih membayang air mata,
"Jalan hidup tidak ada yang tahu Dira..." kata Risa. Mencoba memberi alasan atau kekuatan agar Dira tidak larut dalam kesedihannya. Dira mengangguk membenarkan kata- kata Risa,
"Tapi ini sangat berat Risa," suara Dira lemah tubuhnya melorot hingga berakhir duduk di lantai, tatapannya kosong tidak terlihat harapan. "Seperti memakan buah dimalakama Risa, semuanya salah, cinta yang membutakan Kin dan Aku," Dira bersandar di dinding,
"Semoga masalah kalian segera berakhir," Risa mengambil kotak P3K dan membalut luka Dira. Melihat Dira setiap hari seperti orang linglung membuat Risa kasihan.
"Ayo ke Dokter! Lukamu dalam Dira, aku takut kamu demam dan infeksi. Dira pasrah dan mengikuti saran Risa, walaupun luka itu tidak mempengaruhinya, tapi Dira tetap mengikuti saran Risa.
Dokter dengan teliti mengambil sisa pecahan gelas di tangan Dira, lalu menjahitnya setelah itu kembali membalut luka Dira,
Setelah selesai, Dira kembali ke Villa. Langkah Dira terhenti saat hendak masuk ke Villa melihat ada Ezza sedang duduk di kursi teras. Ezza berdiri dan berjalan mendekati Dira,
"Kenapa tidak pulang?" Ezza bertanya, lalu menatap dalam wajah Dira, dengan cepat Dira memalingkan wajahnya,
"Untuk apa aku pulang? Aku hanya bonekanya Kin, Aku tidak sanggup Zza..." Dira tertunduk memandang rumput,
"Ma'af... semua berawal dari aku..." Ezza sangat merasa bersalah, andai saja dia dulu tidak menyakiti Dira, mungkin Dira tidak akan merasakan sakit yang lebih menyakitkan seperti sekarang.
"Kamu tidak salah Zza, aku yang mengusikmu dan datang di kehidupanmu tiba- tiba, hanya untuk tujuanku," Dira memaksakan senyumnya, memang tidak terlintas di benaknya untuk menyalahkan Ezza, walaupun Ezza juga sering memberi luka,
"Kamu terlalu baik Ra...mengorbankan dirimu sendiri untuk orang lain, Aku sudah mengetahui isi kontrak itu, ma'af!" Ezza tampak merasa terpukul, menyesali kebodohannya yang buta, tanpa mencari tau kebenarannya, bukan langsung memvonis.
"Aku tidak habis fikir kenapa kamu selalu diam saat aku menyakitimu? kenapa kamu selalu mengalah Dira? kenapa?" Ezza menatap Dira sendu,
"Karena ku fikir pintu hatimu akan melihat kebaikanku, tapi ternyata kebencianmu terlalu besar," Dira tertawa menertawakan dirinya sendiri.
"Ma'af Dira, jika waktu bisa berputar kembali kemasa itu, aku akan memperlakukanmu seperti Kin. Jujur dari dulu aku mencintaimu, tapi semua terkubur oleh keangkuhanku. Aku menyesal Dira,"
"Semua sudah berlalu Zza... tidak bisa dirubah,"
"Aku tahu Dira, semua sangat menyakitkan bagimu, aku menyesal."
"Jangan beritahu Rey tentang isi kontrak itu!" Dira mengalihkan tatapannya melihat deburan ombak yang saling menggulung berlomba berlari ketepi pantai dan kembali lagi ke laut.
"Kenapa?" Ezza mengerutkan keningnya.
"Karena akan ada yang terluka lagi hatinya, perasaanku juga tak lagi sama seperti yang dulu, semua telah tergantikan dengan sosok Kin, biarlah seperti ini!" Dira menarik nafas panjang.
"Aku kagum padamu..." ucap Ezza tulus. Dira tersenyum masam mendengar ucapan Ezza, sangat terlambat untuk mengatakannya.
"Aku wanita menjijikan Zza..." mata Dira berair kembali. Mengingat semuanya telah di miliki Kin, rasanya Dira tidak sanggup lagi berhubungan dengan yang lain.
Ezza memeluk Dira dan mengusap punggung Dira, "Aku yang memulainya dan memberi luka untuk pertama kalinya, Maaf!" Dira mulai menangis lagi, memang semua berawal dari Ezza hingga cintanya tercurahkan semua untuk Kin, hanya Kin seorang.
"Kin akan menikah dengan Lena lusa, hentikan jika kamu sangat mencintai Kin!" Dira semakin terkejut mendengarnya dan raut kesedihannya semakin nyata di mata Ezza.
"Bagaimana aku mempertahankan cintaku dengannya Zza? katakan padaku bagaimana caranya? sementara ada darah yang sama didalam tubuhku dan tubuhnya, katakan bagaimana caranya Zza?" Dira setengah berteriak meluapkan kesedihannya, meluapkan emosinya yang belum juga bisa menerima kenyataan yang ada dan berakhir lemas hampir terduduk di rumput kalau Ezza tidak menahannya,
Ezza membawa Dira masuk ke dalam Villa, lalu mendukukan Dira di sofa, Dira memejamkan matanya menekan emosinya dengan menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan.
"Aku juga tidak tahu kenapa Kin tiba- tiba menikahinya. Setahuku Kin tidak menyukai Lena," Ucapan Ezza membuat Dira teringat rekaman suara yang di kirim Lena kepadanya, raut wajah Dira semakin kacau.
Dira perlahan bangun dan mengambil minuman lalu meletakannya di meja sofa, "Jangan minum wine Dira!" Ezza mengingatkan Dira, Dira tertawa,
"Aku tidak akan mabuk Zza hanya dengan minum Wine," Dira meyakinkan, padahal minumann yang Dira teguk sebelum mengambil red wine adalah Vodka.
Dira berdiri di jendela bersandar di dinding menggoyang goyangkan gelasnya,
"Aku sekali lagi lari meninggalkan Kin setelah apa yang dilakukannya padaku... Aku tak lebih dengan budak cinta baginya... Dia mengklaim aku miliknya sehingga aku tidak dapat dekat dengan yang lain, sementara dia dan Lena...semua berengsek..." suara Dira yang putus asa sangat menyedihkan.
Ezza hanya diam, mendengarkan Dira. Tidak ada kata- kata yang tepat untuk membela Kin dan dirinya, yah memang satu kata yang pantas yaitu "Brengsek" Dira benar.
Melihat Dira sekarang, hati Ezza sakit dan sebelum menemui Dira, Ezza sempat bertemu Kin, meminta Dira untuknya tapi, Dira benar, Kin sangat marah dan bahkan mengancamnya akan membunuhnya jika memaksa memiliki Dira.
"Ayo pulang! Kalau tidak kerumah Kin, kamu bisa pulang kerumah mama," Ezza membujuk Dira,
"Apa aku sanggup Zza...?" Dira meneguk habis minuman di gelasnya, wajahnya yang putih menjadi memerah, tatapan matanya kosong.
"Kamu wanita kuat Dira..." Mendengar itu dari mulut Ezza, Dira tertawa sambil berurai aimatanya,
"Aku juga punya hati Zza..." Dira kembali duduk di sofa dan menuang wine kembali,
"Aku tidak akan kembali, karena kalau aku kembali, pernikahan mereka tidak akan terjadi," Walaupun hatinya ingin pulang dan menghentikannya, tapi Dira yakin itu bukan solusi yang baik,
"Aku tidak mau egois Zza..." Lagi -lagi Ezza kagum dengan sikap Dira.
"Baiklah aku pulang... Jaga dirimu baik- baik, kabari aku jika kamu mau di jemput!" Dira mengangguk,
❣
Dengan langkah gontai, Ezza masuk kerumah Kin. Melihat kedatangan Ezza tanpa Dira, Kin sangat marah dan melempar gelas yang ada di hadapannya. Ezza tidak bisa berbuat apa- apa,
"Aku sudah membujuknya dan mengatakan semuanya, menurutku lebih baik kamu lepaskan dia!" Ezza mencoba membujuk Kin. Kin tersenyum bersama dengan amarahnya,
"Tidak akan..." jawab Kin tegas, "Dia milikku dan selamanya seperti itu, aku akan memaksanya untuk kembali,"
Ezza menarik nafas panjang dan memilih berlalu dari hadapan Kin. Sementara Kin berangkat kekantor.
Sesampainya di kantor, Kin dengan cepat membuat surat perjanjian dengan Lena.
"Ren... Panggilkan Lena suruh menemuiku segera! Dan kamu Reva... Tolong di ketik sama persis seperti yang saya buat!"
Reno dan Reva mengangguk lalu meninggalkan ruangan Kin, Reva yang sedang mengetik kalimat per kalimat di perjanjian itu melongo seakan tidak percaya apa yang bosnya buat.
Lena datang dan Kin segera memberikan surat perjanjian yang dia buat,
"Tandatangani jika pernikahan lusa mau terjadi!" Lena mengambil map yang di berikan Kin, dan terkejut melihat isinya,
"Kau sebenarnya tidak menginginkanku?" Lena menatap tidak percaya, Lena fikir dengan menjauhnya Dira bisa merubah Kin, Lena fikir kata- kata Kin semalam hanya karena dia mabuk saja.
Kin tertawa mendengar pertanyaan Lena,
"Kamu tau itu tanpa harus bertanya padaku," Kin meminum kopi yang ada di mejanya dan mengabaikan raut muka Lena yang berubah - ubah membaca surat perjanjian yang di buat Kin,
Lena tidak mau menanggung malu karena dia sudah menyebar undangan ke teman sosialitanya, Lena terpaksa menandatangani surat perjanjian itu.
Kin tau Lena tidak akan menolak, karena Kin menggenggam kelemahan Lena,
"Aku sudah melakukan bagianku," Lena menyerahkan mapnya, dengan kesal Lena pergi meninggalkan Kin.
Kin segera menghubungi seseorang, "Kerjakan dengan rapi!" perintah Kin lalu memutus sambungan telponnya.
Kin tersenyum sendiri, membayangkan apa yang akan terjadi tiga hari lagi.