Chereads / Dikerjai Semesta / Chapter 6 - Enam

Chapter 6 - Enam

Benar saja. Shandy tak langsung membawaku pulang ke rumahku, karena melainkan kini kami tiba di sebuah tempat yang tak kuketahui ada di mana.

Malam yang belum terlalu larut, membuat perjalanan kami masih disuguhi pemandangan jalanan kota yang ramai. Namun, setelah beberapa kali berbelok dan memasuki jalanan tikus, Shandy menyetir mobilnya sampai membawa kami ke sebuah jalanan yang sepi pengendara lain, di balik gedung besar yang sudah lama ditinggalkan. Sepanjang mata memandang, di hadapanku merupakan jalanan yang seakan sengaja disetel sebagai sirkuit balap. Tak lupa ramai orang berlalu-lalang, bergandengan dengan lawan jenisnya, dan dengan bangga menyelami dunia malam mereka masing-masing.

Melihatnya dari dalam mobil saja, sudah membuatku bergidik ngeri. Bagaimana jadinya, jika aku mengikuti Shandy untuk turun langsung ke jalanan, menonton salah satu temannya yang akan balapan?

"Kak, aku di mobil aja," kurasakan bibirku bergetar, saat berucap barusan.

Kutatap kondisi sekitaran, hingga mataku tiba di pandangan tajam Shandy. Dia mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Ngga apa-apa, aku cuma takut. Kayaknya, di luar itu berbahaya," ujarku disertai perasaan yang mencoba untuk santai, namun tetap tidak bisa.

Shandy berdecak, "dengan tetap berada di sini, akan lebih terasa berbahaya," tak lama kemudian, ia turun dari mobil ini beranjak meninggalkanku.

Setelah menimang-nimang dalam lamunan, akhirnya kuputuskan untuk ikut turun dari dalam mobil, sebelum Shandy semakin jauh meninggalkanku. Aku berlari seraya menyamakan langkah dengan lelaki yang jauh lebih tinggi dariku ini, dan secara reflek saat mendarat di dekatnya, kutarik ujung hoodie-nya—kuremas kencang sebagai tanda meminimalisir rasa ketakutan. Tak lama berselang, kurasa, tangan Shandy merangkul bahuku memberi ketenangan.

"Kamu tidak boleh jauh-jauh dariku," Shandy sedikit berteriak, karena kondisi di sekitar kami terdengar sangat berisik.

Balapan yang diidamkan Shandy, berjalan sekitar sepuluh menit. Karena jalan yang menjadi lintasan balap tak terlalu jauh, dan para pembalap hanya balapan sebanyak lima putaran. Teman Shandy yang akhirnya disinyalir sebagai pemenangnya, disambut meriah oleh para pendukungnya. Dan tentu saja, Shandy mengajakku turut mendekati sosok lelaki berambut ikal, yang tengah diberi ucapan selamat oleh sana-sini.

Kulihat, setelah aku dan Shandy mendekat, kebanyakan dari mereka mundur menjauh memberi kami celah. Tak sedikit pula dari mereka, yang agaknya akan melakukan balapan lanjutan, meski penontonnya tak semeriah balapan sebelumnya. Tak kusangka, ternyata hal yang biasanya hanya bisa kudapati di dalam film, bisa menjadi pemandangan yang kulihat secara langsung. Ternyata begini, dunia malam anak kuliahan. Ah, tidak. Mungkin tidak semuanya dari mereka anak kuliahan. Pasti tetaplah ada anak SMA bandel, yang ikut-ikutan pergi meramaikan acara balapan di sini. Dan biar kutebak sekali lagi, pasti balapan yang dilakukan ini, adalah ajang taruhan yang tentu biasa ku tonton di film-film.

"Selamat, Bro!" Shandy berpelukan ala lelaki, dengan temannya yang memenangkan balapan.

Setelah itu, mereka berbincang beberapa saat, membicarakan hal yang tak ingin kuketahui. Meski orang-orang sekitar sibuk menonton balapan lain, tak sedikit pula yang masih menyimak tempat berdiriku bersama Shandy dan temannya itu. Hingga keadaan menghening, saat tiba-tiba teman Shandy itu, menatapku sambil tersenyum dengan pandangan yang bisa kuartikan maknanya.

"Siapa, nih? Lonte baru lo yang salah kostum?"

Aku terbelalak, saat lelaki berambut ikal yang tingginya lebih pendek dari Shandy itu, melontarkan pertanyaan sedemikian rupa. Seketika, rasanya aku kembali takut dan semakin merinding. Keadaan di tempat ini, tidaklah aman untuk aku singgahi. Dan yang tak kusadari selama melamun beberapa saat, ternyata Shandy baru saja memberi tamparan kepada temannya berambut ikal tersebut.

"Jaga mulut kamu, dia ini adik aku!"

Kutatap Shandy dalam diam. Lelaki berparas bule itu, saat mengomel tidak disertai dengan pemilihan bahasa kasar, justru membuat orang di sekitar menjadi terbahak kencang. Yah, aku memang tidak berdalih, bahwa aksen Shandy berbicara bahasa Indonesia masih terbilang belepotan, ala kebule-bulean. Tapi, tawaan dari orang-orang yang menyaksikan kami itu, membuatku juga merasa geram. Kutahu Shandy sedang melindungiku dengan caranya sendiri.

"Adik dari mananya? Kok ngga mirip?" Lelaki ikal itu dengan semena-mena menoel daguku, sontak saja karena ulahnya, aku beralih berlindung di balik tubuh besar Shandy. "Bisa lah, sebentar dipinjamin ke kami," lalu ia merangkul dua teman lelakinya yang lain, yang menyahuti permintaannya ke Shandy.

Shandy terlihat mendorong tubuh lelaki yang tak kuketahui namanya itu. "Maksudnya apa dipinjamin? Memangnya, dia barang, huh?!"

Aku tak mau memancing keributan di kerumunan ini. Itu sebabnya, kutarik lengan Shandy secara paksa, supaya segera pergi dari sini. "Kak, pulang..."

Beberapa kali aku merengek pulang, bahkan rengekkanku juga menjadi bahan ledekan dari tiga lelaki itu. Aku jadi tak menyangka, sosok yang kakakku bela mati-matian untuk menonton balapannya, justru sosok yang tak pantas untuk dijadikan teman. Tak lama dari keributan yang dihasilkan kami, muncul dua sosok pria bertubuh besar nan kekar, dengan lengannya yang dipenuhi tato. Melihatnya saja semakin membuatku bergidik ngeri, bagaimana jadinya kalau harus berurusan dengan dua orang ini?

"Kakak, ayo pulang..."

Rengekkanku yang ke sekian kali, akhirnya menghasilkan Shandy membawaku menjauh dari mereka. Dan selain karena diusir oleh dua pria tadi, mungkin Shandy yang juga tak nyaman dengan ledekan teman-temannya, membuatnya geram dan akhirnya mengalah pada keadaan. Setelah berjalan dengan setengah berlari, akhirnya kami sampai kembali di dalam mobil. Kulihat air muka Shandy berubah cemas, sesekali memejamkan mata sambil mengembuskan napas kasar.

Ku ke sampingkan rasa cemas Shandy, karena rasa cemasku sendiri juga sudah mendominasi. Sialnya, obat yang seharusnya kuminum tiap kali merasa cemas, lupa tak kubawa. Baru kuingat, seharian ini aku berada di luar rumah tanpa membawa tas. Inilah sebabnya, tak mungkin kubawa obat yang dikemas dengan wadah berukuran sedang itu. Serta baru kuingat pula, ucapan teman Shandy yang menyindirku salah kostum. Rupanya, aku yang masih terbalut baju olahraga, dengan rasa percaya diri begini mendatangi acara balapan mobil di malam hari. Jadi, bukan tidak mungkin aku menjadi bahan ledekan dan diberi tatapan mencibir oleh mereka di sana.

Aku tak kuasa lagi untuk tetap berada di tempat ini. Meski orang-orang yang kutemui barusan belum tentu kutemui lagi di kemudian hari, namun entah mengapa rasanya masih saja takut. Apalagi naluriku mengatakan bahwa, sebagian besar dari mereka adalah berandalan.

"Kak, pulang..."

Shandy menatapku beberapa saat, sampai akhirnya dia mengangguk dan mobil kami akhirnya melenggang pergi. Sepanjang jalan, kami hanya terdiam. Bukan, bukan. Hanya Shandy yang terdiam. Aku sendiri sibuk dengan rasa cemasku, sambil sesekali menenangkannya dengan cara menaik turunkan kaca jendela, mengutak-atik barang yang ada di dalam dasbor, dan masih banyak yang ku lakukan. Kupastikan, perilaku ini akan mengundang banyak pertanyaan dari Shandy. Namun serta merta tak kupedulikan, karena bagiku, rasa cemasku harus lebih cepat disembuhkan daripada jadi kolaps nantinya.

Jalanan yang terasa begitu jauh untuk kami tempuh, akhirnya dilalui dalam waktu kurang lebih lima belas menit. Sesampainya mobil di depan gerbang rumahku yang tinggi, aku segera turun tanpa memberinya ucapan terima kasih. Kugedor-gedor jendela pos satpam, yang menyuguhkan pemandangan pak Bagyo tertidur di dalamnya. Karena merasa mungkin berisik, pak Bagyo terbangun dan segera membukakan gerbang. Aku bernapas lega, karena akhirnya bisa sampai dengan selamat di tempat ini.

Namun ternyata aku salah, rasa legaku sirna karena kulihat mami sedang berjalan mendekat ke arah gerbang, dengan sambil bersedekap di dada.

"Dari mana kamu, anak nakal?" Mami menoyor kepalaku, sesampainya ia tak jauh dari tempat berdiriku. "Habis jual diri, huh? Iya?"

Tubuhku bergetar, untuk sekadar menahan tangis pun, aku tak mampu. Aku yang membutuhkan perlindungan, justru kembali mendapatkan serangan.

"Maksud Tante itu apa?"

Aku memejamkan mata, seraya menahan rasa takut akan kejadian yang selanjutnya. Bukan tanpa sebab, tentu saja karena keberadaan Shandy yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Rasa cemasku kembali mendominasi dari kaki, hingga ubun-ubun. Shandy tak mengerti dengan posisinya saat ini, mamiku dapat melakukan hal apa pun yang ia mau untuk mengomel, atau menghardikku.

"Pintar menggoda juga kamu ya, dapatnya bule begini. Hei, siapa yang ngajarin?" Mami menarik rahangku untuk diremas dengan satu tangannya. "Kutanya, siapa yang ngajarin, huh?!"

"Ngga Mami..." Kubuka mataku dengan perlahan, untuk menatap mami yang tengah memandangku bengis. Aku takut.

"Tante, tolong stop!" Shandy berseru.

Jangan lakukan itu, Shandy. Ucapanmu justru akan membuatku semakin dihabisi mami. Batinku seakan menyuruhku untuk mengatakan hal itu, namun rasanya lidahku kelu dan membeku. Kaki yang menjadi tumpuan untukku berdiri pun, semakin lama terasa melemas. Kuyakin, pertahananku tak akan lama lagi.

"Pulang kamu!" Mami menatap Shandy, dan menunjuk suatu arah dengan telunjuknya. Tak lama, ia beralih lagi menatapku. "Anak nakal ini, bukan menjadi urusanmu, bocah!" Kemudian, mami menatap Shandy nanar sekali lagi. "Mau-maunya, kamu pacaran dengan anakku yang gila ini, huh?"

Ucapan mami yang terakhir, mampu membuat Shandy terbelalak dan terdiam seribu bahasa. Mami, cukup. Cukup beri aku pukulan, tapi tolong jangan katakan hal itu ke orang lain, bahkan orang yang baru kukenali ini. Aku malu, Mi. Malu...

Tak kuhitung berapa lama suasana menghening, namun setelahnya, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak tahu lagi apa yang mami katakan, dan aku tak tahu respon apa yang Shandy lontarkan. Karena paling tidak, akan hilangnya kesadaranku ini, bisa menyelamatkanku untuk sementara waktu dari mamiku.

***

Entah sudah berapa lama tubuhku berbaring di atas ranjang, karena kejadian terakhir yang sedikit kuingat. Kalau boleh meminta kepada Tuhan, aku ingin tetap tak sadarkan diri saja selamanya. Daripada harus berhadapan dengan sikap keegoisan mami, atau bertemu dengan banyaknya orang asing. Namun ternyata, Tuhan memberi takdir lain. Kesadaranku kembali saat kudengar adanya kebisingan di kamarku ini, yang berasal dari dua wanita berbeda. Mereka adalah mami dan dokter Rose. Aku bersyukur akan datangnya dokter Rose kemari, karena paling tidak ada yang membela kondisiku. Namun untuk sadar saat ini, mungkin adalah hal yang salah. Jadinya, mau tak mau, aku terus berpura-pura masih terlelap, sambil ku dengarkan keduanya saling berargumen.

"Kalau aku mau dia dibawa ke rumah sakit jiwa, itu tandanya harus dilakukan, Rose!" Kudengar, suara mamiku menggelegar sampai ke sudutan kamar. "Aku ini orangtuanya, jadi aku tahu apa yang seharusnya dia butuhkan."

"Kamu mungkin memang orangtuanya, tapi kamu tidak tahu apa yang sejatinya dia butuhkan. Sebagai psikolognya, aku tahu betul, mana yang terbaik untuk Bellva. Sekeras apa pun keinginanmu, aku akan menentang Bellva dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Karena di sana, justru akan benar-benar membuat anakmu jadi gila!" Dokter Rose terdengar berceloteh menguatkan pendapatnya.

Mami terbahak, sepanjang mendengar celotehan dokter Rose. "Seharusnya aku sadar dari awal, kalau kamu ini bukan orang yang tepat untuk menangani kondisi anakku!"

"Kamu bilang begitu, dan bersikeras membawa Bellva ke sana, karena kamu tidak mau hidupnya terbebani, bukan? Kalau begitu, sejak kamu bercerai, ada baiknya Bellva tinggal bersama papinya saja," dokter Rose terkekeh di akhir kalimatnya. "Dan baru kutahu, di sini yang gila adalah kamu. Kamu itu gila bisnis, gila harta, gila untuk diakui kehebatannya!"

"Cukup!"

Aku mencoba untuk membuka mata, supaya bisa melihat keadaan di sekitar. Suara seruan barusan, ternyata berasal dari papi yang tiba-tiba datang kemari ditemani tante Vio. Sempat kulihat pula, papi menampar pipi kanan mami tanpa segan. Tante Vio yang semula berdiri di samping papi, berlari ke arah ranjangku. Wanita itu mengusap puncak kepalaku, dan memberi pelukan menenangkan. Setelah itu, papi membawa mami keluar dari kamarku diikuti dokter Rose. Masih terdengar perdebatan di antara mereka, namun tak kudengar seluruhnya. Tak lama, bi Yanti juga masuk ke kamarku.

"Tolong bantu mengemas barang Bellva ya, Bi," tante Vio bangkit dari ranjangku, menuju ke lemari pakaianku untuk mengeluarkan koper. Dibantu bi Yanti, ibu tiriku itu menata rapi pakaian serta keperluanku yang lain, tak melupakan buku-buku sekolah yang dimasukkan ke dalam tas ranselku.

"Tante," ucapan lirihku menghasilkan tante Vio mendatangi ranjangku lagi.

"Sayang," tante Vio mendekapku sejenak. "Setelah ini, kamu akan aman, tinggal bersama kami di rumah lamamu."

"Tapi mami...."

"-tidak perlu memedulikan wanita gila itu, yang terpenting kamu aman, Sayang," belum sempat kuselesaikan pertanyaanku, tante Vio kembali mendekapku sembari berseru.

Setelah itu, aku dibantunya bangkit dari ranjang, dan dibantu bi Yanti untuk berganti pakaian. Setelah dirasa cukup, kami keluar dari kamarku, turun menuju lantai dasar. Suasana rumah jadi sepi. Bahkan aku tidak tahu, ke mana perginya papi, mami, dan juga dokter Rose. Karena sepersekian detik tiba di halaman rumah, pak Karman sudah menyiapkan mobil untuk mengantar kami keluar dari sini. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini, bi Yanti menahanku. Sosok wanita tua yang sejak kecil merawatku, seakan berat untuk kutinggalkan. Dia mendekapku memberikan salam perpisahan, dan tak lupa mengingatkanku untuk terus berhati-hati dengan keadaan sekitar. Oh Tuhan, apakah aku akan benar-benar tinggal bersama papi, ibu, dan kakak tiriku?

Sepanjang jalan yang kami lalui untuk menuju ke rumah papi, suasananya tetaplah hening. Meski tante Vio terus memberiku rasa tenang, dengan cara menggenggam jemariku. Aku merasakan cinta dan kasih sayang yang nyata dari wanita ini kepadaku, sampai aku tak bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa meneteskan air mata saking terharunya. Aku berharap, cerminan sosok yang kejam dan suka menghardik seperti pada umumnya ibu tiri di luaran sana, memang tak ada di dalam diri tante Vio. Karena jika aku bisa terlepas dari mami, namun hidup bersama ibu tiri yang kejam, rasanya tetap tidak ada bedanya. Namun semenjak pertama bertemu dan dihadapi kejadian hari ini, aku semakin meyakini dalam hati, bahwa tante Vio justru lebih baik dibandingkan mamiku.

Aku mendekap tante Vio tiba-tiba, saat kami turun dari mobil di halaman rumah. "Apakah aku boleh memanggil Tante dengan panggilan Mama?"

"Tentu saja boleh, Sayang."

***