Matahari berdiri dengan gagah di langit sana. Sinarnya yang panas siap membakar apa saja yang menantang. Walaupun sama-sama makhluk, tidak ada yang berani beradu ketangguhan. Manusia penakut berteduh di bawah pohon atau bangunan, semut hitam masuk dalam lubangnya yang nyaman dan burung tidak berani terbang mengudara; memilih bertengger di atas ranting pohon yang lebat.
Para manusia berkepala kuning berkumpul di dalam bangunan setengah jadi. Ada yang sedang makan nasi bungkus, ada yang bertelanjang dada sambil mengipasi tubuhnya yang penuh peluh dengan baju, bahkan ada yang hanya duduk melamun mengamati debu terbang ditiup angin siang.
Rahmat, salah satu lelaki yang berkepala kuning. Ia duduk menyendiri di atas tumpukan pasir kering. Tangan kirinya memegang sebungkus nasi dengan lauk dua buah keping tempe goreng dan tangan yang satunya ia ubah menjadi sendok. Caranya makan seperti orang yang sudah berbulan-bulan tidak melahap sesuatu. Begitu cepat masuk ke mulut, lahap dan makan hilang begitu saja di mulutnya.
"Ayo semua kerja kembali! Jangan makan terus! Jangan santai-santai!" Seseorang berkepala kuning datang menghampiri kepala-kepala kuning lainnya. Bedanya, mereka bertubuh kerempeng dan kekar sedangkan ia adalah seorang bertubuh gempal. Kegempalannya membuat kepala kuning lainnya takut dan mematuhi perintahnya.
Rahmat yang tadinya duduk santai bergegas membuang sembarang bungkus makanan yang kebetulan baru saja dihabiskan. Ia langsung mengambil sekop yang menancap di tumpukan pasir. Tangannya bekerja kembali memindahkan pasir dari gundukan besar ke ember-ember yang siap menampung pasir-pasir itu. Hal tersebut dilakukan tak bosan-bosannya hingga gundukan yang tadinya besar menjadi habis terkikis. Akan tetapi matahari yang tegak di atas menyaksikan kerja keras Rahmat mulai bosan, ia turun menuju ke arah barat bersama bayangan yang memanjang. Bayangan yang memanjang bukan tanda untuk terhentinya kerja keras orang-orang berkepala kuning. Kerja keras terus berlanjut entah sampai kapan.
Setelah gundukan pasir habis tidak tersisa, Rahmat mengerjakan hal lain; membantu orang-orang berkepala kuning lainnya memindahkan batako-batako dari satu sisi ke sisi lainnya. Mereka layaknya barisan semut di tembok yang mondar-mandir membawa sesuatu, meletakkannya lalu mengambil sesuatu yang lain kemudian membawanya kembali dan seterusnya.
Burung-burung di langit pulang ke rumahnya. Kini kelelawar yang menggantikannya menjadi penguasa langit selanjutnya. Walaupun langit sudah berganti kekuasaan, di darat masih makhluk sama yang berkuasa; manusia berkuasa atas jalan-jalan di darat. Memenuhi segala sisi yang nampak maupun tidak.
"Pak Mandor, sudah mau petang. Boleh kami pulang?" ujar salah satu kepala kuning yang kurus kering kepada kepala kuning yang paling gempal.
"Proyek ini harus selesai tiga hari lagi tau. Kalian ini lamban sekali ya. Sudah! sana pulang saja. Tapi ingat! Besok harus lebih cepat kerjanya."
Puluhan orang-orang kepala kuning membubarkan diri dari tempat ini. Mencopot kepalanya yang kuning. Kini kepala mereka tidak sama lagi. Ada yang berwarna putih, hitam bahkan mengkilat tanpa rambut. Bukan hanya kepalanya yang dicopot, mereka juga mencopot sekop, palu dari tangan mereka. Alat-alat itu tidak bertuan lagi. Mereka tergeletak kedinginan. Tangan kasar orang-orang berkepala kuning tidak lagi memeluk tubuh mereka. Ada tubuh lain yang perlu orang-orang berkepala kuning itu peluk. Tubuh istri-istri mereka atau tubuh pelacur-pelacur mereka.
Rahmat yang kepalanya tidak lagi kuning berjalan mendekati orang yang paling gempal di sana. "Pak Mandor, saya boleh minta gaji saya dulu tidak? Anak saya sedang sakit," kepala hitamnya tertunduk.
"Apa katamu! Kerja belum rampung udah main minta aja. Sudah sana pulang saja, istirahat buat kerja lagi besok!"
Kepala Rahmat semakin tertunduk menerima ucapan yang menyayat hati. Orang bertubuh gempal itu, membuat langkah Rahmat menjadi seperti mayat hidup. Gontai lemah tidak bertenaga. Pekerjaan yang melelahkan, kata-kata yang menyakitikan yang diterima, ia pendam sendiri. Tidak ada yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
Langit metropolitan semakin kelam, sekelam hati Rahmat. Tapi daratannya masih terang. Metropolitan tidak akan mudah hitam begitu saja. Ia gagah dan tak kenal lelah. Dengan lampu yang berasal dari tenaga listrik menerangi jalan-jalan dan bangunan yang ramai oleh orang-orang. Anak-anak yang menjumpai terangnya lampu sangat terlihat girang. Mereka masih dapat bermain dan berlari di depan Rahmat yang lunglai.
Hilangnya rasa semangat Rahmat semakin terceceran di setiap jalan-jalan yang dilalui. Ia terus melangkahkan kaki dari jalan besar menuju jalan kecil yang biasa dikenal dengan gang. Tidak ada perbedaan antara kedua jalan itu, mereka sama-sama jalan yang dipenuhi dengan manusia. Manusia yang mencari kesenangan sendiri tanpa memperdulikan orang lunglai seperti Rahmat.
Jalan yang dilalui Rahmat semakin kecil dan sempit. Orang-orang tidak lagi mau memenuhi jalan ini. Jalan yang marginal hanya untuk orang-orang marginal. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari jalan ini oleh Rahmat, kecuali sebuah gubuk yang tak karuan bentuknya berdiri di salah satu sisi jalan ini.
Pintu gubuk yang terbuat dari triplek bisa saja jebol dengan sekali hantam. Tapi Rahmat memilih mengetuk dengan lembut pintu itu untuk berkomunikasi dengan orang yang berada di dalam gubuk.
"Assalamualaikum," ucap Rahmat seraya mengetuk pintu