Sesosok wanita membukakan pintu untuk Rahmat. Tanpa ada kata perintah, tangan kasar Rahmat disautnya dan dicium dengan penuh penghormatan. Wanita itu masuk ke dalam gubuk diikuti oleh Rahmat.
"Gimana Bi kerjanya? Apakah Abi boleh minta gaji dulu?" tanya Siti, wanita yang membukakan Rahmat pintu.
Tidak ada jawaban dari mulut Rahmat. Tatapan yang sayu ke arah Siti ia gunakan untuk memberi jawaban. Ada pesan pahit dari tatapan Rahmat. Dan syukurnya Siti dapat membaca pesan mata suaminya itu.
Siti meninggalkan suaminya sendiri di ruangan sempit ini. Wanita itu pergi ke dapur yang hanya berukuran dua kali satu meter. Antara ruang pertemuan Siti dan Rahmat dengan ruang dapur hanya dibatasi oleh triplek tipis. Setipis pintu masuk tadi. Di dapur, Siti membuat segelas kopi pahit. Suaminya sangat menyukai kopi pahit. Baginya kopi pahit adalah gambaran tentang dirinya, tentang kehidupannya. Rasa pahit yang ada pada kopi atau dirinya harus bisa dinikmati.
"Bella masih sakit, Mi?" Ia menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap.
"Masih Bi. Badannya masih panas."
Rahmat termenung memikirkan nasib anak semata wayangnya. Ia beranjak dari kursi memasuki ruangan sempit yang hanya muat untuk satu ranjang tidur. Di atas ranjang tergeletak seorang gadis. Matanya terpejam tapi bibirnya bergetar. Badan kurus sang gadis bergetar membuat wajah Rahmat bertambah pasi. Tangan kasar Rahmat memegang dahi Bella yang penuh keringat dingin. "Ya Allah masih panas banget."
Kondisi putri yang kritis membuat Rahmat tidak bisa berlama-lama di sisinya. Rasa iba dan putus asa selalu menghampiri jika ia berada di ruang pengap ini. Kopi yang masih hangat menjadi tujuan kembali ke tempat perenungan nasib.
"Kita ini selalu taat beribadah Bi. Baik kepada orang. Tapi kenapa hidup kita serba kekurangan."
"Mungkin sudah menjadi jalan takdir, Mi."
Sebenarnya banyak sekali jalan untuk mengubah nasib. Rahmat bisa saja menjadi pencopet jika ia mau. Banyak tetangga lelaki yang berprofesi semacam itu. Siti bisa saja menjadi pelacur jika ia mau. Tubuhnya yang tertutup daster dan jilbab besar masih terlihat ranum. Banyak lelaki yang pastinya tertarik jika mereka tahu tubuh Siti. Tapi latar belakang pondok pesantren membuat sepasang suami istri ini tetap memegang teguh ketuhanan. Tidak ada jalan selain menerima takdir Tuhan walaupun takdir sepahit kopi yang Rahmat minum.
Mereka berdua merenungi nasib di atas meja yang keropos kaki-kakinya. Tidak ada suara kala itu. Keheningan menguasai gubuk kecil itu yang berisikan sekumpulan keluarga kecil. Keramaian hanya ada di luar gang sempit dan pikiran mereka berdua. Pikiran mereka berperang dengan kenyataan. Suara bising yang dihasilkan dari peperangan hanya membuat pening tubuh mereka masing-masing.
"Mi, sakit. Dingin, Mi," suara Bella memecahkan keheningan gubuk kecil itu. Suara dari bibir kecilnya membuat kedua orang tuanya beranjak menghampirinya. Siti mendekatkan tangan kanannya ke dahi dan tengkuk Bella. Belum sempat menempel kedua kulit anak Hawa itu tapi rasa panas dari tubuh Bella sudah terasa.
"Bi, Bella panas banget. Bagaimana kalau kita bawa ke dokter saja, Bisa?"
Rahmat membopong tubuh kecil Bella. Diikuti oleh istrinya yang membawa tas entah berisikan apa. Mereka berlarian melewati jalan sempit. Jika ada sepeda motor berhadapan dengan mereka, mau tidak mau mereka harus menghentikan langkahnya. Lalu melanjutkannya kembali.
Jalan semakin lebar, manusia-manusia semakin ramai. Tapi tidak ada yang peduli dengan mereka bertiga. Orang-orang hanya melihat sekilas kemudian melanjutkan kesenangannya sendiri. Rembulan yang maha besar pun hanya memandang dari atas keluarga kecil malang ini tanpa ada rasa iba dari cahayanya.
Mereka terhenti di jalan raya yang padat. Mobil dan motor melintas begitu cepat. Tapi tidak berapa lama sebuah angkutan kota tanpa penumpang berhenti tepat di depan mereka. Siti menghampiri supirnya dan berujar, "Bang, bisa ke rumah sakit gak?"
"Aduh Neng. Angkot Abang gak lewat situ."
"Nanti Eneng tambahin deh."
Sang supir menyanggupi negoisasi Siti. Sepasang suami istri yang membawa anak semata wayangnya yang sedang sakit itu masuk ke dalam angkutan kota. Sang supir mulai menancapkan pedal gas dan kendaraan melaju. Rahmat dan Siti masih dalam keadaan yang sama, penuh ketakutan serta tegang. Mulut mereka terdiam, hanya kedua pasangan mata melirik acak tanda kegugupan tak karuan.
Sang supir mencoba melihat keluarga kecil itu dari spion dalam mobilnya. Ia berusaha bersikap ramah kepada keluarga kecil yang menjadi penumpangnya, "anaknya sakit apa, Bang?"
"Belum tahu Bang. Tapi badannya panas banget."
Tidak ada percakapan lagi diantara mereka. Sang supir tahu kalau penumpangnya dalam keadaan sangat pusing. Ia tidak mau menambahkan kepusingan melalui pertanyaan atau perkataan yang dianggapnya sebagai keramah-tamahan seorang supir. Ia tetap fokus mengendarai kendaraan umum itu.
"Udah sampai rumah sakit," kata sang supir.
Siti, Rahmat dan Bella yang sedang dibopong bapaknya keluar dari angkutan umum itu. Siti memberi selembar uang dua puluh ribuan kepada sang supir.
"Cuma dua puluh ribu?" Ia sempat ingin marah tapi ketika melihat Bella yang sedang mengigil amarahnya turun. "Ya sudah. Itung-itung saya sedekah buat kalian. Nih uangnya saya kembalikan. Lebih baik uang itu buat berobat anak kalian."
Rahmat dan Siti mengucapkan terima kasih berulang kali. Perasaan haru mendera kalbu mereka. Sepasang suami-istri itu tidak menyangka masih ada orang baik di kota besar. Untuk membayar jasa sang supir, mereka segera menunaikan apa yang dikatakan supir dan menjalankan panggilan hati sebagai orang tua; membawa masuk Bella ke rumah sakit untuk di periksa keadaannya.
Malam yang sepi membuat Bella dapat langsung ditangani. Dua orang suster dan dua orang perawat laki-laki membawa ranjang beroda ke hadapan sepasang suami istri itu. Salah satu perawat laki-laki merebut Bella dari bopongan ayahnya. Ia menidurkan Bella di atas ranjang bergerak itu.
Ranjang yang ditumpangi Bella didorong oleh empat manusia berseragam putih. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang dingin dan mencekam. Di belakang mereka terdapat Rahmat dan Siti yang terus membuntuti. Entah akan dibawa kemana anak mereka, yang jelas mereka hanya bisa mengikuti dan terus merapalkan doa.
Bunyi deritan roda ranjang yang didorong memenuhi ruangan. Semakin lama dorongan semakin cepat lajunya dan semakin keras pula bunyi deritan itu. Di ujung lorong terdapat sebuah ruangan. Nampaknya empat orang berseragam putih akan membawa Bella masuk ke dalamnya.
"Bapak dan ibu tunggu di sini dulunya," ucap salah satu wanita yang mendorong ranjang Bella.
"Tapi bagaimana dengan keadaan anak saya Sus?" tanya Siti yang semakin cemas.
"Nanti kami akan tangani semaksimal mungkin, Bu. Selagi kami menangani mungkin Ibu bisa ke depan untuk mengurus administrasi."
"Baik Sus," ucap Rahmat.
Sang Perempuan berbaju putih masuk ke dalam ruangan menyusul teman-temannya. Kini tinggal Rahmat dan istrinya berada di lorong yang sepi. Sebuah bangku besi panjang dingin menjadi saksi atas kebingungan suami-istri itu. Mereka berdua terlihat hendak duduk di bangku yang dingin. Namun mereka teringat pesan perempuan tadi dan mengurungkan niatnya untuk duduk menunggu di bangku panjang.
Mereka kembali berjalan melewati lorong yang telah mereka sambangi sebelumnya. Lorong demi lorong, ruangan demi ruangan terlihat sangat sepi. Namun lama kelamaan mereka menuju lorong yang cukup ramai. Bangku-bangku panjang di sisi lorong terpenuhi oleh orang-orang. Mereka yang duduk termenung memikirkan keluarga atau saudaranya yang sedang dirawat di dalam suatu ruangan. Tetapi kedua pasangan itu mencoba untuk menghiraukan mereka. Rahmat dan istrinya terus berjalan hingga ruang administrasi.
Ruang putih penuh manusia duduk berbaris rapi. Menunggu panggilan dari seseorang berpakaian putih di depan. Rahmat dengan muka tebal maju ke depan, "Mba saya mau mengurus administrasi anak...." ucapan Rahmat dipotong oleh perempuan berbaju putih.
"Nanti ya Pak. Silahkan ambil nomor antrian terlebih dahulu," perintah perempuan itu. Rahmat mengambil secarik kertas bertuliskan angka tiga puluh enam, sedangkan perempuan tadi berteriak angka dua puluh lima. Masih cukup lama menunggu untuk sebuah nomor yang dipegang Rahmat.
Rahmat masuk ke dalam barisan orang-orang yang sedang duduk. Ia duduk di bagian tengah dari barisan itu. Bangku yang kebetulan kosong berada di samping Rahmat diduduki oleh istrinya. Sepasang suami istri duduk berjejeran layaknya pengantin pengantin baru di acara resepsi pernikahannya. Tapi yang kini mereka rasa bukan bahagia seperti dulu, khawatir akan keadaan anak mereka yang terus menghantuinya.
"Keadaan Bella bagaimana ya Bi?"
"Sudah tenang saja. Pasti dokter akan mengurusnya dengan maksimal. Sekarang kita urus dulu administrasi dan pembayarannya dulu," ucap Rahmat bijaksana agar istrinya lebih tenang.
Angka tiga puluh enam disebutkan, Rahmat maju menghadap perempuan berbaju putih tadi. Berbagai pertanyaan dan jawaban terlontar dari kedua makhluk ini. Jika perempuan itu bertanya, Rahmat menjawabnya dan sebaliknya.
"Jadi semuanya berapa Mba?"
"Tiga juta lima ratus," jawab singkat perempuan itu. Rahmat terhenyak ketika mendengar empat kata tersebut. Tangan kumalnya merogoh saku celananya yang kumal pula. Hanya ada uang tiga lembar uang seratus ribuan. Mau tidak mau ketiga lembar itu harus ia berikan semua kepada perempuan yang ada di depannya.
"Ini kami terima dahulu. Silahkan Bapak kembali lagi untuk melunasi dan ATM ada di depan rumah sakit jika Bapak ingin mengambil uang."
Rahmat kembali ke tempat duduk semula dengan langkah yang sangat gontai. Pikirannya berkecamuk tidak karuan. Entah apa yang harus ia katakan kepada istrinya.