"Eh, udah tahu ceritanya, belum?"
"Apaan?"
"Duit OSIS, ditilep ketuanya sendiri, lho!"
"Serius? Masa, sih? Dia kan ngga semiskin itu, buat nilep duit OSIS?"
"Sssttt... Ada orangnya, ada orangnya!"
Sepanjang jalan dari ruang kesiswaan menuju ke kelasku, banyak murid di koridor kelas membicarakan topik yang sama. Topik yang tak ku sangka akan booming begini parahnya di sekolah, yang justru seakan menyeret aku sebagai pemeran utamanya. Tatapan dari mereka yang biasanya memuja dan memujiku, berujung menjadi tatapan benci dan mencibir. Ya Tuhan, apakah separah ini, perbuatan yang telah aku lakukan?
"Udah balik, lo?"
"Gimana? Gue kira, lo ngga semiskin itu, untuk korupsi duit jaket anak OSIS."
"Atau jangan-jangan, orangtuanya udah gulung tikar, lagi?"
"Hahaha, emang iya! Kalian ngga tahu, ya?"
"Yang kalian ngga tahu juga, nyokap bokap dia kan, sama-sama player!"
"Eh udah-udah, jangan diejek, dong."
"Iya, nanti dia depresi, lagi! Hahaha."
"Aduh, pusing... Mampus ngga tuh, dia cari duit pengganti, di saat orangtuanya gulung tikar, dan masing-masing sibuk selingkuh."
Sudah, cukup! Aku tak mau mendengarnya lagi, ku mohon...
Tapi aku tidak bisa mengungkapkan kata-kata ini. Rasanya, apa yang akan ku jelaskan untuk membela diri sendiri secara mati-matian, tak ada gunanya dan tak akan mereka dengar lagi. Yang mereka tahu, dan yang mereka inginkan, pasti aku harus mengakui perbuatanku, dan mengakui perbuatan orangtuaku, bahwa semuanya itu benar terjadi. Namun, apakah harus seperti ini yang aku dapatkan? Jangankan teman, guru pembina yang biasa mempercayaiku pun, seakan tutup telinga mendengar argumen dariku. Seakan semua itu benar terjadi.
"Balikin duitnya, woi!"
"Enak banget lo, anak-anak capek ngumpulin uang saku, giliran terkumpul buat iuran, lo malah korupsiin!"
"Gila, ya! Masih kecil, udah berani korupsi!"
Mereka yang biasa ku kenal sebagai sahabat, mereka yang biasa menjadi teman berbagi tugas, sama-sama seperti murid di kelas lain. Bahkan, ternyata justru lebih parah perbuatannya. Mereka terus saja menghakimiku, sedangkan aku terus berusaha tak mengindahkan mereka yang mengitari tempat dudukku.
Tak ingin kupedulikan lagi orang-orang yang menimpaliku dengan ujaran kebencian, namun rupanya tak hanya itu yang mereka lakukan. Beberapa ada yang sampai tega menjambak rambutku, mendorong tubuhku hingga terjungkal yang semula mencoba tenang terduduk di bangku, sesekali dari mereka menginjak tubuhku tanpa ampun. Aku tak mengerti lagi rasa sakit tubuhku seperti apa, namun rasanya batinku lebih tersiksa sebab perlakuan dan perkataan mereka. Aku pun tak mengerti, siapa yang seharusnya ku jadikan sandaran sebagai pahlawan.
Bruk
"Aduh..."
Seakan rasanya masih nyata, karena hampir sekujur tubuhku terasa tersiksa. Kugosok-gosok pinggulku yang terasa paling sakit, karena ternyata aku terjatuh dari ranjang tidurku. Tak lama berselang, alarm di ponselku berbunyi nyaring. Kuraih benda pipih tersebut untuk mematikan suara bising itu, dan segera bangkit dari lantai. Huh, mimpi itu lagi...
Kutatapi pantulan diriku di balik cermin berukuran lebih besar dari tubuhku. Rasanya, hanya benda ini yang bisa mengerti keadaanku, dan tak berniat mengkhianatiku. Tak kusangka mataku sembab, karena mungkin sepanjang berhadapan dengan mimpi yang terasa nyata tadi, aku terus saja mengeluarkan air mata. Tak bisa dibiarkan. Aku tak tahu harus sampai kapan harus bertemu mimpi semacam ini, padahal sudah kupastikan bahwa obat dari dokter Rose sudah kutelan sebelum tidur semalam.
***
Jadwal ekstrakulikuler jurnalistik untuk berkumpul, melaksanakan kegiatan program kerja, atau sekadar bercanda bersama di ruangan adalah hari Senin, Rabu, dan Jumat. Sedangkah hari ini adalah hari Senin, dan itu tandanya, hari pertamaku untuk bertemu seluruh anggota jurnalis sekolah yang lebih senior dariku. Saat baru membayangkan sesi perkenalan di depan banyak orang, dan mereka berlanjut sok akrab saja, rasanya sudah memuakkan. Terlebih lagi, pesan singkat dari Hendry semalam, mengatakan bahwa hari ini dikhususkan untuk berkenalan denganku. Enggan kubayangkan lagi, bagaimana kejadian tiap detik selama satu jam, ditimpali banyak pertanyaan dari anggota klub tersebut.
Namun, sejak dari rumah, aku berniat untuk diam sepanjang hari ini. Aku akan berlagak angkuh dan tertutup, supaya orang yang ingin berkenalan denganku lagi nantinya, akan memberikan penilaian bahwa aku orang yang menyebalkan. Pun, begitu sepanjang pelajaran pertama sampai kedua. Di bangkuku, aku terus terdiam, meski pandanganku tetap tajam lurus ke depan, memperhatikan guru yang mengajar. Ray yang terus melontarkan pertanyaan tebak-tebakan, maupun berceloteh tentang hal yang menurutnya lucu, juga aku abaikan. Upayaku untuk tetap bergeming ini, membuahkan Ray yang doyan berbicara itu, akhirnya bungkam hingga bel istirahat berkumandang.
Terlepas dari Ray, bukan berarti aku terlepas pula dari sisa masalahku. Sial, bahkan, Hendry tiba-tiba sudah menanti diriku di depan pintu kelas. Namun jika diberi pilihan untuk menemani Ray ngoceh seharian, atau melaksanakan tugas bersama Hendry, tentunya aku mau pilihan yang kedua. Jadi, kusampingkan dulu, masalah besar untuk berkenalan dengan anggota klub. Yang terpenting, aku bisa berlama-lama untuk berdekatan dengan Hendry, di jam istirahat kali ini.
"Hai," Hendry menyapaku dengan senyuman manisnya. Sungguh, rasanya beban di pundakku hilang begitu saja.
Tak kubalas sapaannya, melainkan aku lebih memilih untuk menarik lengannya, supaya segera menjauh dari ruangan kelasku. Aku sudah lelah, berlama-lama dengan si cerewet Ray, cucu tuan Krab.
"Bellva, kamu sudah tidak sabar ya, untuk bertemu dengan anggota lain?"
Ucapan Hendry membuat langkahku terhenti. Senyuman lelaki ini yang semula memenuhi otakku, teralihkan kembali oleh masalah besarku di awal.
"Tapi maaf... Sepertinya, hari ini anggota lain tidak bisa berkumpul full team, karena mading masih ada yang harus direvisi," celotehan Hendry yang selanjutnya, membuat hatiku sedikit tenang.
"Oh, terus, hari ini mau ngapain? Apa ada yang bisa gue bantu?" Kuharap, Hendry memberiku tugas yang tidak mengharuskan aku bertamu banyak orang.
Hendry tersenyum lagi setelah itu, dan sepanjang jalan menuju ruang jurnalistik, dia kembali berceloteh. Dimulai sejarah, silsilah kepengurusannya, tugas-tugas yang harus dilaksanakan di masing-masing jabatan, hingga apa saja yang menjadi tujuan ekstrakulikuler jurnalistik ini. Tak semuanya aku cerna dalam-dalam, karena ada hal yang lebih penting untuk diperhatikan. Yaitu, wajah serius Hendry saat menjelaskan itu, nampak terlihat lebih tampan dibanding saat ia terdiam.
Perbincangan satu arah dari Hendry ini, rupanya membuahkan hasil kami lebih cepat sampai di ruang jurnalistik. Tak mengapa, karena aku saja merasa tak nyaman, saat melangkah di tiap koridor demi koridor, sebab pandangan penghuni sekolah selalu terpaku kepada kami. Kukira, rambutku ketiban kotoran burung, atau mungkin bau ketekku menyeruak ke mana-mana. Tapi alasan keduanya, tak menjadi jawaban mengapa mereka sibuk memperhatikanku saat bersama Hendry. Semoga, bukan hal yang sulit bagiku.
"Saya mau masukin kamu ke divisi humas, ya? Karena Dion kewalahan, kalau menjabat humas sendirian," Hendry dengan sangat tiba-tiba menyodorkanku selembar kertas.
Kutatap ia sejenak, lalu kuraih kertas pemberiannya. Berisi banyak penjelasan atas tugas-tugas sebagai humas, dan target per bulan yang harus diraih setiap satu periode. Setelah membacanya hingga usai, aku kembali menatap lelaki itu. Apa-apaan, ini? Humas adalah salah satu jabatan yang mengharuskan seseorang paling sering bertemu dengan orang banyak. Dari mengantar surat, menyebar pemberitahuan, sampai mengajak khalayak. Aku yang tak mau bertemu banyak orang lagi, justru terpaksa tetap menghadapinya. Karena, jabatan yang diberikan Hendry, adalah hal besar yang seharusnya aku hindari.
"Lo yakin, gue pantas di jabatan ini?"
"Iya, saya yakin," Hendry menepuk bahuku. Rasa keterkejutanku, berubah menjadi rasa berdebar tak karuan. "Saya lihat, meski masih menjadi siswi baru, kamu sudah banyak mengenal orang. Kamu pasti mampu di divisi humas."
Aku terkekeh, bermaksud mencibir diriku sendiri. "Bahkan, yang lo ngga tahu, gue itu introvert, Hend. Mana mampu, gue pegang divisi humas?" Kuletakkan kertas tersebut di atas meja.
"Justru di sini, kamu bisa memulai diri, supaya tidak introvert lagi, Bellva. Hidup bersosial tidak seburuk yang dikira oleh orang-orang introvert, karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial, bukan?" Hendry berceloteh dengan seribu keyakinannya.
Aku terdiam cukup lama, untuk menimang pemberian jabatan humas dari Hendry padaku. Kalau menolaknya, dan terus berdalih tak mampu beranjak dari dunia introvert, yang sepertinya menurut Hendry adalah hal buruk, mungkin bukannya semakin dekat dengannya, aku justru semakin jauh dan membuatnya kecewa. Jadi, apakah harus kukorbankan trauma ini, demi cinta yang akan ku kejar?
***
Aku tak dapat menghindar lagi. Terlebih saat Hendry memberitahuku akan ada event yang diadakan oleh klub jurnalis sekolah, di sepanjang dua bulan ini, dengan finalnya ada pada hari classmeeting selepas ujian akhir semester. Event yang disuguhkan kami, untuk ikut memeriahkan sisa hari di akhir semester adalah berupa lomba menulis artikel dan esai. Lamanya masa pengumpulan adalah dua bulan, dan pengumumannya nanti ada pada hari akhir classmeeting. Acara inilah yang membuat kami yang bergabung dalam klub jurnalis sekolah, sibuk menyiapkan banyak keperluan.
Terlebih lagi, aku yang dipasrahi oleh Hendry untuk menjabat sebagai humas. Kurasa, aku dan Dion yang lebih banyak mengeluarkan tenaga, dalam membantu jalannya acara ini. Sejak tempo hari, aku disuruh Dion untuk mengantar proposal kepada kepala sekolah, dan esoknya kami menempel selebaran di mading sekolah. Sampai kurasa hari ini adalah final rasa keteganganku. Karena aku dan Dion, juga dibantu anak-anak divisi lain, harus lebih gencar menyebar pamflet langsung ke seluruh murid Candradimuka. Karena kalau hanya sekadar menempel pamflet tersebut di mading, di tengah minat baca remaja yang kian berkurang di zaman sekarang, tak akan menghasilkan banyak peserta lomba. Itu sebabnya, Hendry mengusulkan supaya kami—seluruh anggota jurnalis sekolah, turun langsung ke lapangan untuk membagikan pamflet lomba.
Sudah setengah jam, aku kalut dalam menahan rasa tak nyaman, karena harus langsung berinteraksi dengan banyak orang. Tak sedikit pula murid yang kuhadapi, justru membalasnya dengan menggodaku sebagai anak baru yang salah pilih ekstrakulikuler, atau bahkan sampai ada yang menggodaku untuk mengajak kencan dan berbagi nomor ponsel. Untungnya, waktu yang diberikan oleh Hendry selama setengah jam untuk membagi selebaran, sudah habis dan aku bisa memanfaatkannya untuk istirahat.
"Dek, tadi nyebarin pamflet lomba, ya?"
Baru saja aku berniat istirahat dengan cara menikmati sekaleng minuman dingin, tiba-tiba di sebelahku terdapat tiga siswa yang sepertinya ingin membahas masalah lomba. Rasa lelah dan tak nyaman, harus kembali kusampingkan. Kututup lemari pendingin di salah satu kedai di kantin, lalu sebisa mungkin mengumbar senyum ramah kepada mereka yang bertanya.
"Iya, Kak. Kalau mau pamfletnya, silakan," kuberikan dua lembar kertas berisi penjelasan tentang lomba kepada satu lelaki yang berdiri di tengah kedua temannya. Namun bukannya diterima, mereka bertiga justru tertawa kencang.
"Jurnalistik masih hidup, ternyata?" Salah satu dari mereka yang berambut kribo, mengambil alih dengan topik untuk mencibir ekstrakulikuler yang kuikuti.
Lelaki yang berdiri di tengah, mendorong teman kribonya tersebut. "Lo gila? Mati sih, ngga. Cuma, mengubur hidup-hidup diri sendiri! Lihat aja ketuanya yang sok terkenal itu."
Aku sudah tak bisa menahan amarah ini. Kalau dibiarkan, mereka makin menjadi. "Heh, jaga mulut kalian, ya! Gue ngga kenal kalian, dan gue ngga peduli kalau misalnya kalian juga kakak kelas gue sekalipun. Tolong hargai keberadaan kami!"
"Wesss... Galak banget mbaknya," lelaki berbadan gempal di sebelah kiri, menimpali celotehanku dan tak lupa terbahak.
Lelaki yang berada di tengah, berjalan mendekat ke arahku. Sosok berambut pirang seperi Ray, namun terlihat lebih kampungan tersebut, berusaha menyentuh daguku, namun segera kutepis tangannya itu. Justru karena ulahku ini, ia kembali terbahak. "Daripada sibuk dan capek nyebarin pamflet ngga penting, lebih baik kamu temani aku makan siang ini."
Aku tak mengerti mengapa dengan didikan keras yang diberikan Candradimuka, justru masih meninggalkan murid seperti mereka bertiga yang tidak mengerti sopan dan santun, serta memperlakukan perempuan serendah ini. Padahal yang dikatakan Ray, di sini menjunjung tinggi kesetaraan gender, namun ternyata di sini perempuan masih saja tidak dihargai dan dilecehkan secara verbal begini.
"Gimana kalau gue yang temani kalian makan?"
Seseorang yang kuyakini baru saja mengatakan hal itu, adalah sosok yang tiba-tiba saja merangkul bahuku. Lelaki di sebelah kananku ini, menatap tajam ke arah tiga lelaki yang menggangguku tadi. Dalam sepersekian detik, ketiga tikus got itu menjauh dari hadapan kami. Aku benar-benar akan berterima kasih, pada salah satu keturunan dari tuan Krab, yang tiba-tiba saja datang menjadi pahlawan ini. Yah... Ray yang suka menggangguku, ternyata tak mau aku diganggu juga oleh orang lain.
Setelah cukup lama aku terdiam, Ray melepaskan rangkulannya, dan memilih duduk di salah satu bangku. Aku terus terdiam, sembari ikut duduk di bangku yang mejanya dipilih oleh Ray tersebut.
"Ray, makasih..." Aku menatapnya sendu, seakan-akan memang hanya dialah sisa harapan dalam hidupku.
"Lo kenapa, sih?" Bukannya membalas ucapan terima kasihku, Ray justru mengerutkan kening dan menatapku tajam. "Kalau lo ngga suka bertemu banyak orang, kenapa harus milih klub jurnalis? Sampai dijadikan humas, pula!"
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak mungkin menyebutkan alasan ikut ekstrakulikuler ini, karena tertarik dengan ketampanan ketuanya.
"Kalau memang kehidupan bersosial membuat lo ngga nyaman, lo ngga harus memaksa diri untuk tetap melakukannya. Toh, di dunia ini masih banyak kan, orang-orang yang sibuk di dunianya sendiri, tanpa harus melibatkan orang lain?" Ray berceloteh dengan sesekali menatapku, dan beralih ke arah lain.
Aku tak menyangka dengan kehadiran dua lelaki yang ku jadikan dua teman pertama di Candradimuka ini, justru adalah dua sosok yang saling bertolak belakang. Dalam sifat maupun kepribadiannya, sampai hal argumentasi sekalipun menyangkut duniaku.
Jika Hendry memberikanku semangat supaya bisa berbaur dengan banyak orang, ternyata Ray justru lebih memilih untuk aku tetap tinggal di dunia yang membuatku merasa lebih nyaman. Kalau kupilih masukan Hendry, aku tak tahu apakah traumaku akan tambah parah, atau justru aku dapat menghadapinya. Jika kupilih masukan Ray, aku juga tak tahu sampai kapan traumaku akan hilang, meski aku tetap merasa nyaman dalam hidup yang mengharuskan kesendirian. Jadi, mana yang harus kupilih? Kedua hal ini, sangat berpengaruh bagi kehidupanku.