Chereads / Fighters Rising: Start Again / Chapter 3 - Chapter 2: Penyerangan Mall Tokyo (Bagian 2)

Chapter 3 - Chapter 2: Penyerangan Mall Tokyo (Bagian 2)

Mengetahui kami dalam bahaya, aku dengan cepat memeluk tubuh Lylia dan melakukan teleportasi ke sebuah kafe. Tak lama setelahnya, terdengar suara ledakan dari belakangku. Kami berdua berhasil selamat dari ledakan itu.

"Kau tidak apa-apa?"

"T-T-Terima kasih, senpai."

Wajahnya memerah. Apakah dia demam? Saat kupegang keningnya tidak ada yang panas. Hmmm …!

"Tidak panas, kok? Bisa berjalan, kan?"

"I-I-Iya."

"Siapkan senjatamu dan tingkatkan kewaspadaan. Sebentar lagi kita akan bertarung."

Sebelum meninggalkan kafe, aku memeriksa keadaan sekitar dengan bayanganku. Para teroris itu masih berkumpul di sekitar toilet.

"Oke, ayo kita lari."

"Baik, senpai!"

Kami berdua berlari meninggalkan kafe. Para teroris pasti menyadari keberadaan kami berdua, makanya aku lagi-lagi menutup CCTV dengan sihir asapku. Jujur saja, itu tidak menguras banyak mana makanya aku bisa mengeluarkannya dalam jumlah banyak.

Pintu darurat terlihat tidak ada penjagaan sama sekali. Itu mungkin kesempatan yang bagus bagi kami untuk masuk. Namun dari belakang ada beberapa tentara bersiap menembaki kami.

"Berlindung!"

Aku menarik lengan Lylia dan berlindung di balik dinding. Beruntung aku memegang Flashbang jadi aku bisa menghemat manaku kali ini.

Flashbang-ku lempar. Para teroris itu matanya menjadi buta. Aku menembak beberapa dari mereka untuk mengurangi kekuatan mereka. Lalu aku akhiri dengan bom asap untu menutupi jalan kabur kami. Kami berdua pun berhasil kabur dari pintu darurat.

Kami berdua lari, terus berlari, dan berlari. Akhirnya kami sampai di lantai paling bawah. Mendadak kami dikejutkan dengan sebuah kepala manusia yang tergeletak di lantai saat membuka pintu.

Oke, aku sudah pernah melihatnya dulu. Namun bagaimana dengan-.

"Tidak …!���

Itu adalah ekspresi yang wajar bagi cewek yang belum pernah melihat kepala mayat.

Sebuah kilas balik mendatangi pikiranku. Aku ingat sekarang. Ini mayat polisi yang menyuruh kami pergi ke pintu darurat. Tidak hanya satu. Saat kami berdua berjalan, kami melihat lagi mayat yang bergelimpangan di mana saja, termasuk yang terakhir berada tepat di atas mobil. Itu adalah mayat anak kecil.

"Bangsat! Keluar kau, teroris sialan!!!"

Siapa yang tidak marah melihat anak kecil yang masih polos dibunuh dengan keji? Aku sekarang tidak peduli lagi dengan apapun. Aku ingin menghajar wajah teroris itu.

"White Shield …!"

Teriakan dari Lylia seketika membuat diriku sadar. Ada sebuah perisai putih di sekelilingku dan juga ada seorang …, "wanita?" yang memakai jubah hitam.

"Cih!"

Wanita itu melompat mundur sembari menyiapkan kuda-kudanya lagi.

Yang kulihat, dia adalah wanita berjubah hitam dengan memegang sebilah pedang. Sudah pasti pedangnya bukan tipe senjata anti-magi, karena tadi serangannya tidak menembus perisai. Akan tetapi serangannya sangat cepat. Lylia telat mengeluarkan perisai sedetik saja kami bisa tamat.

"Apa kau yang melakukan ini?" tanyaku geram dan menatapnya dengan tajam.

"Dasar kau, penyihir licik!" dia malah balik mengumpat dan kurasa tatapannya lebih tajam dari diriku.

Wanita itu kembali menghilang. Lalu muncul secara tiba-tiba di belakang. Berkat perisai milik Lylia, kami berdua masih aman.

Tidak menyerah juga, dia menebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri secara bertubi-tubi. Namun perisai milik Lylia masih terlalu kuat untuk pedangnya dan itu membuatnya semakin kesal.

Aku memanfaatkan momen tersebut untuk mengisi peluru senapanku. Tidak ada salahnya, kan, berjaga-jaga? Takutnya dia mengeluarkan serangan yang dapat menembus perisai ini. Jadi aku sudah siap akan hal itu.

"Kalian berdua, penyihir bangsat!"

"Hei, seorang wanita dilarang berkata kasar! Kau sudah pasti kena tendang tim kalau ketahuan."

Sudah banyak buktinya atlet eSport wanita yang didepak dari tim papan atas akibat perilaku toxic.

Kenapa jadi bahas begituan?

"Kalian berdua tidak pantas untuk hidup!!!"

"Hah …?! Gak salah?! Justru kamu yang gak pantas hidup, teroris biadab!!! Kamu telah membunuh banyak orang yang gak bersalah! Pantas kamu bicara begitu, hah?!!!"

Lylia tampaknya tersulut emosinya akibat perbuatan wanita itu.

Dari perkiraanku, ini wanita benar-benar berbahaya. Gerakannya dan gaya berpedangnya sangatlah cepat. Kali ini aku mendapat halangan yang benar-benar merepotkan.

"Ingatlah, nak Kagami. Jika kamu bertemu dengan musuh yang sangat cepat, pastikan kamu bisa menebak arah serangannya."

"Bagaimana caranya, Sudirman-sensei?"

"Dengan perhatikan-."

"Kagami-senpai!"

Kilas balikku lenyap seketika dihancurkan oleh suara Lylia. Pandangan Lylia bergerak menyamping seakan menyuruhku melihat ke arah yang sama dengan pandangannya.

Wanita itu telah melepaskan jubah hitamnya. Kini aku melihat wanita itu dengan jelas. Sesosok wanita berkulit vanilla dengan rambut dikuncir dua ke belakang berwarna biru kehitaman. Matanya merah ruby itu semakin tajam saja kulihat-lihat. Terus, dia juga membawa dua pedang. Satu pedang hitam yang digunakan untuk menyerang perisai, dan satunya berwarna merah darah.

"Ah, sial!"

Wanita itu menghilang dengan sekejap dan muncul lagi di hadapan kami menebaskan pedang merah di tangan kirinya. Dan seperti yang aku duga, perisai Lylia menghilang. Pedang anti-magi itu telah menghilangkan segala hal berbau sihir. Kami beruntung karena bisa mundur tepat waktu.

Aku menembakkan senapan gadis itu, tapi wanita itu menghilang lagi. Refleks aku berguling ke kiri, memanfaatkan celah kedua mobil yang terparkir. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengeluarkan asap tebal untukku bersembunyi.

Instingku berkata dia akan menebas asap ini dengan pedang merahnya. Untuk itu aku menaruh bayangan di tempat paling jauh di parkiran dan berteleportasi.

"Aku selamat."

Selamat dari serangan wanita gila itu benar-benar beruntung. Aku duduk bersandar di belakang mobil sambil mengisi ulang peluru. Sisa peluru yang tersisa tinggal 2 magazin. Satu terpasang di senapanku, satu lagi masih nyaman di celana.

Karena aku berhasil kabur darinya, sudah pasti targetnya adalah Lylia. Aku memeriksanya melalui kolong mobil. Lylia dan wanita gila itu sedang bertarung. Aku kagum Lylia begitu pintar. Sadar sihirnya tidak bekerja, dia menggunakan pipa air untuk dijadikannya sebagai pedang.

Agak sedikit gak nyaman kalau melihat pertarungannya seperti ini. Jadi aku duduk dan mengawasi mereka dari belakang mobil. Untuk berjaga-jaga, aku bersiap untuk membidiknya kalau ada kesempatan lewat.

Kedua perempuan itu kuat. Wanita gila itu mempunyai pola serangan yang cepat nan rapi, tapi Lylia juga mempunyai gaya bertahan yang bagus. Walau begitu terus, Lylia terlihat terpojok. Dari tadi dia berjalan mundur. Aku harus menolongnya.

Muntahan peluru keluar dari senapanku. Sayangnya ….

*ting, ting, ting …!

"Apa?!" dia berhasil menebas peluru yang kutembakkan dengan pedang hitamnya. Dia pasti memiliki insting yang luar biasa.

Aku tidak berhenti. Aku terus menembakinya sampai peluru di magazinku habis. Namun dia berhasil menangkisnya dengan mudah.

Wanita gila itu berputar dan menendang perut Lylia. Lalu dia menghilang. Tubuhku sebenarnya ingin menghindarinya, tapi instingku berkata tidak. Dia mungkin bisa menebak arahku bergerak.

Yap, instingku benar-benar bekerja hari ini. Wanita itu muncul di depanku agak jauhan sedikit sambil menebas dinding parkiran.

"Sial!" kesal wanita itu sambil menggertakkan giginya.

"Aku tidak bodoh tahu."

Keringat wanita itu bercucuran. Pasti dia menggunakan banyak tenaga untuk bergerak secepat itu. Aku juga sama, sih. Aku terlalu banyak menggunakan mana untuk teleportasi. Jadi ini tidak bisa dibilang menguntungkan. Mau gak mau aku harus menghadapinya secara langsung.

Dia kembali maju, tapi pergerakkannya lebih lambat dari sebelumnya. Aku menghindarinya dengan loncat ke atas mobil.

"Jangan lari, kau!!!"

Gawat, wanita itu mengamuk! Aku sebisa mungkin harus terus bergerak.

Kulihat belakang, wanita itu melompat tinggidan melakukan tebasan putaran dengan dua pedangnya. Beruntung aku berguling di waktu yang tepat dan tak terkena tebasannya. Akan tetapi, wanita itu dengan cepat berada di depanku.

"Jangan lukai, senpai!"

Lylia tak tahu dari mana tiba-tiba menghalau kedua pedang itu dengan pipanya yang digerakkannya layaknya pemain baseball. Aksinya tersebut efektif membuat wanita itu mundur.

"Kau tidak apa-apa, senpai?"

"Aku tidak apa-apa."

Aku pun bangkit dan kembali bersiaga dengan wanita gila di depanku.

"Kalian berdua, penyihir brengsek! Kenapa kalian tidak mati saja?!!!"

"Kedengarannya kau benci sekali dengan penyihir? Dari tadi menyebut 'penyihir, penyihir' mulu?"

"Semua penyihir di dunia harus mati!!!"

"Kau punya masalah apa dengan penyihir, hah?! Sampai-sampai anak kecil pun kau bunuh."

"Hah …!? Dengan mudahnya kalian melupakan kejadian itu?!!! Kejadian lima tahun lalu di mall ini?"

"What the fuck are you saying?! Tentu saja aku gak lupa! Apa jangan-jangan kau korban penyerangan juga?"

"Para penyihir itu …, dia telah membunuh adikku!!!"

Tak tahu kenapa diriku terbawa dengan kejadian lima tahun silam. Sebuah kejadian yang menjadi alasanku menjadi penyihir.

"Ayo cepat gerakkan kakimu, Kagami!"

"Tunggu sebentar, Shingo!"

Aku masih ingat saat aku dan temanku Shingo dikejar oleh para teroris itu. Saat itu, aku tidak sengaja terpeleset di lantai yang licin.

Aku masih ingat detik-detik di mana hidupku kupikir akan berakhir. Di mana salah satu penyihir tersebut melemparkan bola apinya kepadaku.

Namun yang paling kuingat adalah Shingo …, "dia telah menyelamatkan nyawaku dari teroris itu. Padahal dia bukan penyihir, tapi dia menyelamatkanku. Kau pikir aku gak lupa kejadian itu, bodoh?!!!"

"Kau benar-benar tidak berguna! Membiarkan temanmu mati! Padahal kau bisa melindunginya, kan?"

"Ternyata kau sama dengan orang-orang itu!" aku menggenggam tanganku dengan erat, ingin rasanya menonjok wajah wanita itu tidak peduli jenis kelaminnya. "Aku dulu adalah penyihir tidak berguna. Di saat anak-anak seusiaku bisa mengeluarkan sihir, aku sendiri yang tidak bisa mengendalikan sihir. Semuanya, ya, semuanya termasuk keluarga besarku membuangku! Itulah yang membuatku benci dengan keluarga elit.

Seusai kejadian itu, semuanya, termasuk keluarganya temanku …, mereka semua menyalahkanku. Kau pikir aku terima, hah?!"

Kebencianku semakin menguat, masa lalu kelamku juga semakin jelas di pikiranku. Aku mungkin sama sepertinya, sama-sama membenci penyihir. Bedanya, aku membenci penyihir yang elit saja.

Sudah kuputuskan!

"Kali ini aku akan menghajarmu …, tanpa sihir."

Kulemparkan senapanku ke samping tanpa menghilangkan pandanganku kepada wanita gila itu.

"Dan tanpa senjata."

"Kau ini …!"

Ekspresi yang bagus. Dia semakin tajam menatapku. Itulah yang kuharapkan.

"Senpai, apa kau gila?!"

"Tidak, aku sangat marah. Jadi Lylia …," aku menatapnya dengan senyuman, "tolong sampaikan terima kasihku ke ibu. Bilang juga kepadanya, 'aku berhasil menjadi orang baik sampai akhir.'"

Aku mengatakannya karena aku tidak yakin bisa keluar dengan sehat.

"Tapi, senpai …?"

Aku kembali menatapnya dengan penuh keyakinan dan sedikit anggukan kepala.

"Kau masih muda. Kau akan menjadi pahlawan suatu hari nanti. Aku percaya padamu."

"Hahaha …! Apa kau serius? Penyihir itu hanya merusak! Hanya bisa membunuh! Mereka bahkan tidak peduli dengan manusia biasa dan orang lemah sepertimu!!!"

"Apaan, sih?! Jangan merusak momen dengan ocehan tidak bergunamu!!!"

"Kau …!"

"Namaku Kagami, seorang penyihir gagal yang setengah tahun lalu difitnah tidur dengan seorang gadis dan ditendang dari Fnatic Dreamers."

Bodoh memang mengatakan itu di saat yang genting ini. Namun melawan wanita gila ini sudah termasuk bodoh. Jadi gak masalah, kan?

"Lylia, pergi dari sini. Kau masih punya keluarga, kan?"

"Tapi, senpai-."

"PERGI!!!"

Tanpa sepatah katapun Lylia pergi. Wanita gila itu tampaknya ingin menyerangnya. Aku tidak membiarkannya. Kutaruh bayangan di depan wajahnya dan teleportasi ke bayangan itu. Aku juga berhasil menahan serangannya dengan memegang kedua tangannya. Kedua ujung pedang itu menyentuh perutku. Aku bisa merasakan tajamnya hanya dengan sedikit gerakan kecil.

Setelah itu, wanita itu kutendang perutnya, kuangkat kedua tangannya, dan kupukul wajahnya. Pedang merahnya terlepas dari genggaman karena memegang wajahnya yang kesakitan. Kudorong tubuh wanita itu agar menjauh dan kutendang pedang itu sejauh mungkin.

"Sialan, kau!!!"

Tak peduli dengan amarahnya semakin memuncak, kini aku memasang kuda-kuda. Selama aku tidak bisa menggunakan sihir, aku berguru silat ke Surdirman-sensei.

Wanita itu kembali maju, tapi kini gerakannya mudah terbaca. Dengan mudahnya aku menangkis setiap tebasan itu dengan tanganku. Ada celah sedikit di bagian dada, aku pukul berulang-ulang dengan tapakku. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan tebasan. Setelah itu, kuakhiri dengan sebuah uppercut yang sanggup menumbangkan wanita itu.

Tidak. Dia masih bangkit. Dia berdiri sambil dibantu dengan pedangnya. Aku kembali mengatur kuda-kudaku. Tatapanku terhadapnya takkan pernah kualihkan. Dia adalah tipe petarung yang sangat cepat.

"Aku mungkin membencinya, tapi aku akan menggunakan teknik pamungkasku."

Terdengar berbahaya. Kira-kira teknik apa yang digunakannya kali ini? Yang jelas tidak jauh-jauh soal kecepatan.

Wanita itu kini terlihat berbeda. Tatapannya sekarang kosong. Darahnya mengalir dari mulutnya. Dia terlihat seperti orang mati.

Tenang. Pikirkan sesuatu yang akan membuatmu selamat. Aku yakin masih ada sesuatu yang bisa digunakan untuk menghadapinya.

Namun …, aku merasa aku harus kabur darinya. Tekanan membunuhnya semakin kuat.

Tak tahu kenapa muncul sebuah aura putih di tubuhnya. Aura itu menyelimuti seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Teknik Pedang Ketujuh: Tusukan Naga Merah!"

Sial, aku harus benar-benar kabur. Teknik itu terdengar sangat berbahaya. Aku bisa mati kalau diam saja di sini. Tapi bagaimana?

Benar juga!

Tiba-tiba saja dia menghilang dari pandangan.

Ini kesempatan bagus bagiku untuk-.

"Guh!!!"

Belum sempat aku menggunakan sihirku, perutku tertusuk oleh pedang. Lantas dia menghilang lagi dan menusuk punggungku.

"Arrrggghhh …!!!"

Sakit. Benar-benar sakit. Aku tidak bisa menahannya. Darah diperutku mengalir deras. Aku juga memuntahkan darah begitu banyak. Tidak ada waktu lagi. Aku harus menggunakan Living Shadow sekarang.

Tepat pada waktunya. Saat wanita itu ingin menusuk leherku, aku berhasil berteleportasi ke tempat di mana aku pertama kali menunjukkan sihir asapku kepada wanita itu.

Sembari bersandar di mobil, aku memeriksa seluruh anggota tubuhku. Takutnya ada bagian tubuhku yang tertinggal. Kepalaku masih menempel, tidak ada bekas luka sama sekali; Lenganku juga masih bisa digerakkan; Kakiku juga demikian; Hanya perut dan punggungku saja terkena tusukan itu.

Aku beruntung teknik itu hanyalah sebuah tusukan. Kalau itu tebasan, mungkin tubuhku terbelah menjadi beberapa bagian.

Ah, sial! Masih sakit perutku akibat tusukan itu. Rasanya pandanganku semakin kabur. Kutengok ke kiriku, melihat mayat-mayat bergelimpangan di sana.

Sedih bercampur takut kurasakan saat melihatnya. Aku masih belum bisa membanggakan ibuku dan hanya membuat malu beliau. Aku memang anak yang tidak berguna.

"Mother, I'm sorry! I never make you proud. Aku benar-benar hanya memalukanmu, bu."

Tak bisa kubendung tangisan ini.

Aku benar-benar merindukan ibuku.

Aku ingin bertemu dengannya.

Aku ingin minta maaf langsung dengannya.

Tuhan, tolong jangan cabut nyawaku sekarang!

Sepertinya doaku tidak terkabul. Wanita gila itu telah menemukanku. Dengan tertatih-tatih, dia berjalan menghampiriku sambil menyeret pedangnya.

"Matilah kau, penyihir pengecut!!!"

Dia menebaskan pedangnya secara vertikal.

Aku benar-benar takut.

Aku tidak sanggup melihat detik-detik kematianku.

*dorrr …!

Itu tadi suara tembakan, kan? Eh, aku juga masih hidup. Bolehkah aku membuka mata sekarang?

"Hah?"

Wanita itu …, tergeletak di tanah.

Apakah dia sudah mati?

"Senpai …!"

Dan sekarang ada yang memanggil namaku. Tunggu itu Lylia?

Benar. Yang berada di hadapanku sekarang adalah seorang siswi Haruna yang memakai jaket olahragaku.

"Senpai, bodoh! Kenapa senpai menghadapinya sendirian?!!! Lihat, tubuh senpai penuh luka, kan?"

Apa-apaan gadis ini, "bukannya kau kusuruh untuk kabur? Kenapa kau balik ke sini?" dan kenapa kau begitu sedih?

"Mana mungkin aku meninggalkan senpai?!!! Dasar, bodoh! Idiot! Senpai yang terlemah!"

Baik, yang terakhir itu memang menyakitiku. Lebih dari yang wanita itu berikan kepadaku.

"Bukankah aku …, oh, kalau aku protes, kau pasti akan marah, kan? Kalau begitu, tolong sembuhkan aku, Lylia."

"Itu senpai tahu. Dasar senpai tidak berguna!"

Kata-katanya itu nyelekit, tapi dia memberikanku tawa kecil yang hangat.

Lylia merapalkan mantranya untuk melakukan sihir penyembuhan kepadaku. Rasanya hangat, sama seperti disentuh oleh ibuku. Perlahan-lahan rasa sakit itu menghilang.

Tiba-tiba kepala Lylia mendadak pusing. Aku yang melihatnya langsung memegang tangannya, "sudah segini saja. Pasti membutuhkan mana yang besar untuk menyembuhkanku."

"Tapi masih belum selesai, senpai."

"Tidak apa-apa. Aku sudah baikan. Ayo kita keluar dari sini."

"Baik, Kagami-senpai."

Senyumnya itu …, benar-benar manis. Sial, aku dilahirkan terlalu cepat! Andai saja aku bertemu dia lebih awal.

******

"Di mana aku?"

Kenapa aku tiba di tempat yang gelap seperti ini? Apakah ini mimpi? Atau … apakah aku sudah mati?

Ah, kupikir penyembuhan Lylia kemarin berhasil!

Oh, aku lupa! Aku yang menyuruhnya untuk berhenti. Entah kenapa aku agak menyesal, ya?

"Jadi sedang apa kita di sini?"

Tak tahu dari mana, muncullah seorang wanita berambut biru mudah dengan kuncir kuda duduk di sebuah singgasana. Gaun birunya yang anggun menegaskan bahwa dia bukan orang sembarangan.

"Siapa namamu?"

"Aku Kagami. Kagami Schwarzer-nakagawa."

"Jadi coba kita lihat catatan kematianmu."

*poof!

Muncul begitu saja sebuah buku tebal di hadapan wanita itu. Dia seperti seorang dewi yang lagi menuntun kematianku.

Eh? Jadi aku benar-benar mati?

"Sebentar, nama kamu, kok, gak ada, ya?"

"Hah?"

Seriusan? Apa-apaan ini? Terus kenapa aku dikirim ke sini?

"Aku gak tahu. Coba aku tanya ke atasanku, ya."

What the …?! Aku ingin mengumpat, lupa kalau aku di tempat sakral. Terus, apa benar aku mati? Kenapa dewi itu malah menelepon seseorang? Di alam baka ada teknologi, kah?

"Maafkan aku, Kagami. Sepertinya anda belum mati. Jadi silahkan balik ke alammu?"

"Apa?!"

Dewi itu tiba-tiba menghilang. Diikuti oleh sebuah cahaya terang yang semakin lama semakin besar. Mataku begitu silau sehingga tak sanggup melihatnya.

Saat kubuka mataku, aku hanya bisa memandang sebuah atap putih dengan sebuah lampu terang di atasnya. Bagian bawah kepalaku juga rasanya empuk dan punggungku juga terasa nyaman.

Tapi …, ini di mana?

"Kagami?"

Di sampingku, sesosok wanita berumur 40-an menatapku dengan penuh air mata. Tatapan mata merah rubynya terlihat tulus saat melihatku terbangun. Beliau adalah sosok yang paling kurindukan saat penyerangan mall kemarin.

"Ibu?"