Chereads / Dikerjai Semesta / Chapter 1 - Satu

Dikerjai Semesta

🇮🇩Futari_Sakazaki
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 14.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Satu

SMA Candradimuka, sekolah baruku yang tak ku bayangkan akan menyuguhkan kisah seperti apa selanjutnya. Rasanya aku sudah hilang harapan, untuk sekadar membayangkan hal membahagiakan di kisah putih abu-abuku ini. Biarlah nanti menjadi kisah yang seperti apa, aku sudah terlalu pasrah dengan jalan kehidupan ini.

Di hadapanku ada dua orang pria tua dengan masing-masing jabatan berbeda. Satu pria botak yang katanya akan menjadi wali kelasku, yang satunya lagi pria beruban adalah kepala sekolah di sini. Melihat mereka, atau sebangsa jenis guru, membuatku muak untuk berjuta-juta kalinya. Karena mereka, aku jadi berpisah dengan sahabat karibku di sekolah yang lama, Deandra.

"Mari Bellva, Bapak antar ke kelas barumu," salah seorang pria di hadapanku, dengan kumis tebal dan kepala plontosnya itu memperlihatkan sifat sok ramah dan berwibawanya.

Ya, Bellva itu namaku. Bellva Erlangga. Aku adalah murid pindahan dari SMA Adiwangsa-sekolah lamaku, karena ada suatu permasalahan yang belum bisa ku sebutkan di sini. Yang jelas, aku tak ingin terlalu lama mengingat-ingat tentang sekolah lamaku itu. Karena di sana, murid kehilangan banyak hak bicaranya. Ini yang membuatku juga makin benci dengan orang dengan profesi guru, meski aku tahu tak semua guru menyebalkan.

"Silakan masuk, Bellva. Teman-teman barumu sudah menanti di dalam," guru berkepala plontos dengan pin nama Joseph itu membuyarkan lamunanku.

Melamun menjadi hal yang ku gemari. Karena dengan melamun, aku bisa melupakan hal memilukan di dunia ini, dan dunia juga bisa berlalu begitu cepat. Seperti saat ini, tak terasa di hadapanku sudah ada ruang kelas XI IPA 3, yang akan menjadi kelas baruku. Tak tahu apa yang dua pria tadi katakan sepanjang jalan menuju ke tempat ini, karena memang aku terlalu senang menyelami dunia lamunanku.

Hal yang ku dapati pertama kalinya masuk ke kelas ini adalah keterkejutan. Ku kira, dengan adanya penampilanku yang berambut cokelat emas, seenaknya menggulung lengan dan mengeluarkan beberapa sisi seragam, akan membuat guru yang melihat akan mengomel. Nyatanya, hal ini seperti wajar saja terjadi di SMA Candradimuka. Lihat saja. Tak hanya rambutku yang dicat bebas sesuai keinginan, beberapa kepala murid di hadapanku juga berwarna sesuai kemauan mereka. Ada yang berambut warna magenta yang membuatku sedikit tertarik untuk mencobanya, ada pula yang memilih warna hijau tosca. Dan sebentar. Lelaki berambut pirang yang duduk di pojok ruangan itu, begitu mencolok disertai ketampanannya.

"Anak-anak, ucapkan selamat datang untuk teman baru kalian yang bernama Bellva ini," pak Joseph berbasa-basi membuka percakapan di kelas yang tadinya berisik meski ada guru yang mengajar, namun tiba-tiba sunyi karena kedatangan kami.

Ku dengar tak lama setelah itu, penghuni kelas menyapa namaku. Yang selanjutnya terjadi adalah, tentu saja pak Joseph menyuruhku untuk memperkenalkan diri. Hal mainstream yang terjadi tiap kali ada anak baru datang ke suatu sekolah, dan murid lain begitu antusias menanti kedatangan sang anak baru menjadi teman semejanya. Sepersekian detik aku hanyut kembali dalam lamunan, pak Joseph membuyarkannya lagi dengan cara menyuruhku duduk di kursi yang masih kosong, di sebelah lelaki pirang itu.

Lelaki itu begitu berbeda dengan murid lain. Karena hanya dia yang tak begitu antusias dengan kedatanganku sebagai murid baru, meski ku pergoki ia menatap ke arahku beberapa kali. Namun ekspresi kekesalan dengan tatapan nanarnya tiap kali kelas berisik, dapat menyadarkanku bahwa lelaki itu tak menyukai keadaan di sekitarnya. Not bad, sepertinya anak yang sukar bergaul dengan orang-orang. Tapi nyatanya, kesan dingin dan anti sosial yang ku nilai barusan, hilang seketika setibanya aku di sampingnya.

"Anak baru gaul pindahan dari mana, nih?" Murid dengan badge nama Raynold Euginius, melukiskan seringai di wajahnya, dan tak lama kemudian kembali menggodaku. "Kaget ya, gara-gara gagal jadi anak gaul di antara banyaknya anak gaul?"

Aku memutar bola mataku, sebagai tanda sama sekali tak peduli dengan ucapan darinya. Ray, atau Eugine? Entahlah, aku tak mau tahu kelanjutan tentang lelaki itu karena terlanjur kecewa. Padahal sebelumnya sudah berekspetasi tinggi, bahwa lelaki itu mungkin sosok lelaki dingin nan tsundere yang menjadi the most wanted boy di sini, sehingga dirinya digemari banyak perempuan. Namun nyatanya, dia tak jauh berbeda dengan lelaki tengil penggoda para perempuan.

***

Ada hal baru yang ku tahu, mengapa menjadi alasan si lelaki pirang berkata sarkas padaku masalah anak gaul. Dia adalah satu-satunya pemilik rambut asli berwarna pirang, di tengah banyaknya penghuni sekolah yang mengecat rambut dengan warna berbeda-beda. Dan dia adalah blasteran... Oh shit, bagaimana bisa aku tak sadar? Padahal dari namanya saja, memperlihatkan salah satu marga orang luar negeri. Bahkan, sepintas ku lihat dari tatapan nanarnya, ia memiliki bola mata berwarna abu-abu.

"Gimana, anak gaul, mau sampai kapan mengagumi kegantengan gue?"

Ah, sial. dia belum tahu saja hobiku ini memang berlarut dalam lamunan! Menatapinya dalam diam di saat kondisi sekitar ramai, pasti membuatnya beranggapan bahwa aku benar-benar sedang mengagumi ketampanannya! Di awal memang aku sudah mengatakannya bahwa dia begitu tampan, tapi kalau dia mengaku sendiri berwajah tampan, aku akan mencabut kata-kata itu secepatnya.

"Bisa lo menjauh dari gue?"

"Ngga mau," dia menyambut kedatangan sepiring penuh nasi dengan lauk gudeg ala-ala dan dua kerupuk bundar. "Ngapain gue menjauh, kalau lo dideketin gue aja ngerasa betah?" tambahnya kemudian.

Dasar bule jadi-jadian! Sudah lah, aku tidak peduli lagi dia akan berbuat apa setelah ini. Yang jelas, semangkuk mie ayam bakso pedas di hadapanku harus cepat-cepat habis, supaya aku saja yang menjauh darinya. Aku tak mau ketiban sial, karena terlalu lama bersamanya.

Biar ku terka. Pasti karena menyebalkan, ia jadi tak memiliki teman yang akrab. Karena sepanjang jalan dari kelas dan selalu menguntit di belakangku, tak ada yang dia sapa atau orang mau menyapanya. Penghuni sekolah yang ingin mendekat dan berniat berkenalan denganku pun, seakan enggan dan mengurungkan niatnya begitu melihat aku berdekatan, dengan lelaki pemilik marga yang sama seperti tuan Krab di serial kartun Spongebob ini. Apakah sebegitu besar pengaruh lelaki ini? Apa justru memang dia adalah the most wanted boy dengan versi lain, yang kejam dan usil sehingga tak ada yang berani mendekat kepadanya? Kalau memang iya adalah jawabannya, bisa mati, aku ini!

"Ray," ucapnya tiba-tiba, saat beberapa kali ia kembali memergokiku tengah menatapinya dalam diam. "Ngga usah bingung untuk menyapa gue."

"Siapa juga yang mau nyapa lo?" aku bangkit dari tempat dudukku, karena makanan dalam mangkukku sudah tinggal tersisa sedikit saja.

"Hei, tunggu!" ku dengar dia berteriak, dan terlihat meninggalkan meja kami tadi. Makanan di piringnya juga sudah tandas tak bersisa. Ah, mungkin doyan makan menjadi alasan, mengapa lelaki bule itu memiliki badan besar nan tegap.

Tak ku pedulikan lelaki yang menyebut namanya Ray itu, terus saja mengejar langkahku. Paling tidak, hal ini akan berakhir, setibanya aku di dalam toilet siswa. Begitu pikirku, sebelum akhirnya dua toilet di sudut yang berbeda, tak menampakkan mana toilet untuk perempuan, mana pula toilet untuk laki-laki. Dan saat baru saja hendak ingin meninggalkan tempat ini, Ray menahan langkahku. Ray mengunciku ke tembok dengan salah satu tangannya. Hal mengerikan terlintas begitu saja di otakku.

"Bingung, kenapa ngga ada pembeda di antara toilet perempuan dan laki-laki?" Ray kembali melukiskan seringai yang ku benci di wajahnya. "Kalau lo mengharapkan pembeda gender, sekolah ini bukan tempatnya. Karena di sini, semuanya dianggap sama. Di sini begitu menjunjung visi kesetaraan gender."

Sumpah, aku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan!

"Rupanya, lo salah tempat untuk cari sekolah pindahan. Ngga lihat, di sini lebih dominan murid laki-laki?" lagi-lagi Ray menyeringai. "Karena Candradimuka, adalah sekolah yang sesuai dengan artinya. Tempat untuk penggemblengan diri supaya menjadi kuat, terlatih, dan tangkas. Isinya adalah murid-murid tahan banting, dan anti menye-menye. Kami dibebaskan berekspresi, yang penting memiliki jiwa berbudi pekerti. Kalau lo pindah dari sekolah lama karena ada drama, mending pindah lagi sebelum nangis di ketek emak karena sekolah di sini ngga kuat sama bully-an," tambahnya.

"Oh, lo pemilik sekolah ini? Jadi, sampai repot-repot begitu, menjelaskan tentang seluk-beluk sekolah kalian?" aku tak mau hanya dia yang terus melempariku ujaran sarkas. Aku juga ingin membalasnya!

Ray terkekeh mencibir, "masih anak baru, masih belum terdidik rupanya. Masih kebawa sama budaya sekolah lama."

Tanganku sudah melayang, tentu saja karena ingin memberinya tamparan. Tapi ku urungkan niatku, begitu mengingat aku ini baru menjadi murid baru. Aku tidak mau didrop out lagi, karena berulah kembali dengan kasus tindakan kekerasan. Jadinya, ku singkirkan saja lengannya yang menahan langkahku, dan aku benar-benar meninggalkan tempat ini. Sebelum akhirnya lekaki menyebalkan itu, melakukan hal mengerikan yang terlintas di dalam otakku beberapa saat yang lalu.

Saat melintasi lapangan sekolah, seketika aku tersadar dengan penjelasan Ray, bahwa sekolahan ini mendidik muridnya supaya kuat, terlatih dan tangkas. Banyak murid sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, seperti mendribel bola di lapangan basket, latihan drama di lapangan futsal, hingga main bulu tangkis di dua sisi lapangan voli. Dan baru ku sadari pula, bahwa jam istirahat yang diberikan Candradimuka untuk murid-muridnya, lebih lama dari jam istirahat di sekolah lain. Dari awal bel istirahat berbunyi, hingga saat ini belum ku dengar bel masuk pelajaran kembali berbunyi, jika ku hitung waktunya hampir setengah jam berlalu. Padahal di sekolah lain, waktu istirahat lima belas menit saja sudah terlalu lama, sepertinya. Sedangkan di Candradimuka ini, aku tak tahu akan sampai kapan jam istirahat terus disuguhkan begini.

"Bagaimana, Bellva? Kamu pasti belum tahu, mengapa di sekolah ini memiliki jam istirahat lebih lama dibanding sekolahan lain?"

Pak Joseph entah sejak kapan ada di samping kananku, saat aku tercengang melihat pemandangan ramai di tengah lapangan dengan murid-murid yang beraksi, maupun di pinggir lapangan dengan penuh murid-murid penonton. Ku tatap guru plontos yang berseri itu.

"Bapak harap, kamu secepatnya memilih ekstrakulikuler yang kamu minati, ya?" ucapan pak Joseph selanjutnya membuat aku makin tercengang. "Ini wajib, dan jika kamu tidak memilih salah satunya, sekolah akan terpaksa memasukkanmu ke dalam ekstrakulikuler lompat jauh, atau jurnalistik, karena peminatnya masih sedikit."

Aku membelalakkan mata. Baru kali ini ku temui sekolahan yang santai saat pelajaran, namun serius di bidang ekstrakulikuler peminatan. Bahkan disebutkan wajib memilih salah satunya! Aku sendiri tak tahu memiliki minat di bidang apa. Kalau seperti ini, aku akan kalah lagi dengan ujaran sarkas dari Ray. Aku akan dianggap menye-menye, seperti budaya sekolah lamaku, katanya!

"Ini ada buku tentang ekstrakulikuler di sekolah ini. Bapak harap, tiga hari lagi, kamu sudah bisa memutuskan akan masuk memilih cabang mana," pak Joseph memberikan buku berjudul Ekstrakulikuler Peminatan SMA Candradimuka. "Di sini, bukan hanya mendidik lewat pelajaran. Setidaknya, kami juga akan memberikan pengarahan kepada murid-murid, supaya segera menyiapkan di bidang mana yang harus diambil di perguruan tinggi lanjutan."

Aku masih bergeming. Nyatanya, aku salah memilih untuk sekolah di sini. Ah, padahal di awal, aku mengharapkan sekolah yang lebih santai, setelah lepas dari sekolah yang membuatku banyak melakukan masalah dan kesalahan.

"Selain kabari Bapak, kamu juga bisa langsung kabari nomor masing-masing ketua maupun pembina ekstrakulikuler, yang sudah tercantum di buku tersebut, ya?" pak Joseph menepuk lenganku. "Kurangi melamun, dan isi istirahat satu jammu untuk berbuat hal positif. Kalau begitu, Bapak pamit dulu."

Apa katanya? Istirahat satu jam?

Merupakan surga dunia bagi para pelajar di bumi karena waktu istirahatnya begitu lama, tapi sepertinya bagiku akan menjadi mimpi buruk yang menjelma di dunia nyata. Apa mereka yang membagi waktu untuk berlatih dan belajar tiap hari, tidak lelah dan jenuh untuk menjalaninya? Aku yang baru melihatnya saja, seakan sudah ingin angkat tangan saja sebelum berperang.

"Artikel ini, tolong direvisi, ya, Mel. Besok sudah jadwalnya publikasi."

"Siap, Kak. Nanti ku kumpulkan."

"Oh iya, Rudi, besok bantuin saya ganti isi mading, ya? Sudah setengah bulan, mading sepi."

"Baik, Kak. Divisi informasi juga udah ngumpulin yang mau setor isi mading."

"Oke, secepatnya suruh divisi informasi kumpulkan karya anak-anak, ya? Kita harus saring juga, nih."

"Siap, Kak!"

Aku melangkahkan kaki dengan ragu, untuk mendekat ke salah satu sisi mading di dekat kelasku. Sambil bersembunyi di balik pintu, ku amati dengan seksama salah satu dari mereka, yang tadi ucapannya terdengar begitu serius. Salah satu dari mereka, yang ku pastikan adalah pemimpinnya, tengah sibuk beceloteh lagi tentang hal yang tak ku ketahui. Dia seorang lelaki yang terlihat berbeda dari murid lain di sekolah ini. Dengan cepat, ku buka lembar demi lembar buku yang diberikan pak Joseph, untuk mencari informasi tentang salah satu ekstrakulikuler yang dipimpin lelaki itu. Dan benar saja... Ku temukan dia! Lelaki manis yang terlihat pendiam dan berwibawa, dia adalah ketua ektrakulikuler jurnalistik.