2 jam sebelumnya ….
Pagi ini adalah pagi yang normal. Aku menjalani aktivitasku dengan sangat normal. Mulai dari bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, dan sekarang aku lagi uji coba resep baru.
"Seharusnya tambah kecap sedikit."
Mengecewakan memang saat merasakan masakanmu yang hambar. Ada asinnya, tapi cuma seujung lidah. Nasi goreng anak kosku berakhir buruk. Kemarin aku coba buatannya pak Slamet dan itu enak banget. Garam dan kecapnya bener-bener pas, gak kemanisan dan keasinan.
Mau gak mau aku harus makan siang dengan masakan ini. Hari yang sial memang. Bodo amat, lah! Yang penting bisa makan sudah cukup.
Ngomong-ngomong, tempe goreng buatanku enak.
"Kagami …!~"
Terdengar suara pria paruh baya di kasir. Segera kuhabiskan makanan ini dan pergi menghadap pak Slamet.
"Ada apa, pak?"
"Sebenarnya aku ingin menyuruh nak Kagami untuk pergi ke mall jika tidak keberatan?"
"Untuk?"
"Penyedot debu di sini sudah lama dan …."
Pak Slamet membetulkan pecinya lalu menyalakan mesin penyedot debu yang dipegangnya sejak lama. Aku perhatikan, penyedot debu itu tidak berfungsi dengan normal.
"Lihat, sekarang dia tidak bisa menyedot debu lagi."
"Oh …, aku mengerti. Baik, aku akan membelikannya untuk bapak."
Aku tentu tidak bisa menolak permintaannya. Beliau adalah orang yang sangat berjasa bagiku. Beliau telah memberiku tempat tinggal dan pekerjaan yang layak. Padahal aku dikenal sebagai pemerkosa gadis dan mengakibatkan karirku menjadi gamer profesional berakhir, tapi beliau tetap menerimaku. Aku sangat berhutang budi padanya.
"Aku akan kirim uangnya ke ponselmu. Nanti kembaliannya ambil saja. Kalo kurang, bilang saja."
"Beneran, nih, pak?"
Pak Slamet tersenyum kecil membenarkan perkataanku.
Wow, betapa bahagianya aku mempunyai bos seperti pak Slamet! Dengan begini, aku bisa makan enak nanti malam.
"Makasih banget, pak! Aku akan pergi sekarang."
"Hati-hati, ya, nak Kagami."
Hari ini mall sangat ramai. Aku bisa maklum karena sekarang hari Minggu. Semua orang pasti ingin liburan seperti menghabiskan uang di mall ini. Ada juga yang mengajak pacarnya, menghabiskan waktu dengan pacarnya di mall, memilihkan pakaian dalam untuk sang gadis. Wow, aku ingin sekali merasakannya!
Memasuki lantai tiga, toko-toko elektronik sudah menyambut kedatanganku. Banyak sekali yang ditawarkan di sana. Perhatianku sempat tercuri dengan sebuah laptop gaming keluaran terbaru dengan spek yang paling gahar pula. Sayang dompetku berkata tidak dan aku terpaksa meninggalkannya dengan tatapan kesedihan.
Berjarak tiga blok dari toko itu, akhirnya aku menemukan toko yang menjual penyedot debu. Ada banyak sekali modelnya yang membuatku bingung memilih yang mana. Aku cari model yang seperti di kedai tapi gak ketemu. Kuputuskan untuk bertanya kepada pak Slamet untuk memilihnya. Kufoto satu-satu penyedot debu yang kuanggap menarik lalu kubiarkan beliau untuk memilih.
Setelah kudapatkan barangnya, akhirnya aku bisa pulang dengan bahagia. Ternyata barangnya lumayan murah dan menyisakan uang yang lumayan banyak dari yang dikasih. Berhubung aku lapar sekali, aku pun membeli burger di kedai terdekat.
*derereret …!~
Namun tiba-tiba saja terdengar suara tembakan dari lantai bawah. Para pengunjung kedai pun panik dan langsung berhamburan keluar meninggalkan kedai, begitu juga diriku. Untung saja aku sudah bilang ke penjual tokonya agar barangnya dikirim, jadi aku tidak perlu susah-susah lari sambil membawa penyedot debu yang berat itu.
Di tengah kepanikan itu, ada sekelompok orang berpakaian seragam lengkap dengan membawa pedang menyuruh kami berkumpul dan kabur melalui jalur evakuasi. Semuanya menurutinya dan pergi mengikuti orang itu. Mereka adalah polisi sihir yang bertugas menjaga keamanan mall ini. Sudah sewajarnya kalau kami harus mengikuti perintah mereka.
Aku sendiri agak ragu untuk mengikutinya. Aku pikir itu adalah ide yang buruk karena mungkin saja teroris-teroris itu sudah menunggu kami di sana dan tidak akan melepaskan kami begitu saja. Jadi kuputuskan untuk berlari ke arah lain. Aku juga ingin tahu teroris kali ini seperti apa.
"Hei, kau!?"
Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat para polisi sihir menghadang satu orang berjubah hitam berbadan besar yang sudah pasti teroris. Siapa lagi coba kalau bukan teroris? Cosplayer? Ngapain juga polisi ngehadang cosplayer di situasi kayak gini?
Mumpung di sini ada kedai ayam goreng, aku bersembunyi di sana sembari mengawasi mereka. Hmmm …! Sambil makan ayam kayaknya boleh, tuh.
"Penjaganya pada ke mana?"
Eh, kau bego apa gimana? Ya pada kabur, lah!
Tapi …, aku menemukan ayam goreng masih utuh yang ada di meja. Ini pasti hari keberuntunganku.
Kembali lagi ke pertarungan di mana polisi sihir itu sudah siap dengan hewan-hewan sihirnya. Ada ular api, burung api, kadal es, babi terbang, wanita kelinci. Aku takjub mereka bisa mengeluarkan sihir itu. Yang aku baca, sihir itu merupakan kemampuan tingkat tinggi dan harus bisa menjinakkannya agar hewan itu mengakuimu sebagai tuannya.
"Wow, ayam gorengnya enak!" rasa asinnya tidak berlebihan dan kulitnya benar-benar terbaik.
Lanjut lagi. Hewan-hewan itu maju bersamaan menyerang pria berjubah itu. Firasat aneh kurasakan saat melihatnya. Maksudku, kenapa pria itu tenang-tenang aja saat diserang hewan sihir tingkat tinggi.
Ada dua kemungkinan yang bisa kupikirkan. Pertama, dia seorang penyihir yang kuat sehingga mengalahkan mereka semudah menyapu lantai. Yang kedua ….
*wussshhh …!
Dia adalah anti-mage yang bisa menghalau sihir. Lihat saja apa yang terjadi pada hewan itu. Semuanya menghilang dalam sekejap saat hewan-hewan itu menyentuhnya.
Gawat! Ini bahaya! Kelompok teroris ini lebih berbahaya ketimbang 5 tahun lalu. Jika sihir pun tidak bisa mengalahkannya ….
Aku harus berbuat sesuatu.
Namun saat kutengok ke belakang, ada dua orang tambahan yang berjalan menuju ke sini. Mau gak mau aku harus bersembunyi. Bergegas aku berlari ke arah dapur untuk bersembunyi. Sebelum masuk, aku sudah meninggalkan sihir bayangan diriku di pojok bangunan untuk mengawasi keadaan sekitar.
"Akhirnya aku aman di sini."
Diriku terduduk lemas melihat pertarungan itu. Teroris dengan kemampuan kebal terhadap sihir. Itu adalah hal yang paling menakutkan yang pernah kulihat. Suara desingan peluru terdengar jelas dari dalam sini, menambah suasana semakin mencekam. Sekarang ini aku tidak tahu harus melakukan apa selain memakan ayam gorengku. Suara tersebut hanya bertahan satu menit lalu menghilang begitu saja.
Aku mencoba memeriksa keadaan di luar menggunakan bayanganku. Fungsinya sama seperti CCTV yang bisa melihat keadaan sekitar.
Di luar kedai tidak terlihat tanda-tanda teroris berjubah hitam itu. Kelihatannya mereka sudah pergi dan …, tidak …! Aku tidak sanggup melihatnya.
Kembali ke pandanganku semula di mana dipenuhi oleh barang-barang dapur. Aku tidak percaya dengan yang kulihat baru saja. Para polisi itu …, semuanya tewas.
"Oh, fuck! Kenapa hal ini harus terjadi padaku?!"
Sebelumnya aku sudah pernah terjebak dalam penyerangan teroris, dan sekarang lagi? Apalagi kali ini terorisnya lebih hebat dari 5 tahun yang lalu.
Untuk sekarang aku aman di sini. Aku gak tahu ke depannya kayak gimana.
Mau gak mau aku harus melaporkan kejadian ini kepada ibuku. Beliau mempunyai koneksi dengan petinggi negara yang menangani kasus semacam ini.
Namun …, apakah beliau masih mendengarkanku? Setengah tahun lalu, beliau marah besar akibat skandal yang kualami seperti sudah tidak menganggapku anaknya lagi. Terus kalau bukan ibuku, siapa lagi yang mau mendengarkanku …?!
Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain pemilik kedai tempatku bekerja. Aku harus melaporkan kejadian ini padanya. Tidak untuk meminta bantuan, hanya untuk memberikan kabar saja.
"Halo, pak Slamet?"
"Halo, Kagami? Kau selamat?"
"Hah? Pak Slamet sudah tahu?"
"Baru saja aku melihat beritanya di TV. Kagami tidak apa-apa, kan?"
Tanpa kusadari pipiku basah. Aku menangis. Masih ada orang yang peduli denganku. Aku senang.
"Aku baik-baik saja, pak. Cuman aku masih terjebak di dalam. Sementara ini masih aman. Semoga saja mereka tidak menemukanku."
"Bapak di sini hanya bisa mendoakan nak Kagami agar selamat dari insiden itu. Jaga diri baik-baik, ya, nak. Aku akan melaporkannya kepada ibumu. Oh, kenapa kau tidak bilang ibumu?"
"...."
Pertanyaan tersebut tidak bisa berkata apa-apa. Aku sepertinya tidak ingin membahas tentang ibuku atau keluargaku yang lain.
"Oh, kau masih marah, ya, sama ibumu?"
"Tidak! Tidak seperti itu! A-Aku …," hanya tidak yakin kalau masih dianggap anak oleh beliau.
"Nak Kagami. Bagaimanapun juga Alice-san juga ibumu. Dia pasti khawatir kalau anaknya dalam bahaya, walaupun dia pernah marah besar soal kejadian itu. Ibumu orang baik, jadi jangan khawatir. Dia pasti akan menolongmu."
Kalau itu benar, maka …, "tolong katakan ini pada ibuku, 'teroris sekarang kebal akan ilmu sihir.' Aku melihat para pasukan sihir itu tidak bisa melukai mereka."
"Baik, akan kusampaikan pada ibumu. Jaga diri baik-baik, ya, nak Kagami. Bantuan akan segera datang."
"Terima kasih, pak Slamet."
Sekarang aku hanya perlu menunggu bantuan datang. Tidak masalah jika pada akhirnya kau akan selamat walau harus berdiam diri di tempat ini seharian.
Tapi …, kebanyakan teroris, kan, bawa bom. Apakah kali ini mereka bawa?
Kalau saja mereka membawanya, itu berarti mereka akan meledakkan tempat ini dan kemungkinan aku bisa mati terkubur di tempat ini.
"Sialan …! Pada akhirnya aku harus mempertaruhkan nyawaku di tempat ini!"
Kalau begitu kau harus memikirkan cara agar tidak ketahuan sama mereka. Melawan anti-mage bersenjata api dengan tangan kosong adalah ide buruk.
Sekarang apa yang aku punya? Living Shadow, Smoke Bomb, Paranoia, Flamebang? Kebanyakan sihirku bertipe taktikal, bukan ofensif. Itu mungkin cocok kugunakan untuk kabur.
Sudah kuputuskan! Aku akan keluar dari tempat ini.
Aku berteleportasi ke tempat bayanganku berada dan berjalan meninggalkan tempat ini. Sebenarnya aku ada pikiran untuk melihat mayat para polisi itu, tapi aku sudah tidak punya banyak waktu lagi.
"Semoga Tuhan menyertai kepergian para pahlawan yang telah gugur."
Dalam rencana pelarianku kali ini, aku harus bisa meraih ke pintu darurat lalu pergi lewat tempat parkir. Rencana yang sederhana, tapi tidak sesederhana itu. Setiap pintunya telah dijaga dua orang berjubah hitam lengkap dengan senapan serbu mereka. Dilihat dari bentuknya, itu adalah Type 25.
Tunggu dulu? "dari mana mereka mendapatkan senjata militer itu?" Setahuku senjata itu tidak diperdagangkan bebas, tapi kenapa mereka memilikinya? Pasti ada konspirasi di balik penyerangan ini.
Ah, itu pikir nanti pas pulang! Yang jelas aku harus melewati mereka.
Kujentikan jariku menciptakan sebuah bola api kecil di tangan. Sambil bersembunyi di balik dinding, aku melemparkan bola api itu ke arah mereka. Aku tahu serangan sihir tidak akan mempan terhadap mereka, tapi bukan itu cara kerja sihirku.
Sebuah ledakan kecil tercipta. Itu adalah kesempatanku untuk meraih pintu darurat. Para penjaga itu sibuk untuk menutup matanya. Aku senang sihir kecilku bisa berguna di saat genting seperti ini.
Sihir itu aku sebut Flamebang. Sebuah sihir berelemen api yang akan menimbulkan sebuah ledakan cahaya yang sangat terang dan membutakan pandangan orang yang melihat cahayanya.
Ribet, ya? Intinya kayak Flashbang, deh, cuman dari sihir.
Saat melewati mereka berdua, aku berbalik karena melihat sesuatu yang sangat penting di celana mereka. Kulucuti pistol dari mereka dan kutembakkan ke mereka berdua. Mereka berdua tewas di tempat dengan lubang di masing-masing kepala mereka.
Aku berdiam sejenak untuk mengambil nafas sehabis membunuh dua orang. Kuyakinkan diriku aku membunuh mereka berdua untuk melindungi diri.
"Yosh!"
Sudah tenang, kini aku bisa melangkah ke pintu darurat. Namun sebelum itu, aku melucuti persenjataan dari salah satu mayat. Mulai dari senapan serbu, peluru, dan juga bom asap.
"Dengan begini aku sudah siap."
Atau mungkin tidak.
Posisiku sudah ketahuan oleh teman-teman mereka yang di bawah dan sekarang mereka menembakiku.
Kuurungkan niatku untuk kabur dan mengubah objektifku dari kabur menjadi sembunyi. Mereka semua menghalangi jalanku untuk kabur. Mungkin karena suara pistol yang kugunakan sangat keras jadi mereka bisa-.
Sepertinya bukan karena suara pistol.
Aku bisa berpikir seperti itu karena mereka telah menghadangku ke depan. Lima orang berjubah hitam sudah siap menembakku dengan senapan mereka.
Dari belakang juga sampai lima orang lagi yang sudah mengepungku.
"Sekarang kau tidak punya jalan untuk kabur, penyihir kecil!" ucap salah satu pria berjubah dengan senyuman licik.
Untungnya aku masih memiliki rencana lain.
"Hehehe …!"
*bluff …!
Asap tebal mengelilingi tempatku berdiri. Lalu aku mengeluarkan bayanganku ke depan dan berteleportasi tepat di belakang mereka.
Tiba-tiba salah satu dari mereka berbalik. Tak habis akal, aku menembak kepalanya. Sama seperti yang lain, aku menembak kepalanya dengan pistolku.
"Sekarang aku bisa kabur."
Dengan memanfaatkan asap hitam yang kubuat, aku berlari menjauh dari mereka.
Benar, aku hampir lupa satu hal.
*wussshhh …!
Kutembakkan bola asap hitam ke setiap CCTV agar teroris yang di ruang kontrol tidak bisa mengetahui posisiku. Aku juga menaruh bayangan-bayanganku di tempat-tempat yang strategis untuk mengawasi pergerakan mereka.
Dari awal mereka semua telah menguasai ruang kontrol mall ini. Itulah kenapa tidak ada pengumuman dari pihak sana. Itu juga menjelaskan kenapa mereka bisa dengan cepat menghadang jalan keluarku.
Aku harus cepat mencari tempat bersembunyi, karena sihirku hanya bertahan 30 detik. Tempat di mana yang tidak diawasi oleh CCTV.
Ah, toilet!
"Sudah sampai."
Lega rasanya bisa bersembunyi dengan tenang. Capek sekali jiwa dan raga ini bermain kejar-kejaran dengan para teroris itu.
"Siapa itu yang di sana?!!!"
Ah, kupikir hanya aku saja yang berpikiran untuk bersembunyi di sini. Ternyata ada seorang om-om jelek dan siswi SMA yang juga berada dalam bangunan ini. Sudah begitu mereka berdua melakukan hal yang tidak senonoh. Aku juga melihat sebuah jubah hitam yang digantung di pintu kloset.
"Bukannya gabung sama yang lain, malah enak-enakan main sama cewek?!" komentarku tertawa sinis.
"Brengsek ka-."
Sebelum dia mengambil pistolnya, aku sudah terlebih dahulu menembak dadanya. Karena dia masih bisa bangkit berkat rompinya, aku menembaknya kembali tepat di kepalanya.
"Siapa yang mengira kalau aku bertemu teroris di tempat ini."
Kini pandanganku tertuju kepada seorang cewek SMA korban pemerkosaan tadi. Dia menyembunyikan wajahnya sambil menutupi bagian dada yang terbuka. Celana dalam putih masih bersarang di kandangnya. Itu berarti kehormatannya masih aman.
"Anu …, kau sudah aman sekarang."
Dia masih ketakutan. Sudah jelaslah, mana ada cewek yang mau bercinta dengan om-om jelek? Kadang akupun mengutuk orang yang membuat doujin dengan cerita seperti itu.
"Kita berdua sama-sama terjebak di sini kau tahu. Gara-gara mereka, aku jadi gak bisa bekerja."
Dia masih belum mau diajak berbicara.
Ada perasaan familiar melihat seragam yang dikenakannya.
"Kau dari Haruna Academy, kan?"
Walau dia tidak berbicara, dia meresponsnya dengan anggukan kepala. Hal itu membuatku menghela nafas sejenak.
"Kenapa aku harus berurusan dengan murid-murid Haruna?"
Selalu saja ada hal yang buruk terjadi ketika aku berurusan dengan murid-murid Haruna. Dipermalukan di depan umum, difitnah membunuh orang, diputusin pacar, dan sekarang aku harus berurusan dengan teroris.
Untuk sementara aku membiarkannya sendirian terlebih dahulu. Mungkin itu adalah cara yang terbaik untuk menghadapi cewek dengan tekanan mental yang berat.
"Oh, benar juga!"
Aku menaruh senapan ke lantai dan melepaskan jaket olahragaku.
"Apa kau akan memperkosaku?"
"Hah!?"
Mentalnya sekarang benar-benar tertekan. Melihatku melepas jaket saja dibilang mau bermain dengannya.
"Tidak. Justru sebaliknya. Pakai jaketku untuk menutupi payudaramu," walaupun tidak besar, tetap saja itu menggangguku.
"Terima … kasih."
"Sama-sama."
Syukurlah dia mau menerimanya. Sekilas aku melihat wajahnya. Dia cantik nan imut dengan iris mata berwarna biru berlian. Dia mirip dengan adikku di rumah.
"Namamu siapa?"
"...."
Tidak ada jawaban. Dia sepertinya takut kepadaku.
"Namaku Kagami. Aku dulu pernah bersekolah di Haruna empat tahun lalu."
Berhasil. Dia sekarang tidak menyembunyikan wajahnya lagi. Jika dilihat-lihat, dia memang mirip dengan adikku. Bedanya rambut cewek ini dikuncir kuda dan juga dia pirang.
"Walau hanya dua bulan, sih."
Sungguh itu bukanlah hal yang patut dibanggakan.
"Lylia."
"Oh, Lylia. Nama yang bagus."
Aku pun duduk agak menjauh dari Lylia agar dia tak takut denganku. Lalu, kuperiksa keadaan di luar melalui bayangan-bayanganku.
Sejauh ini aku bisa melihat para teroris itu masih mondar-mandir, tapi masih belum ada yang periksa di sekitaran toilet.
"Untuk sekarang ini kita masih aman. Namun suatu saat mereka akan ke sini. Jadi persiapkan dirimu."
Dia hanya mengangguk. Walau begitu, raut wajahnya tidak menunjukkan sebuah kesiapan. Lebih tepatnya, dia masih atas percobaan pemerkosaan oleh om-om jelek itu.
"Tenang saja. Aku akan membantumu untuk keluar dari sini. Aku juga gak tahan diam di tempat seperti ini, bau kencing lagi."
Pasti ada orang yang pipis gak disiram. Jorok banget!
"Tapi …, aku …," perkataannya tidak selesai dan dia melihat ke arah kakinya. Paha kirinya terkena tembakan. Pasti dia habis bertarung dengan om-om jelek itu dan kalah.
"Sebentar. Aku akan kembali."
Aku ingat aku menaruh bayanganku di sebuah kafe saat kabur tadi. Mungkin saja di sana ada kotak P3K. Soalnya di kedai nasi goreng pak Slamet, P3K adalah hal yang wajib dan harus selalu diisi ketika ada salah satu barang yang habis. Biasanya aku yang disuruh beli.
Aku berteleportasi di sebuah kafe mewah yang sepi dari orang. Kuperiksa bagian dapur dan aku menemukan apa yang aku butuhkan.
"Kapas ada, obat merah ada, capit kecil. Bawa semuanya aja dah."
Lalu, aku kembali berteleportasi ke bayanganku yang ada di toilet. Bayangan itu tercipta sebagai ganti wujud diriku yang berteleportasi ke kafe. Aku bisa menggunakan itu untuk kembali ke tempat asal.
"Tahan, ya, ini mungkin akan sakit," soalnya aku gak berpengalaman.
Tiba di sana, aku membuka ponselku dan menirukan cara mengambil peluru yang bersarang di paha di internet. Ini adalah kali pertamaku melakukannya, jadi wajar saja aku melihat tutorial di internet.
Melalui perjuangan panjang, akhirnya aku bisa mengangkat sebuah peluru yang terjebak di pahanya. Namun ada yang aneh dari pelurunya. Warna pelurunya berwarna merah ruby. Aku pikir itu adalah warna darah Lylia sampai aku membersihkannya di wastafel.
"Warna pelurunya memang seperti ini, kah?"
Tidakada yang berubah dari warnanya, malah lebih jelas merahnya. Aku curiga ada apa-apa di peluru ini. Sejenak aku mengingat artikel yang kubaca mengenai peluru ini. Aku ingat ada tipe peluru yang seperti ini, tapi aku gak terlalu yakin.
"Lylia, saat kamu tertembak, kamu merasakan ada hal yang aneh, gak?"
Dia mengangguk pelan dan membuat pikiranku berkata 'serius?'
"Saat aku tertembak, aku tidak bisa mengeluarkan sihirku sama sekali."
"Peluru yang bisa membuat korbannya tidak bisa mengeluarkan sihirnya, ya?"
Pikiranku semakin menguat setelah mendengar efeknya. Agar semakin yakin, aku mencarinya di internet. Benar saja, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan.
"Ini adalah peluru anti-magi."
Aku bisa mengetahuinya dari ujung peluru yang berwarna merah ruby. Peluru ini mampu menghambat aliran mana ketika bersarang di tubuh seseorang. Yang aku baca, ujung dari peluru ini berasal dari batu Bloodstone yang bisa didapatkan di suatu tempat di Kerajaan Lidenweld, sebuah kerajaan yang berada di dunia lain.
Aku tidak akan membahas kerajaan tersebut karena akan sangat panjang kalau diceritakan. Yang jelas mereka pasti mendapatkannya dari pasar gelap.
"Pantas saja kau tidak bisa mengeluarkan sihirmu."
"Apakah aku tidak akan mengeluarkan sihir lagi?" tanyanya dengan nada lirih.
Aku tersenyum menghiburnya dan menjawab, "tidak. Seharusnya setelah pelurunya keluar, kau bisa mengalirkan manamu lagi."
"Benarkah?"
Cewek itu mempraktekannya dengan melakukan rapalan. Rapalannya kelihatannya dilakukan dengan bahasa lain, jadi aku tidak tahu sihir apa yang digunakan.
Tak lama kemudian, tangannya mengeluarkan cahaya putih nan terang. Tangannya tersebut menyentuh bagian tubuh yang tertembak dan luka tersebut perlahan-lahan menutup.
"Keren …!" kata itulah yang terucap saat melihat sihir itu. "Aku jarang melihat penyihir dengan elemen suci sepertimu."
"Terima kasih. Aku juga baru melihat penyihir elemen kegelapan seperti, Kagami-senpai. Apalagi Kagami-senpai melakukannya tanpa rapalan."
"Hahaha …! Padahal aku dulunya penyihir rank F."
"Heh …!?"
Cewek ini memandangiku dari atas ke bawah seraya tidak percaya dengan ucapanku.
"Semua orang juga bisa berkembang tahu. Asal mereka berusaha saja."
"Kagami-senpai hebat. Aku kagum dengan Kagami-senpai. Pasti Kagami-senpai tidak kenal menyerah."
"Benar sekali. Pantang menyerang adalah sihirku!" aku mengutip kata-kata itu dari Asta.
Baru pertama kali ini aku dipuji oleh seseorang mengenai sihirku. Dulu aja aku gak dianggap oleh orang-orang akibat sihirku yang lemah, bahkan pas SD gak bisa mengendalikan sihir sama sekali.
Berbicara soal pistol dengan peluru anti-magi, aku jadi teringat akan suatu benda yang sangat berhubungan dengannya. Misalnya saja jubah hitam yang tergantung di pintu kloset.
Maksudku untuk apa mereka pakai jubah saat penyerangan? Untuk menutupi identitas, kah? Aku yakin ada alasan yang lebih …, entah kenapa aku teringat dengan sebuah cerita. Apakah aku harus membuktikannya?
"Lylia, kan? Ambilkan jubah itu."
Lylia melemparkan jubah itu dan mendarat tepat di wajahku.
"Maaf, Kagami-senpai."
"Tidak masalah."
Di balik jubah itu, tersembunyi serpihan-serpihan batu merah ruby yang sama seperti peluru dari pistol mereka. Sebuah kesimpulan tercipta di otakku.
"Mereka bukannya anti-mage. Mereka hanya manusia biasa yang bisa menjadi anti-mage."
"Maksud, senpai?"
"Selama ini mereka menggunakan jubah ini agar kebal dari sihir. Kau bisa melihatnya di balik jubah ini."
"Maksud, senpai?"
"Selama ini mereka menggunakan jubah ini agar kebal dari sihir. Kau bisa melihatnya di balik jubah ini."
Dia pun melihat dengan seksama dan menciptakan ekspresi paham dengan dilihatnya.
"Jadi mereka bisa kebal sihir dari batu-batu ini, ya?"
"Benar sekali. Kau pasti kesusahan, kan, lawan orang yang kebal dengan kekuatan sihir?"
Dia menganggukkan kepala, "mereka adalah lawan yang menjengkelkan."
"Kau bisa mengalahkan mereka dengan sihir mobilitas dan juga sihir taktikal. Kau sudah mempelajarinya di sekolah, kan?"
"Iya, tapi bukannya sihir itu berguna untuk kabur saja. Bagaimana kita menyerangnya?" sambil memiringkan kepalanya. Dia terlihat sangat imut.
"Oh, iya, aku lupa. Kau bisa gunakan senjata fisik yang mampu memberikan damage fisik pada mereka. Ah, kau bisa gunakan pistol, kan? Kalau bisa akan kuberikan padamu."
Kuberikan pistol itu kepada Lylia dan menjelaskan cara memakainya. Dia seperti asing ketika memegangnya.
"Intinya jangan menembak kalau tidak yakin. Butuh keyakinan yang kuat untuk memakai senjata itu."
"Terima kasih, Kagami-senpai. Aku akan terus mendengarkanmu."
"Anak pintar," dia seperti adikku. Cantik nan imut layaknya karakter adik di anime. Karena itu aku mengelus kepalanya.
Ah, sial! Aku rindu keluargaku di rumah. Sudah lama sekali aku tidak pulang.
Namun …, apakah mereka masih menunggu kepulanganku? Aku ragu akan hal itu. Jika aku bikin video keadaanku saat ini, apakah mereka mau menyemangatiku?
Sebaiknya aku coba saja. Itu lebih baik daripada tidak mencobanya sama sekali.
"Oh, sudah hidup.
Selamat siang, semuanya!~
Maaf telah menghilang beberapa bulan belakangan, karena kalian tahulah aku kena masalah apa. Yang jelas aku hanya ingin minta maaf kepada kalian semua karena skandal yang aku alami. Itu benar-benar di luar kendaliku.
Ini mungkin video terakhirku yang kuunggah di Facebook. Sekarang aku terjebak dalam insiden penyerangan mall terbesar di Tokyo dan aku lagi bersembunyi di tempat yang aman. Teroris yang menyerang kali ini benar-benar sangat berbahaya. Mereka semua kebal terhadap sihir karena jubah yang mereka pakai dan menggunakan senjata dengan peluru anti-magi. Aku sangat pesimis kalau aku bisa keluar dari sini hidup-hidup, tapi aku akan berusaha.
Namun jika aku tidak bisa, aku hanya bisa bilang. Maaf, karena aku tidak bisa menjadi juara dunia di Fighter Summit tahun lalu."
Aku takut. Takut sekali. Biasanya orang yang membuat video terakhir gak lama kemudian akan bernasib tragis. Mengingat keadaanku yang sekarang, kesempatan hidupku mungkin di bawah sepuluh persen.
Dengan menguatkan tekad, aku melanjutkan videoku.
"Untuk ibuku yang tercinta, maafkan aku karena hanya bisa membuatmu malu. Aku sudah gagal menjadi penyihir, gagal menjadi pemain FA profesional, dan aku gagal menjadi anak yang sesuai keinginanmu, ibu.
Untuk Sylvia, aku dengar kau telah menemukan penggantiku. Selamat, ya!~ Semoga laki-laki yang menggantikanku tidak mengecewakanmu seperti diriku ini. Namun aku akan pastikan satu hal. Aku tidak pernah tidur dengan gadis itu. Dia telah memberikanku obat tidur dan aku berakhir seranjang dengannya.
Namun jika kau masih gak percaya denganku, gak apa-apa. Toh, juga kau bakalan gak melihatku lagi, kan. Sekali lagi, selamat, ya!~
Untuk adikku, Kagari, aku gak bisa berkata banyak, tapi yang ingin kukatakan adalah, 'tolong buat ibu bangga.' Aku percaya kau bisa melakukannya. Kau adikku yang paling hebat.
Untuk Zayn, maaf karena aku tidak bisa mengalahkanmu. Kau adalah orang yang hebat yang pernah kutemui dalam hidupku. Aku bersyukur telah menjadi rivalmu. Berkatmu, aku belajar bagaimana artinya pantang menyerah. Aku yang dulu mungkin akan merasa putus asa jika dihadapkan dengan kekalahan. Namun aku sekarang lebih kuat dari siapapun. Aku menang soal tekad pantang menyerah. Jadi Zayn, tolong kembali ke dunia kompetitif! Masa gara-gara tidak ada aku kau jadi patah semangat? Cupu, kau! Hehehe …!"
Khusus untuk rivalku, aku menggunakan Bahasa Indonesia biar langsung mengena di otaknya yang bodoh itu. Masa gara-gara aku dia pensiun. Tentu saja aku gak terima, lah!
"Aku, Failed Mage. Sampai jumpa lagi. Itu juga kalau aku masih hidup. Semoga saja aku bisa selamat dari kejadian ini. Terima kasih."
Setelah video selesai, aku mengunggahnya di Facebook dan juga di Twitter.
"Kelihatannya Kagami-senpai putus asa?"
"Tidak. Hmmm …! Mungkin iya. Aku sendiri masih tidak yakin kalau aku keluar hidup-hidup dari sini. Aku membuat video itu juga untuk memberi tahu semuanya tentang keadaanku sekarang. Sudah lama aku menghilang dari mereka."
"Kagami-senpai pasti berat menjalani hidup yang sekarang."
Aku terdiam sejenak. Dia benar. Sangat berat sekali saat kau kehilangan sesuatu yang berharaga. Keluarga, pacar, tim, fans, semuanya menghilang dariku. Kalau gak ada pak Slamet, mungkin aku sudah kehilangan harapanku untuk hidup.
Aku tak ingin menangis dihadapannya. Senpai macam apa aku yang menangis di depan kouhai-nya. Jadi kupasang senyuman agar dia tidak terlalu khawatir kepadaku.
"Iya, pada awalnya memang berat. Untung aja ada seseorang yang mau menampung orang sepertiku. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa orang itu."
Tanpa kuduga, cewek ini, Lylia, mendekatiku dan memegang hangat tanganku. Rasanya seperti adikku menggengam tanganku di saatku kesusahan. Aku sangat merindukannya.
"Kalau begitu, senpai, cobalah untuk bertahan hidup. Ingatlah orang yang akan menunggumu pulang. Aku yakin orang yang mau menerima senpai sedang mendoakan keselamatan senpai. Jadi …, jangan menyerah, oke?"
"Eh, apa ini?"
Air mataku membasahi pipiku. Apa aku menangis? Tak mungkin! Aku, kan, seorang pria. Masa menangis karena ucapan seorang cewek SMA?
"Sial, kau baru saja membuatku menangis!"
Aku masih tidak percaya kalau masih ada seseorang yang membuatku semangat lagi. Aku harus bersyukur kepada Tuhan untuk hal ini.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Sebuah notifikasi Facebook kudapatkan dari seseorang. Saat aku membacanya, tanpa sengaja air mataku menetes ke layar ponselku.
Haruka Junichiro
Enak aja bilang aku kalah darimu. Lu, tuh, yang kalah. Masa bikin video kayak orang mau mati! Cupu, lu! Aku akan balik ke dunia kompetitif lagi jika lu berhasil bertahan hidup. Jadi, hiduplah bego!!!
"Bangsat kau, Zayn. Mana mungkin Haruka ngirim beginian?!"
Aku tertawa sekaligus menangis. Rival terberatku tiba-tiba mengirimkan pesan itu dan menyuruhku untuk keluar hidup-hidup. Itu adalah tantangan tersulit dalam hidupku.
Bukan hanya Zayn, temanku dari Korea juga mengirimkan pesan yang sama. Satu per satu pesan kudapatkan dan isinya memberikanku semangat menghadapi situasi ini.
"Terima kasih, semua!" Aku tak menyangka masih banyak orang yang masih peduli kepadaku.
Tiba-tiba sebuah granat menggelinding di bawah kakiku.
"Ini buruk!"