Chereads / Anindira / Chapter 35 - Kita sama- sama pendosa

Chapter 35 - Kita sama- sama pendosa

Ketika Dira keluar dari kamar mandi, Kin sudah berada di depan pintu kamar mandi, tersenyum manis memamerkan giginya yang putih dan rapih.

Dira mengerucutkan bibirnya dan menjauh duduk di meja rias sambil menarik nafas panjang, menatap kaca dengan wajah masih kesal.

"Kenapa beb?" Kin mendekat dan memeluk Dira dari belakang, pelukan hangat kin sedikit meredam emosinya.

"Bagaimana aku bisa keluar Kin? Leherku seperti kena monster nyamuk hutan, merah- merah semua." Wajah Dira memerah seperti ingin menangis, sedang Kin malah tertawa...

"Aku sengaja, biar kamu tidak bisa keluar," ujarnya enteng, Kin memandangnya dengan puas.

"Aku bukan tahanan, aku mau jalan, kalau begini, bagaimana bisa menarik bule- bule ganteng di sini?" Dira merajuk,

Sedang Kin melotot menatap Dira, kilatan matanya membuat nyali Dira menciut, "Kamu berani hah?" teriaknya, wajah Kin berubah menjadi menyeramkan di mata Dira.

Dira tersentak, mendapati emosi Kin akhir- akhir ini tidak stabil. Tapi Dira masih kesal mengingat aktivitas Kin dengan Lena beberapa waktu lalu, membuat Dira semakin menguji kesabaran Kin.

"Aku mau coba punya bule... Akh kenapa tidak menghubungi Dedrick biar kita impas?" Kata Dira santai, menunggu reaksi Kin. Tangan Kin mengepal dan tinjunya melayang ke meja persis di depan Dira,

"Brakkkk...." Suara keras terdengar, sampai Dira terperanjat, melihat tangan Kin membiru, Dira bangun untuk menahannya karena tangannya sekarang mengarah ke cermin, namun Kin mengibaskannya, menarik Dira kesisinya lalu berkata,

"Kamu tidak akan tersentuh oleh siapapun!" suara Kin tegas membuat Dira merinding.

"Kamu egois Kin..." Dira memandang Kin dengan kemarahan juga, selama ini Dira sudah menahannya dan sekarang sudah tidak tertahankan, Dira tahu Kin sangat menyayangi Dira namun, emosinya dan terutama egonya tidak terkontrol.

Dira mengoles foundation untuk menyamarkan tanda merah yang di buat Kin, lalu mengambil syal dan keluar dari kamar Hotel,

"Diraaaaa... kamu berani meninggalkan aku?" teriak Kin, namun Dira tidak peduli berjalan menjauh dari Kin, walaupun tubuhnya terasa remuk, namun Dira tidak mau melihat Kin yang mengerikan untuk saat ini.

Dira berjalan menyusuri toko- toko dan berakhir di pantai, sampai matahari terbenam Dira masih asik duduk memandang laut lepas, hingga tangan hangat memeluknya dari belakang,

"Tidak pulang?" Dira menggelengkan kepalanya, "Ma'af..." Suaranya sudah melemah, Kin duduk di sebelah Dira dan memakaikan Dira jaket, lalu di tarik kepelukannya kembali.

"I love you so much and I want you to be only mine..." Kin makin mengeratkan pelukannya.

"You are selfish Kin, I don't want to be touched by anyone while you touch it," mata Dira berkaca,

"Ma'af beb, itu semua di luar kendaliku," Kin menghujani Dira dengan ciuman,

"Kamu terlalu melebih- lebihkan Kin, aku tidak suka. Lihat! tanganmu terluka," Dira mengusap tangan Kin yang lebam dengan gerakan perlahan. Senyum bahagia terpancar di wajah Kin.

"Ma'af," Kata itu yang keluar lagi dari mulut Kin. Kin sadar, segala sesuatu yang menyangkut Dira memang selalu Kin tanggapi secara berlebihan.

"Tidak ada yang perlu di ma'afkan Kin," Dira berakhir luluh dan mengusap wajah Kin dengan lembut, menangkup kedua pipi Kin, lalu mengecup bibirnya sekilas.

Sejenak suasana hening, Kin menatap Dira dengan penuh cinta dan kembali menarik Dira kedalam pelukan Kin, Kin memejamkan matanya mencari kedamaian bersama orang yang paling di cintainya di tengah- tengah kekacauan yang sedang di hadapi mereka berdua.

"Kita makan malam dulu, terus pulang," Kin setengah bergumam, tanpa menunggu jawaban Dira, Kin membawa Dira ke tempat makan romantis.

Sehabis mandi, Dira berdiri di balkon sambil memegang gelas wine di tangannya, Kin keluar dari kamar mandi dan mendekat kearah Dira,

"Beb, jangan banyak- banyak minumnya!" Kin menegur Dira, karena Kin sudah melihat ada dua botol yang sudah kosong di meja,

Dira hanya tersenyum kaku sambil menatap laut lepas, lalu menyibakkan rambutnya kebelakang telinga, terlihat pipinya bersemu merah tersorot lampu malam membuat kecantikannya bertambah dan tentunya menggoda.

Kin mengambil gelas dari tangan Dira lalu meminum habis isinya, "Kin..." Dira merasa terusik, pandangan mata Dira tertuju pada Kin, tapi segera membuang wajahnya dan naik ketempat tidur, lalu memejamkan matanya.

Kin menarik nafas panjang, lalu mendekat. Memeluk tubuh Dira, menghirup aroma tubuh Dira hingga membuatnya rileks, lama - lama Kin terlelap begitupun dengan Dira.

Pagi hari, Dira sudah berjalan- jalan di pantai, menikmati udara pagi bersama bau air laut yang menyegarkan pernafasannya,

"Beb, kamu ninggalin aku sendiri di kamar." protes Kin, "Aku benci kamu diemin," protesnya lagi,

Dira menghentikan langkahnya dan membuang nafas kasar, lalu berbalik, melihat wajah tampan Kin yang memelas membuatnya luluh seketika, entah mantra apa yang dimiliki Kin hingga dirinya selalu luluh jatuh kedalam pesonanya,

Kin tersenyum, lalu memeluk Dira mengecup bibir merah Dira, "Beb..." rengeknya, membuat Dira langsung tersenyum dan membalas pelukan Kin,

"Kamu manja Kin," kata Dira menatap wajah Kin, yang terkena sinar matahari pagi, ketampanannya semakin nyata terlihat di mata Dira.

"Biarin..." Jawab Kin,

"Kapan kita pulang? terus istrimu?" Dira menyelidik,

"Kamu tidak menikmati kebersamaan kita?" tatapan Kin tajam,

"Hanya kamu Dira..." bisiknya, "Aku tidak peduli yang lain, anak buahku sudah mengurusnya," suara Kin datar.

Kin menjadi kejam untuk orang lain dan begitu posesif kepada Dira.

"Ini tidak baik Kin, aku tau yang dia mau uangmu, tapi dimata umum dia istrimu sekarang dan aku..." Dira menundukan kepalanya, tidak sanggup untuk berkata bahwa kenyataannya dia hanya adik Kin dan  kenyataannya juga sekarang, Dira lebih parah lagi, lebih ke pemuas nafsu Kin, atau menjalin hubungan terlarang dengan kakaknya sendiri entahlah apa namanya...

"Stop! Aku tidak peduli, This is the final decision, you can't change it." Wajah Kin menggelap, Dira tidak bisa berkata apapun di depan Kin, menentang sama saja mencelakainya, pergi menjauh juga percuma anak buahnya Kin dengan mudah bisa melacak keberadaannya dengan cepat,

"Ayo sarapan!" Dira mengakhiri pembicaraannya, meredam emosi Kin yang sebentar lagi akan meledak.

Kin mengangguk, lalu menggandeng Dira menuju Cafe dan beberapa kali Dira menangkap mata Kin menatap tajam beberapa pria yang dengan terang- terangan memandang Dira dengan tatapan aneh.

"Heyyy jangan berlebihan Kin," Dira mengambil alih makanan Kin dan menyuapinya, "Apa makanmu tidak baik akhir- akhir ini?" Dira mengelap saus yang ada di bibir Kin lalu menyuapinya lagi.

"Bagaimana aku bisa makan dengan baik jika isi kepalaku cuma ada kamu," Jawab Kin, Dira meletakan pisau dan garpunya lalu menarik tangan Kin dan mengusapnya dengan lembut,

"Kenapa harus aku? Kenapa harus kamu?Kenapa kita?" Wajah Kin mendekat tepat lima senti dari wajah Dira,

"Karena aku dan kamu atau Kita, saling mencintai," Jawab Kin dengan suara yang sedikit bergetar. Dira tahu Kin sedang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

"Apakah kita pendosa?" Mata Dira memandang mata Kin dalam, menjelajah tatapannya yang tersimpan banyak hal.

"Kalau iya, apa kamu takut? Kita bukan malaikat Dira, kamu dan aku akan tetap seperti ini,"

Dira memejamkan matanya sekejap lalu kembali menatap wajah Kin, tanpa berkata apapun.

"Ayo pulang!" Ajak Kin, Dira hanya diam patuh. Keduanya berjalan menuju Hotel tempat mereka menginap, tepatnya Hotel milik Kin.

"Besok kita baru pulang," Dira hanya mengangguk dan duduk di sofa, Kin menghampirinya, tapi belum saja duduk, pintu kamar di ketuk seseorang dari luar, Kin berjalan lalu membukakan pintu kamar dan betapa terkejutnya Kin, karena yang di balik pintu adalah Wijaya.

"Papa ngapain kesini?" terlihat Wijaya sangat marah, memaksa masuk dan melemparkan beberapa foto Kin dan Dira yang sedang berciuman di pantai,

"Kalau media sampai tahu, mau ditaruh dimana muka papa? kamu menikah dengan Lena, tapi tetap yang dipelukanmu Dira dan Dira... dan kamu..." Wijaya menunjuk Dira dengan telunjuknya, lalu melanjutkan bicaranya, "Setelah ada kamu dalam hidup Kin, semua jadi berantakan...." tanpa sadar Wijaya memaki Dira,

"Jaga bicaramu Tuan Danu Wijaya! Bukankah kau penyebab semua ini?" Kin berteriak kepada Danu Wijaya, "Papa melarang kami berhubungan?" tanya Kin menatap tajam Wijaya.

"Iya betul, karena kalian sedarah dan itu Dosa besar." Wijaya mengingatkan Kin akan kenyataan. Kin seketika tertawa,

"Papa bilang Dosa hah???? Apa yang papa lakukan bersama selingkuhanmu dan menghasilkan Dira itu bukan Dosa? Papa mengajariku sekarang? tapi kenyataannya kita sama- sama pendosa," Ucapan Kin, membuat Wijaya membeku sesaat.

"Papa hanya tidak mau kamu mengikuti papa," Jawab Wijaya membela diri,

"Sudah kukatakan dari dulu, terlambat, Papa  kasih Yesi dan itu tidak baik dan sekarang ada Lena dan bisa papa lihat sendiri siapa dia!" Kin menyalakan laptopnya dan terlihat dari CCTV tersembunyi di kamar Lena, terlihat jelas Lena sedang mabuk berat dikelilingi tiga orang laki- laki dalam keadaan polos.

"Lihat dia! aku benci... Aku hanya ingin Dira," Dira berdiri membeku menatap Kin dan Wijaya,

"Dasar anak sialan...." Wijaya lepas kontrol. Mendengar itu, Dira menahan sesak di dadanya lalu mengambil tasnya dan berlari meninggalkan Kin dan Wijaya.

Kin dengan cepat mengejar Dira namun terlambat, Dira sudah menghilang entah kemana. Kin beberapa kali menghubungi Dira namun nihil. Kin segera memerintahkan anak buahnya untuk mencari Dira untuk segera menyebar agar Dira cepat di temukan.

Langkah Kin terhenti saat melihat Dira sedang duduk di rumput taman sambil memeluk lututnya diantara ramainya orang lalu lalang. Kin mendekat dan memeluk erat tubuh Dira.

"Jangan pernah pergi dariku, apapun keadaannya!"

"Papa benar, semenjak ada aku, hidupmu berantakan. Papa benar, aku hanya buah dari dosa," Dira menangis tersedu- sedu, tidak peduli orang yang lewat menatapnya berkali- kali.

"Kamu yang terindah dan terbaik beb," Kin menggendong Dira dan di dudukan di jok mobil, Kin mencoba menenangkan Dira, hingga Dira menghentikan tangisnya.

"Ayo pulang dan hadapi bersama- sama!" Dira akhirnya mengangguk pasrah. Lagi- lagi Kin adalah kelemahannya.

Sepanjang jalan, Dira memeluk Kin erat, semuanya goyah jika menghadapi Kin. Hanya dan cuma Kin.