Chereads / Dikerjai Semesta / Chapter 4 - Empat

Chapter 4 - Empat

"Kamu bilang, di sekolah baru, kamu mengikuti ekskul jurnalistik, dan diberi jabatan humas? Jabatan ini, mengharuskan kamu bertemu orang banyak, Bellva. Ini berbahaya bagi kondisi psikologis kamu. Apalagi, kamu langsung berinteraksi dengan banyak orang, untuk menyebar pamflet lomba."

Wanita muda yang ada di hadapanku, berceloteh membalas cerita panjang yang kusuguhkan beberapa menit lalu. Rasa cemas yang membuatku pucat, setelah melaksanakan tugas dari Hendry, adalah pemicu lain selain datangnya mimpi buruk itu lagi, yang membuatku kembali mengunjungi dokter Rose. Wanita dengan rambut bob itu, entah sedang menulis apa di lembaran miliknya. Yang terpenting, sepanjang aku bercerita, rasa cemas ini berangsur-angsur menghilang.

"Untuk langsung dihadapi keramaian begini, berpotensi menambah rasa takut kamu, Bellva. Memang di awal, aku berniat melakukan terapi rasa takut ini, namun caranya sedikit demi sedikit," dokter Rose kembali menatapku, setelah akhirnya selesai menulis di lembarannya. "Tidak ada harapan lain, kamu harus menyudahi jabatan humas kamu di ekskul jurnalistik tersebut," tambahnya.

Aku terbelalak. Hal yang saling bertolak belakang, kembali kurasakan dalam benak sekaligus otakku. Aku tidak mungkin memilih ekstrakulikuler lain, yang akan membuatku jadi menjauh dari Hendry. Namun jika harus terus-terusan berada di sana, seperti yang dikatakan dokter Rose, trauma berkehdiupan sosial mungkin akan semakin bertambah.

"Ekskul di sekolahku wajib diikuti Dok, dan aku ngga tahu, bakat dan minatku ada di mana. Makanya, jalan buntu terakhir untuk mengikuti ekskul inilah yang aku ambil," aku beralibi. Meski memang benar adanya, alasan yang kusebutkan barusan. Namun rasa untuk berjauhan dengan Hendry, mendominasi alasan utama yang kuselundupkan.

Dokter Rose terkekeh. "Aku sudah mengenalmu selama dua tahun, Bellva. Katakanlah padaku, apa yang terjadi sebenarnya? Aku tahu kamu berbohong."

Tanganku mengepal, dan tak sadar kugebrak pelan meja dokter Rose ini. Bodoh sekali mengambil keputusan untuk berbohong di hadapan wanita ini. Aku menunduk menahan malu, "Maaf, Dokter. Aku merasa tertarik dengan ketuanya. Mungkin dengan cara ikut ekskul ini, aku bisa dekat dengannya."

"Kupastikan, ketuanya adalah sosok yang mengerti akan kondisi bawahannya. Tidak ada salahnya menolak jabatan yang diberikan oleh lelaki itu, dan kamu bisa meminta jabatan lain, untuk tetap dekat dengannya," dokter Rose tersenyum lebar. "Selalu ada jalan lain, Bellva. Jangan khawatir," ia beralih mengusap lenganku seraya memberi ketenangan. "Ada obat tambahan untukmu. Karena rasa cemasmu jadi sering kambuh seperti dulu, aku jadi khawatir kamu akan kolaps dan kembali mengurung diri. Minumlah sehari sekali, tiap kali kamu mulai merasa cemas lagi dengan keadaan di sekitar, ya? Jangan diminum, kalau perasaanmu normal seperti biasanya."

Tak ada yang ingin kubicarakan lagi setelah mendapat obat dari dokter Rose. Akhirnya, kuputuskan keluar dari klinik miliknya ini. Kulangkahkan kaki lebih cepat lagi menuju ke mobil yang menjemputku. Sebelum bel pulang berbunyi tadi, kukabari supir pribadiku untuk segera menjemput, dan membawaku ke klinik dokter Rose. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mungkin menyupir sendiri. Takutnya nanti, aku tiba-tiba kolaps di jalan.

Belum sempat kuputuskan turun dari mobil, setelah sekian lama merayap di jalanan, aku terdiam dalam lamunan karena melihat mobil mami terparkir di halaman. Wanita sok sibuk itu pulang, setelah akhirnya seminggu tak kulihat keberadaannya. Kutatap supir paruh baya yang menjadi kepercayaan keluargaku selama bertahun-tahun itu, seraya menuntut penjelasan darinya.

"Nyonya pulang karena ada insiden di kantor, Non. Nyonya juga belum dikasih tahu akan kesehatan Non saat ini," pak Karman berucap dengan menunduk dan bergetar.

"Aku harap, mami emang ngga tahu tentang kesehatanku," setelah berkata demikian, kuputuskan turun dari mobil dan melenggang masuk ke dalam rumah.

Belum sempat aku memasuki ruangan di rumahku lebih dalam lagi, kudengar adanya kebisingan yang berasal dari mulut mami dan bi Yanti. Mereka sepertinya sedang adu argumentasi. Dan ironisnya, mereka melibatkanku lagi...

"Anak itu, seharusnya kumasukkan saja ke rumah sakit jiwa!"

"Jangan Nyonya, non Bellva tidak gila. Non Bellva hanya sakit. Jangan siksa dia, Nyonya."

"Siapa yang jadi orangtuanya di sini, huh? Bahkan, kamu ini hanya menjadi pembantu di rumahku. Masih berani melawan?"

"Saya minta maaf, Nyonya. Tapi tolong, jangan bawa non Bellva ke rumah sakit lagi, Nyonya. Di sana hanya akan menyiksa non saja."

"Berani melawan kamu, ya!"

"Mami!" Aku berteriak, sebelum akhirnya mami melayangkan tamparannya ke bi Yanti. Aku menyeka air mataku sendiri, yang entah sejak kapan runtuh dari pelupuk mataku. Tak kusangka, lagi-lagi mami menganggapku gila, seperti beberapa bulan yang lalu, sebelum aku pindah ke sekolah baru. "Ngapain Mami pulang, tiap kali mendapatkan masalah? Setelah itu, Mami selalu menganggap dirinya paling benar di rumah ini."

"Apa maksud kamu?!"

"Mami emang orangtuaku, tapi Mami ngga pernah tahu, apa yang terbaik untuk aku. Daripada bersusah payah mengamankan aku ke rumah sakit jiwa, lebih baik Mami sibuk bermandi uang di kantor saja, sana!" Setelah berceloteh, aku melangkah panjang menuju kamar dan mengurung diri.

Kuabaikan semua yang diucapkan oleh mami. Hidup bersama wanita angkuh bernama Marisa itu, semakin memperburuk kesehatan psikologisku. Orangtua yang seharusnya berperan penting untuk membangkitkan semangat anaknya yang menderita trauma, justru menjadi sosok pemicu utama akan bertambahnya trauma tersebut. Kalau bukan dia yang menambah rasa sedihku dan terpuruk di masa lalu, mungkin kondisiku tidak akan separah saat ini.

***

Dua hari sudah aku izin tak masuk sekolah dengan alasan sakit. Padahal, kondisi kesehatan fisikku baik-baik saja. Aku juga mungkin mampu melakukan lari marathon sekalipun, tapi kondisi psikisku menolak semangatku untuk berangkat ke sekolah. Aku tidak mau bertemu dengan orang-orang asing itu, yang membantu memperparah kondisiku. Dan ternyata, pilihan tak masuk sekolah ini, membuat mood-ku lebih membaik dibanding tiga hari lalu.

Seperti yang disarankan dokter Rose, aku akan menolak untuk menjabat humas, atau hal terburuknya akan keluar dari ekstrakulikuler jurnalistik. Selama dua hari berdiam diri di dalam kamar, ditemani banyak makanan yang disuguhkan bi Yanti, aku jadi mendapat jawaban yang kupilih, demi kebaikanku sendiri. Kalau tak bisa dekat dengan Hendry lewat satu keanggotaan di ekstrakulikuler jurnalistik, mungkin Tuhan memberikan jalan lain, bukan?

Seperti yang dijelaskan Hendry di pesan singkat yang kukirim, ternyata lelaki yang akan ku temui pagi ini, sudah berada di dalam ruang jurnalistik.

Sebelum guru yang mengajar hari ini masuk ke dalam kelas, kuputuskan untuk bergegas menemui lelaki itu. Beberapa menit memilih langkah panjang, akhirnya aku tiba di hadapan Hendry. Seperti biasanya tiap kali pertama bertemu, lelaki itu tersenyum.

"Bellva, kamu katanya tidak masuk dua hari, ya? Kamu sakit? Saya tahu dari salah satu anak di kelas kamu."

Aku berdeham seraya membalas pertanyaannya barusan. "Ng... Hend, bukan itu yang mau gue bahas. Tapi, soal jabatan humas yang lo berikan ke gue, gue ngga bisa melanjutkannya lagi."

Senyum yang terlukis di bibir Hendry sirna, ekspresinya berubah terbelalak. "Kenapa? Kamu kan mampu, Bellva."

"Ngga, gue ngga mampu," jawabku cepat. "Kalau lo nanya gue sakit karena apa, jawabannya adalah jabatan humas yang lo berikan ke gue. Di awal, gue udah jelasin kalau gue ngga bisa pegang jabatan yang harus bertemu orang banyak. Tapi lo bersikeras, dan gue juga ngga enak hati untuk menolak. Tapi, setelah kejadian penyebaran pamflet itu, gue kambuh lagi. Jadi, gue ngga bisa lanjut. Maaf."

"T... Tapi, kenapa? Kamu sakit apa?"

"Ada banyak hal di dunia ini, yang seharusnya ngga lo ketahui. Jadi, sekali lagi, gue menolak jabatan itu. Lo boleh memberikan jabatan lain, atau pilihan terburuknya, keluarkan aja gue dari jurnalistik," celotehanku berakhir saat kuputuskan pergi dari hadapan Hendry.

Selama mengatakan hal-hal yang seharusnya tak kukatakan pada Hendry, aku berusaha untuk tetap tegar. Aku sejatinya tak mampu marah-marah di hadapannya, namun jika terus mengalah pada keadaan, justru aku yang kalah.

Tak lama berlari di setiap koridor, aku tiba di kelasku yang terlihat sudah sepi karena ada guru yang tengah mengajar. Kuketuk pintu kelas dan izin masuk, tak lupa menjelaskan bahwa aku baru saja pergi dari toilet. Guru yang terkenal killer di jurusan IPA Candradimuka ini, hanya menatapku sepintas, dan mengangguk memberikanku izin. Setibanya di bangku, Ray menatapku dengan tatapan yang seakan menuntutku untuk memberikan penjelasan kepadanya. Lama-lama, dia lebih keibuan dibandingkan mamiku!

***

Di jam pelajaran terakhir, kelasku dibebani oleh tugas, namun bebas pulang lebih awal jika sudah selesai mengerjakan tugas tersebut. Dari penjelasan guru piket yang memberi tugas, guru yang seharusnya mengajar kami di pelajaran Seni Budaya ini, absen karena sakit. Seisi kelas bersorak sorai, sebab kebanyakan dari mereka, katanya tak suka apabila diajar oleh guru tersebut. Untuk murid baru sepertiku yang belum lebih dari dua Minggu di sekolahan ini, belum mencermati dengan betul, di mana letak menyebalkannya si guru yang dikenal pembina ekstrakulikuler tari di Candradimuka ini.

Di puluhan menit terakhir yang tersisa untuk mengerjakan tugas, aku kesulitan di beberapa soal. Sedangkan kebanyakan dari murid lain, sudah terlihat mulai selesai dan meninggalkan ruangan ini. Aku yang tidak terlalu dekat dengan mereka, mana mungkin semena-mena meminta contekan. Mau tak mau, semua tugas yang diberikan guru di tiap mata pelajaran, harus kukerjakan dengan kemampuan otakku sendiri. Namun, aku melupakan satu hal, rupanya. Sebagai teman satu-satunya di kelas ini, tanpa hujan tanpa badai, Ray menyodorkan lembar jawaban miliknya kepadaku.

"Memastikan benar ngga, nih?" Kuraih lembar jawab milik Ray tersebut, lalu mengecek nomor demi nomor yang dikerjakan olehnya.

Ray terlihat mencibir. "Kalau ngga percaya, ngga usah nyontek," lalu ia beralih hendak merebut miliknya kembali, namun dengan sigap, kutepis tangannya.

"Iya, iya. Gue percaya, kok," lalu aku menyalin pekerjaan milik Ray ke dalam lembar jawab milikku. Dua soal esai yang menurutku sulit, Ray jawab dengan pendapatnya yang begitu masuk akal.

Dengan usiaku yang baru seumur jagung di sekolahan ini, aku tentunya belum tahu betul seberapa jauh kemampuan Ray di bidang akademik maupun non akademik. Namun dari pengamatanku, selama di kelas, Ray selalu memerhatikan guru, dan mengerjakan tugas yang diberikan dengan percaya diri, meski jawabannya belum tentu benar. Dalam bidang non akademik pun, dia terlihat tekun di dunia e-sport dan desain grafis yang ia minati ekstrakulikulernya.

"Lo udah keluar dari jurnalistik?" Ray terlihat tengah mengemas buku ke dalam tas, dan hendak mengenakan hoodie berwarna merah marun miliknya.

"Belum keluar, tapi baru mengundurkan diri dari jabatan humas," jelasku tanpa melihat lagi ke arah lelaki itu.

"Jadi benar, ini pemicu kenapa lo sakit dan ngga masuk selama dua hari?"

Pertanyaan Ray yang barusan, membuatku berhenti menyalin jawaban. Bagaimana mungkin lelaki ini tahu kebenarannya, padahal aku baru menceritakan hal ini kepada Hendry.

"Gue cuma menerkanya, Bell. Ternyata, kejadian tempo hari, berpengaruh besar di kehidupan lo," Ray berbicara lagi.

Tak mau berlama-lama bersama Ray, kupercepat aktivitas menulisku. Setelah selesai, kuberikan kembali lembar jawab miliknya, dan aku fokus mengemas barang bawaan untuk dimasukkan ke dalam tas. Namun, ekor mataku melihat bahwa Ray masih berada di bangkunya.

"Mau nyoba desain grafis, ngga? Ekskul ini, ngga mengharuskan anggotanya ketemu banyak orang, kok."

Ucapan Ray yang selanjutnya, membuatku sedikit tertarik, untuk menyelami dunia yang kunilai sulit untuk dipahami. Kalau harus memilih, desain grafis memang sepertinya tak mengharuskan anggotanya bertemu dengan banyak orang. Untuk level desainer yang sudah andal juga, sepertinya tak harus langsung bertemu dengan konsumennya. Konsumennya pasti juga tak sebanyak orang yang harus ditemui oleh anggota klub jurnalistik.

Setelah selesai mengemas barang, aku menatap Ray yang sudah terlihat berdiri. "Ayo."

"Hah?" Ray terlihat kebingungan.

Aku memutar bola mata dan berdecak. "Lo mau ngajak gue masuk desain grafis, kan? Jadi, gue harus ketemu sama siapa?"

Tanpa pikir panjang dan membalas ucapanku, Ray mencekal pergelangan tanganku, sembari melangkah membelah koridor demi koridor. Hingga pemandangan ruang desain grafis yang tenang, sejuk, dan memanjakan mata, kutemui di sudut gedung C lantai dasar. Ruangannya bersebelahan dengan ruang komputer, dan yang terlihat saat masuk ke ruangan yang disekat, di dalamnya terdapat beberapa komputer, dan juga kasur lantai di sana. Beberapa orang ada yang sibuk mengerjakan desain, ada pula yang nyaman rebahan di kasur lantai.

"Ray? Ini Bellva, ya?" Aku dikejutkan oleh sosok gadis berambut panjang, yang tubuhnya lebih pendek dariku. Air mukanya terlihat berseri, saat berhadapan denganku dan juga Ray.

"Iya, Mi. Bantuin dia jatuh cinta sama desain grafis, gih," Ray meletakkan tas ranselnya di salah satu kursi yang kosong di ruangan utama. Tak lama, ia masuk ke dalam ruangan kedua dan bergabung dengan temannya untuk rebahan.

Gadis dengan badge nama Naomi Angeline itu, menarik lenganku untuk didekapnya. Dengan wajah berseri, dia terus menatapku berbinar. "Lo cantik banget, sih? Pantesan seluruh penghuni sekolah, sibuk membicarakan lo."

Aku menggaruk tengkuk, karena tak percaya dengan ujaran dari gadis yang kuyakini dipanggil dengan sebutan Naomi ini. "Ng... Kata siapa?"

Naomi berdecak. "Udah, sini gue kenalin sama ekskul DG. Pasti, lo bakalan suka. Oh, iya! Kenalin dulu, gue Naomi. Sepupunya Ray. Dan di ekskul ini, gue khusus menangani anak-anak yang baru gabung. Tugas gue, memperkenalkan teknik dasar, cara penggunaan software, dan masih banyak lagi hal yang menyenangkan!" celotehnya panjang.

Meski baru sempat berkenalan begini, aku merasa tak ada bedanya dengan Ray yang banyak bicara. Mungkin, aku bisa merasa tak nyaman dengan kebanyakan orang, namun entah mengapa justru dengan dua makhluk sepersepupuan ini, aku merasa tenang dan biasa-biasa saja. Atau mungkin, Ray dan Naomi memang dilahirkan di keluarga yang spesial untuk menangani orang-orang ansos sepertiku?

Detik itu juga, aku berjanji. Jika apa yang dijelaskan oleh Naomi bisa kuserap dengan menyenangkan, aku akan memilih untuk meninggalkan klub jurnalis dan niatku untuk mendekati Hendry. Dan tentunya banting setir untuk menggeluti ekstrakulikuler desain grafis, bersama orang menyenangkan seperti Naomi ini. Tapi, kalau begini, berarti aku harus bertemu setiap waktu dengan Ray? Di dalam ruangan saat pelajaran, maupun kegiatan ekstrakulikuler di luar kelas.

***