Minggu pagi yang lumayan cerah, namun dengan udara yang masih terasa dingin, adalah hal sempurna bagiku. Terlebih jika libur akhir pekan ini, kusempatkan waktu untuk bertemu sahabatku—Deandra. Gadis berambut panjang yang menyebalkan, suka mendominasi saat berhubungan dengan lelaki, paling tidak suka pendapatnya dibantah, namun tetap saja hatinya sensitif apabila mendengar kisah-kisah menyedihkan. Apalagi, jika disuguhkan dengan kisah hidupku yang begitu memprihatinkan. Itu sebabnya, semenjak lulus SMP dan mendaftar di SMA Adiwangsa, serta meski sudah tidak satu sekolah lagi, Deandra tetap menjadi sahabat yang paling menguatkanku. Fakta lucu yang mengejutkan lainnya, kami justru bertemu pertama kali di sosial media. Hingga akhirnya, baru memutuskan masuk SMA yang sama.
Setelah bertukar pesan beberapa saat barusan, kuangkat bokongku yang sedari tadi nyaman di atas ranjang. Tubuhku masih terbalut piyama mandi, karena selama di dalam kamar mandi tadi, pikiranku terus terdampar pada gadis menyebalkan itu. Takutnya, aku sudah lama-lama menunggu dan susah payah dandan, Deandra justru masih mendengkur di balik selimut bergambar beruang miliknya. Rasa khawatirku akan Deandra yang kukira belum bangun, sirna setelah mengetahui bahwa ia sudah bersiap-siap untuk mandi. Paling tidak, jika waktu kupergunakan untuk berpakaian, berdandan, dan memanaskan mobil, dapat bertepatan dengan selesainya aktivitas pagi Deandra.
Mungkin, pertanyaan yang pertama kali terlintas adalah, untuk apa aku mengunjungi rumah papiku? Atau, muncul pertanyaan lain seperti, apakah aku pisah rumah dengan papiku? Jawaban keduanya adalah, aku memang pisah rumah dengan papi setelah dua tahun lalu kedua orangtuaku bercerai. Hak asuhku jatuh ke tangan mami, yang mengharuskan aku tak tinggal lagi bersama papi. Sosok yang lebih mending, daripada mami yang hampir tak pernah mengurusku semenjak dia sibuk kerja.
Papi menikah lagi setengah tahun berselang waktu perceraian, dan dia bersama keluarga barunya sempat pindah ke Amerika. Negara di mana awal mula ia bertemu dengan si tambatan hati barunya, katanya. Dan yang kuketahui ceritanya sedikit adalah, ibu tiriku juga sudah lama tinggal di negara Paman Sam tersebut, dan sempat pula menikah dengan orang sana. Dari pernikahan yang sebelumnya, wanita ramah yang bernama Vionita memiliki anak tunggal. Laki-laki katanya, dan anak tunggalnya lebih tua tiga tahun dibandingkan usiaku.
Beberapa hari yang lalu, papi menghubungiku, katanya mereka sudah sekitar tiga bulan kembali ke Indonesia. Dan menempati rumah lama yang sempat kutempati, sebelum papi dan mami bercerai. Papi juga katanya baru ada waktu senggang, itu sebabnya baru bisa menghubungiku. Yang baru kutahu, ternyata bi Yanti juga masih berkomunikasi dengan papi, demi mengawasiku dari kejauhan, katanya. Mungkin inilah alasan, mengapa aku disuruh berkunjung ke rumah lamaku, karena nantinya akan disuguhkan dengan banyak pertanyaan. Terutama, masalah traumaku yang sempat kambuh.
"Ya, hallo, De?" Sebelum memasuki mobil yang ternyata mesinnya sudah dipanaskan oleh pak Karman, ponselku berdering menandakan ada telepon dari Deandra. Gadis itu, mungkin sudah selesai dengan aktivitas rutin paginya.
"Gue yang ke rumah lo aja, deh. Pakai mobil gue, ya? Habis temani lo ke rumah lama, masalahnya nyokap gue minta dijemput di bandara. Gimana?"
Aku menimang-nimang masukan dari Deandra. Hari gini, aku juga sebenarnya sedang malas menyetir. "Oke, deh. Gercep, tapi!"
Belum sempat membalas ucapanku, sambungan teleponnya dimatikan oleh pihak penelpon. Kebiasaan Deandra memang begitu, kalau lawan bicara di telepon baru menjawab ucapannya, dia tak akan lagi berbasa-basi. Yah, paling tidak, menghemat penggunaan waktu.
Sekitar dua puluh menitan, aku menunggu gadis itu di halaman rumah. Aku juga mengatakan ke pak Karman, tak jadi pakai mobil sendiri karena dijemput Deandra. Di akhir pekan begini, rumah yang kini kutempati tetaplah sepi. Pak Karman biasanya bersantai dengan pak Bagyo—satpam di rumahku, sembari ngopi dan tanding catur. Sedangkan bi Yanti hanya bebersih rumah, karena aku biasanya sarapan di luar tiap Minggu pagi. Jangan tanyakan mamiku ada di mana, karena meski akhir pekan begini, ia tak beranjak dari kepentingan dunia dewasanya itu. Entah sibuk urusan kantor, maupun mengurus salah satu cabang butik miliknya di kota sebelah.
"Sori, tadi jalanan udah macet," kepala Deandra melongok dari balik jendela pintu mobil sembari nyengir.
Aku mengerlingkan mata, kemudian bangkit dari kursi taman dan mengitari mobil Mini Cooper milik Deandra, tentu aku duduk di samping kursi kemudi. "Dua Minggu ngga ketemu, makin anu dah, lo?" Lalu kami sibuk bercipika-cipiki.
Deandra menoyor kepalaku, lalu ia lanjut menjalankan mobilnya memutari halaman rumahku, sesekali ia melirik ke arahku. "Anu apaan, buset, dah! Lo tuh, yang makin kurusan. Pasti kambuh lagi?"
Aku hanya berdeham. Deandra memang paling mengerti akan tanda-tanda traumaku saat kambuh. Mungkin saja memang benar, aku jadi kurusan lagi, setelah memikirkan banyak masalah. Aku tak peduli akan berkurangnya berat badanku lagi, paling tidak, aku masih bisa hidup di dunia sampai saat ini.
Tak jauh dari perumahanku, kami tiba di sudutan kota yang biasanya menyuguhkan acara Car Free Day, di tiap Minggu pagi. Deandra memilih untuk parkir tak jauh dari pintu utama masuk ke bagian jalan yang ditutup. Sebelum keluar dari mobil, Deandra mengajakku berswafoto, katanya untuk diunggah di sosial medianya. Kebetulan sekali, hari ini kami sama-sama memakai pakaian olahraga berwarna senada merah jambu. Kata Deandra lagi, kebetulan ini jadi menambah nilai estetik di swafoto yang diambilnya pagi ini sebelum joging.
"Muterin jalan dulu baru jajan, atau jajan dulu baru muterin jalan?" Deandra menghampiriku setelah ia membayar parkir ke abang-abang parkir.
Aku berdecak. "Mau joging apa jajan jadinya, neeeh?"
Deandra menyandarkan sikunya ke atas bahuku sembari nyengir kuda. "Sambil menyelam, minum air. Gue kasihan sama lo, jadi kurusan gini. Jadi, harus banyak jajan!"
Setelah itu, kami terbahak dan memilih berjalan santai mengitari sudutan jalan yang diisi oleh stan-stan jajanan, maupun pedagang pakaian. Beberapa kilo jalan yang kami tempuh, akhirnya kami sampai di gor yang berada di tengah jalan yang menjadi pusat Car Free Day. Selama lima belas menitan, kami joging memutari lapangan sepak bola di dalam gor. Sepanjang joging, kami berbagi cerita. Aku bercerita tentang hidup yang berubah 180 derajat, setelah menjadi murid di Candradimuka. Sedangkan Deandra menceritakan trending topik baru di Adiwangsa, yang terjadi setelah kepindahanku. Sosok yang sempat aku labrak dan kupukuli karena ada permasalahan, diskors karena ketahuan mesum di toilet. Dalam hati, aku terbahak kencang. Karma is real!
***
Hari yang kulalui kali ini, selama kurang lebih tiga jam bersama Deandra, seakan menjadi pengisian ulang kebahagiaan di hidupku. Yah, habisnya, aku tak memiliki sahabat perempuan lagi seperti Deandra. Atau mungkin, memang belum. Jadinya, saat berpisah dengannya, dan hanya bisa berbagi cerita lewat pesan singkat, aku jadi tak bersemangat. Apalagi untuk berangkat sekolah. Untuk sekadar mencari teman saja, aku tidak berani, bukan? Tapi paling tidak, aku akan tetap berusaha memilah-milih mana yang tepat untuk dijadikan sahabat di sekolah baru.
Joging di tempat keramaian, tak sama seperti halnya aku berjalan di tiap koridor sekolahan. Mungkin di kedua hal itu, orang akan sama-sama menatapku saat berjalan. Namun bedanya, saat di luar sekolah begini, aku tak perlu memusingkan keberadaan mereka yang tentunya tak kutemui lagi di kemudian hari. Tidak seperti di sekolah, karena meski aku tak mengenali mereka yang menatap sembari menilaiku, tetapi di hari-hari berikutnya masih bertemu.
Mungkin itu cukup, menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa traumaku tidak kambuh meskipun berada di keramaian?
Mobil yang kami tunggangi, sampai di halaman sebuah rumah yang didominasi dengan warna putih. Rumah minimalis namun tetap elegan, berdiri kokoh di tengah-tengah komplek perumahan di sudut kota, yang tak jauh dari tempat tinggalku. Rumah yang sejak kecil kutinggali hingga akhir SMP ini, tak ada bedanya dengan tahun-tahun berlalu. Yang membedakan kini, hanyalah sang penghuninya yang memiliki wajah baru.
Sebelum turun dari mobil Deandra, gadis itu mengusap bahuku memberi kekuatan. Deandra pasti tahu, aku masih menyimpan kenangan buruk akan rumah lamaku ini, saat orangtuaku masih bersama dalam ikatan pernikahan. Meski batin mereka, mungkin tidak pernah terikat satu sama lain. Habisnya, orangtuaku ini adalah dua orang korban perjodohan, demi memperlancar kolega bisnis kedua belah pihak keluarganya. Selama bertahun-tahun, orangtuaku hanya sibuk melakukan bisnis, dan hanya sesekali beriteraksi denganku. Dan yang kukatakan di awal, yang lebih mending adalah papi. Dia masih menganggapku ada di dunia ini.
"Wah, lihat, Pa. Siapa yang datang?"
Sebelum masuk ke dalam rumah ini, di ambang pintu, tiba-tiba kami disapa oleh wanita paruh baya berambut gelombang. Kupastikan bahwa inilah sosok ibu tiriku. Karena selama hampir dua tahun papi menikah dengannya, kami hanya bertukar kabar lewat sosial media, meski sesekali sempat bertukar kabar lewat panggilan video. Tak lama saat aku mulai terdiam, tante Vio mendekapku hangat. Ah, begini rupanya, perasaan kasih sayang tak pernah kudapatkan dari mami sendiri.
"Anak gadis Papi sudah datang?" Papi muncul dari dalam rumah, setelah tante Vio melepas dekapannya. Aku beralih untuk memeluk papiku. Lama tak bersua.
"Pagi Tante, Om," Deandra yang menemaniku, turut menyalami mereka.
Setelahnya, kami diajak masuk ke ruang keluarga, dan berbincang banyak hal di sana. Tempat yang sudah lama tak kusinggahi ini, memang benar-benar tak ada yang berubah secara signifikan. Paling, hanyalah potret foto keluarga yang berbeda, dibanding dua tahun lalu. Gambar besar berisi tiga orang tersebut, tergantung di belakang sofa yang ku duduki, yang berhadapan dengan televisi. Dapat kulihat bahwa anak tunggal tante Vio, begitu tampan khas orang barat, karena ayahnya tentu saja bule.
Di satu sisi dinding lain, potret diriku masih terpampang di sana. Dan rupanya, justru bersebelahan dengan potret sang kakak tiriku. Ah, apa aku boleh menganggapnya kakakku? Bahkan, aku tak berani menatap, meski hanya sebuah gambar berpigura di sana. Sorot matanya yang tajam, semakin menambah kesan garangnya. Kira-kira, siapa namanya?
"Bellva, itu kakakmu. Shandy namanya," tante Vio menepuk pahaku pelan, seraya menjawab pertanyaan di dalam batinku.
Aku tersenyum tipis, membalas penjelasan tante Vio. Rasa canggungku bertemu dengan orang baru, masih terasa, meski wanita ini terus berusaha mengakrabiku dengan caranya sendiri.
"Dia tahun pertama kuliah. Sejak lulus high school, Papi sudah mengirimnya kemari, dan dia langsung kuliah di salah satu universitas di sini," papi juga seakan tahu, bahwa aku ingin mengenal lelaki itu lebih jauh lagi. Jadinya, papi menjelaskan apa yang tak kutanyakan.
Dan fakta baru yang kutahu, ternyata Shandy terlebih dahulu tinggal di sini, sebelum papi dan tante Vio kembali ke sini. Berarti, selama satu semester ini, Shandy tinggal sendirian di rumah ini?
"Lho, ini dia, orangnya yang lagi dibicarain baru pulang," tante Vio membuyarkan lamunanku, dengan pekikannya seiring kedatangan seorang lelaki yang menggantungkan jaketnya di salah satu bahu. Tak lama, tante Vio bangkit dari sofa, dan mendekat ke lelaki itu. "Shandy, ayo sini kenalan dulu dengan adikmu."
Lelaki yang ku pastikan sama dengan di dalam potret di salah satu dinding itu, menatapku dalam diam dengan pandangan nanar. Dengan hanya mendapat tatapannya barusan, aku sudah merasa bahwa dia adalah lelaki yang begitu beku untuk didekati. Sial, mengapa sosok kakak yang kudambakan seperhatian Bryan Domani, justru bertolak belakang dengan sosok lelaki ini.
Aku bangkit, seiring Shandy mendekat ke arah sofa yang kududuki. Kuulurkan tangan, seraya ingin berkenalan. "Namaku Bellva, Kak."
Beberapa detik terdiam, kudengar Shandy mendengus, dan menjabat tanganku sekilas. "Shandy," hanya itu yang keluar dari mulutnya. Lalu tak lama, dia bergegas naik ke lantai tiga.
Aku kembali duduk, dan menatap Deandra sebentar. Bahkan, sahabatku ini, belum ikut andil berkenalan dengannya. Kulihat, papi menggelengkan kepala dan tante Vio menaikkan bahunya sepintas.
"Maafkan anak Tante, Sayang. Dia memang sulit kenal orang baru," tante Vio kembali duduk di sebelahku. "Tapi Tante yakin, kalau sudah saling kenal, dia sangat perhatian."
Huh, apakah begitu kenyataannya? Semoga saja sosok kakak lelaki yang seperhatian Bryan Domani yang kudamba-dambakan, memang ada di dalam diri Shandy yang dari luar seperti gunung es itu.
Perbincangan kembali berlanjut, dengan Shandy mendominasi menjadi topik kami. Dari mulai tante Vio menjelaskan sikap dan sifatnya, hobinya yang senang balapan mobil, sampai papi yang tak percaya bahwa anak sebadung Shandy, bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di kota ini dengan bermodal prestasi non akademik. Prestasi Shandy di bidang lain selain balap mobil, tak tante Vio jelaskan. Karena dari pandanganku, orang seperti Shandy mungkin saja pandai bermusik, maupun pandai di salah satu bidang teknologi. Entah apa pun itu, mungkin dapat kutanyakan lagi, setelah Shandy menampakkan sifat aslinya padaku.
***
Sebelum tengah hari, Deandra pamit pergi, sesuai dengan percakapan kami di awal, bahwa dia akan menjemput ibunya di bandara. Alhasil, dengan serta merta, tante Vio menyebutkan bahwa Shandy yang akan mengantarku pulang malam nanti. Ya Tuhan, tak kubayangkan lagi, bagaimana kecanggungan di dalam mobil karena kami sibuk untuk saling terdiam.
Selepas makan malam mewah yang disuguhkan tante Vio, Shandy sempat menolak untuk mengantarku pulang. Namun setelah mengerang dan berdecak, akhirnya ia mengiyakan permintaan mamanya. Terjadilah, hal yang kubayangkan sebelumnya. Tentu saja berupa kecanggungan di dalam ruangan yang sama. Namun akhirnya, di pertengahan jalan, Shandy bisa membuka mulutnya.
"Aku antar setelah aku selesai nonton temanku balapan," ucapan ketusnya membuatku terbelalak.
Huh, balapan? Dia akan membawaku ke keramaian?
***