Sinar matahari mengintip dari sela-sela jendela rumah sakit. Beberapa darinya menyinari halus kulit Rahmat melalui jendela musholla.
"Astaghfirullah aku ketiduran. Ternyata sudah pagi saja," keluhnya saat sinar matahari menyilaukan matanya. Ia bergegas menghampiri istrinya. Barangkali Siti memperlukan bantuannya atau sekedar menjadi teman untuk diajak bicara.
Namun dugaan Rahmat salah. Istrinya masih terlelap di sisi buah hatinya yang juga terpejam. Rahmat menatap wajah sang istri. Menurutnya, tidak ada yang berubah dari Siti. Wajahnya masih sama saat ia melamarnya dulu. Wajah teduh Siti membuat hatinya tentram ketika dipandang. Hanya saja ada beberapa kerutan sebagai tanda ia telah melewati kerasnya hidup yang sudah dijalani.
Ia mengambil sebuah kursi dan diletakkannya di sisi Siti. Rahmat duduk disanding Siti layaknya pengantin baru. Tapi dengan suasana hati yang jauh berbeda. Dulu sangat ceria gembira, sekarang menanggung nasib penuh dengan lara.
"Maafkan aku ya Sit. Aku belum bisa membuatmu bahagia, padahal dulu aku berjanji dihadapan orang tuamu untuk membuatmu selalu bahagia dan tersenyum," ucap Rahmat sambil mengusap kepala istrinya yang tertutupi kerudung. Ia pandang wajah istri, terkadang dialihkan ke wajah putrinya. Keduanya sangat mirip. Sama-sama cantik dan menyejukkan mata. Ia sangat merasa beruntung sekali mempunyai dua bidadari di sisinya. Ketika Rahmat pulang kerja dalam keadaan lelah, wajah kedua bidadari itulah yang menjadi obat penghilang lelah. Kedua bidadari itu sangat istimewa baginya.
Siti menggeliat. Kedua mata indahnya berusaha dibuka untuk melihat dunia lagi. Saat matanya mulai terbuka, tersaji sesosok anak kecil yang terbaring dan lelaki dengan bijaksana duduk di sisinya. Perempuan itu hanya menguap dan menggeliat. Cukup lama termenung mengumpulkan kesadaran. Dan kemudian ia berkata, "Bi aku barusan mimpi sesuatu."
Suaminya tertarik oleh kalimat pertama yang diucapkannya pagi itu. Ia berusaha mendekatkan kursinya agar tidak ada satu informasi pun terlewatkan. Walaupun istrinya bilang "mimpi" tapi tetap saja ada rasa penasaran dalam benak lelaki ini.
"Aku mimpi sedang di sebuah tempat. Di sana ramai sekali dengan orang-orang asing di sekelilingku. Tapi tempat itu ada sepasang bangunan dan di tengah-tengah bangunan tersebut ada sebuah jembatan yang menghubunginya."
Rahmat sempat mengigit bibir bawahnya dengan gigi atas. Mencoba berpikir menafsirkan mimpi istrinya yang telah diceritakan. Walaupun ia tidak mempunyai ilmu tafsir mimpi atau semacamnya, menurutnya ada pesan di balik mimpi tersebut. Apalagi malam sebelum Siti terlelap, istrinya berkomunikasi dengan Tuhan dan mungkin saja itu jawaban dari Tuhan.
"Menurutmu bagaimana Bi?"
"Kamu tahu menara Petronas?" Rahmat menatap serius istrinya. "Apa yang Umi ceritakan itu seperti gambaran menara Petronas."
"Menara Petronas yang di Malaysia? Jadi..." Siti tidak melanjutkan ucapannya. Rahmat mungkin sudah tahu apa yang dimaksud oleh istrinya. Mereka lebih memilih saling diam dengan penafsiran-penafsiran di otak mereka. Kemungkinan besar apa yang ada dalam pikiran mereka hampir sama.
"Umi ingin menjadi TKW di sana seperti tawaran Diana?" tanya Rahmat dengan nada lirih.
Siti masih membungkam. Ketenangan mulutnya membiarkan detak jantung menggemakan suara di tubuhnya. Nafasnya tetap tenang walaupun pikirannya berkecamuk. Siti melirik Bella dengan tatapan sayu. Sinar mata lemah Siti membelai tubuh yang terkujur.
"Aku masih bingung Bi," tatap matanya tidak berpindah dari tubuh Bella.
"Aku berharap sih Umi tetap disini. Uang sisa kemarin bisa untuk modal usaha kita dan hasil usaha tersebut bisa buat mencicil hutang-hutang kita," Rahmat merayu. Ia tentu sangat menolak jika Siti pergi keluar negeri. Namun ia tidak berani berbicara langsung. Ia takut melukai hati istri tercinta. Memang sedari awal pernikahan mereka tidak pernah bertengkar. Ucapan dan tingkah laku mereka saling terjaga. Sehingga untuk melakukan penolakan atau pelarangan saja terasa berat sekali.
"Tapi kalau jalan satu-satunya membayar hutang dengan menjadi TKW gimana lagi, Bi?" tanya Siti yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Rahmat. Mereka sama-sama tidak bisa menentukan keputusan. Rahmat yang merasa berat jika harus berpisah, Siti yang tak tega melihat keluarganya ditinggal ke Malaysia. Semua merasa terbebani. Tapi harus ada keputusan yang jelas untuk membayar hutang-hutang yang Diana berikan.
"Bi, boleh minta kartu nama teman Abi yang kemarin gak?"
"Buat apa? Umi mau menelfonnya?" tanya Rahmat dengan nada sumbang. Ketakutannya kini terasa kenyataan. Tangannya enggan mengambil kartu nama Diana yang berada di saku celana. Tapi ia masih belum berani menahan bahkan melanggar istrinya. Lagipula mungkin keputusan Siti sudah bulat untuk pergi merantau, meninggalkan keluarga. Jika itu terjadi, Rahmat hanya bisa bersabar.
Siti mengetik sebuah nomor di handphonenya. Tombol yang ditekan berbunyi lirih tapi masih terdengar cukup jelas jika berada tidak terlalu jauh dari handphone. Cukup lama handphone berbunyi tut-tut. Telinga yang tertutup jilbab masih menunggu suara di balik handphonenya.
"Halo dengan siapa ya?" suara seorang perempuan di balik handphone yang dipegang Siti.
"Aku Siti Mbak. Istrinya Rahmat yang pinjam uang ke Mbak," jelas Siti. "Oh ya Mbak. Apakah lowongan untuk bekerja di Malaysia masih ada?"
"Masih kok, Mbak." Percakapan antar keduanya cukup lama. Keduanya pun semakin akrab. Dengan keakraban itu, Siti menjadi lebih tahu informasi tentang pengiriman TKW. Hampir setengah jam percakapan mereka baru tersudahi.
"Umi beneran mau pergi?" tanya Rahmat dengan memelas.
"Iya Bi. Setelah Bella sembuh dan bisa dibawa pulang, Umi akan pergi ke negeri seberang."
"Kalau begitu mau Umi, apa boleh buat." Wajah Rahmat teduh. Harapannya bertolak belakang dengan keinginan istrinya. Tapi ia tetap berusaha berpikir positif. Dengan istrinya pergi ke negeri seberang, mungkin ekonomi mereka semakin baik. Putri semata wayangnya bisa bersekolah dan terpenuhi keinginannya. Rahmat berusaha mendatangkan bayangan perihal keluarganya; seperti nasib Diana yang jadi kaya setelah pulang dari Malaysia menjadi TKW.
"Ya sudah Bi. Sekarang kita fokus mengurus Bella saja hingga sembuh."