Chereads / Baladiyah (Kisah Ketegaran Seorang Perempuan) / Chapter 3 - Tidak Semua Orang Jahat

Chapter 3 - Tidak Semua Orang Jahat

"Bagaimana Bi?"

Sebelum Rahmat menjawab, ia melakukan tarikan nafas yang cukup panjang. Ada beban yang menahan bibirnya ketika ingin berkata-kata. Alhasil ia tidak mampu berucap dan mengurungkan niat untuk berbicara.

"Bagaimana selanjutnya Bi?" tanya ulang Siti. Ia penasaran terhadap apa yang telah terjadi oleh suaminya. Suaminya terlihat sangat lesu dan pasi setelah kembali dari perempuan berseragam serba putih itu.

"Aku hanya punya uang tiga ratus ribu, sedangkan kita harus membayar tiga juta lima ratus," jawabnya berat. Rahmat menatap Siti dengan mata yang berkaca-kaca. Lelaki yang biasa kuat mengangkat belasan batu bata kini ia tidak kuat menanggung beban hidupnya sendiri. Keputusasaan memenuhi raganya. Jika saja Siti tidak ada di sampingnya, mungkin ia akan lari ke luar rumah sakit dan menabrak diri ke mobil yang lewat.

"Sudah Bi. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti kita sama-sama cari cara untuk membayar biaya pengobatan Bella, Bi." Siti sebenarnya sungguh putus asa dengan apa yang terjadi. Ia tidak mungkin menunjukkan keputusasaannya. Sebagai istri yang baik, ia harus turut menguatkan hati suaminya.

Keduanya termenung. Kedua bibir mereka terbungkam. Keramaian tidak muncul dari mulut mereka. Hanya ruangan dan hati mereka yang ramai dan penuh gemuruh kebingungan.

Rahmat sering menarik napasnya dengan panjang, Siti selalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tindakan mereka terkadang ditiru oleh beberapa orang disekitarnya. Mungkin apa yang Rahmat dan Siti rasakan juga dirasakan orang lain. Tapi mereka saling tidak peduli dengan apa yang dirasakan oleh orang lain dan lebih memikirkan apa yang mereka rasa sendiri.

Di tengah kegelisahan Rahmat, seseorang perempuan datang menghampirinya. Dengan pakaian super modis khas kekotaan dan wajah yang penuh dengan make up, wanita itu menepuk pundak Rahmat dari belakang, "Rahmat bagaimana kabarnya?"

Suami Siti itu menoleh. Menatap perempuan yang barusan menepuk lalu ia berusaha mengingat perempuan yang ada di belakangnya.

"Masih ingat aku tidak?"

"Kalau gak salah kamu Diana 'kan? Teman saat aku SMA 'kan?" Rahmat beranjak dari duduknya. Wajah muram Rahmat berubah lebih tampak berseri. Ia sejenak melupakan apa yang barusan terjadi. Senyum dan tawa ringan muncul dari kedua anak Adam yang telah terpisah cukup lama.

"Kamu sedang apa disini, Mat?"

"Anakku sedang sakit dan barusan dirawat." Rahmat kembali teduh. Masalahnya kembali teringat saat Diana tidak sengaja menyinggungnya. Badannya yang tadinya berdiri tegak kini ambruk duduk kembali di bangku panjang nan dingin. Ia tidak berani menatap Diana lagi. Kegagalan sebagai lelaki yang dapat mengayomi keluarga kecilnya tidak mau ia tampakkan kepada teman lamanya. Akan tetapi tanpa ia beritahu, Diana pasti akan mengetahuinya.

Diana duduk di sisi Rahmat. Ia ingin lebih mengetahui apa yang dirasakan temannya. Ditatapnya dengan penuh keibaan, "lalu sekarang bagaimana keadaan anakmu?"

"Alhamdulillah sedang dirawat. Akan tetapi.." Rahmat tidak melanjutkan kalimatnya. Aib dirinya akan terbongkar jika ia berbicara lebih banyak. Siti pun sempat melotot ketika suaminya hendak membocorkan permasalahannya ke seseorang yang baru ia temui.

"Tapi apa? Ungkapan saja. Siapa tahu aku bisa membantumu," Diana mencoba menyudutkan Rahmat.

"Baiklah kalau kamu memaksa. Aku butuh biaya untuk pengobatan anakku."

"Ohh," jawab Diana sambil tersenyum. Senyumnya menimbulkan banyak penafsiran. Apakah ia senang bisa tahu permasalahan Rahmat dan akan membantu atau senang jika temannya mempunyai permasalahan. Tidak ada yang tahu isi hati seseorang.

"Baiklah. Aku akan meminjamkanmu uang. Tapi segera mungkin lunasi hutang itu ya, karena mungkin ke depannya aku juga butuh," jelas Diana membuat sepasang suami istri itu terlihat lebih senang daripada sebelumnya. Mereka merasa permasalahannya akan segera teratasi. Akan tetapi Rahmat tidak mau bereforia terlebih dahulu. Hutang adalah hutang. Dan ketika Diana meminta untuk dikembalikan, maka muncul permasalahan baru.

"Bagaimana aku mengembalikan uangmu kalau aku sendiri penghasilannya tidak menentu." Rahmat kembali kecewa. Kabar gembira dari Diana yang ia anggap sebagai akhir dari permasalahan ternyata hanya memperpanjang masa masalah saja.

"Kamu tahu aku kan? Aku dulu orang miskin. Namun semenjak aku jadi TKW hidupku kini bergelimang harta. Mungkin istrimu bisa bisa saja mendaftar menjadi TKW untuk membayar hutang."

Mereka menatap Diana. Sempat ada rasa tidak percaya dari ucapannya. Bagi Rahmat, suami mana yang mau ditinggal istrinya pergi merantau ke negeri orang. Jelas tidak ada yang berkeinginan seperti itu. Bagi Siti sendiri, memang berat harus berpisah dengan suami dan anaknya. Namun jika itu jalan terakhir maka ia harus lakukan demi suami dan anaknya.

Rahmat masih bimbang dengan penawaran Diana. Ia berpikir keras mencari cara lain selain merelakan istrinya pergi ke luar negeri. Pasti ada jalan lain selain itu. Ia tidak mau menahan rindu dengan istrinya. Tapi bukan itu yang melatarbelakangi sulitnya untuk mengijinkan Siti pergi menjadi TKW. Yang Rahmat takutkan adalah jiwa istrinya. Ia tidak tahu bagaimana keadaan di luar negeri. Menurut berita yang ada, sering sekali TKW disiksa, dipenjara bahkan dibunuh oleh majikannya sendiri.

"Sebaiknya kalian pikirkan dahulu. Ini uang lima juta seperti apa yang aku janjikan. Lalu ini kartu namaku, siapa tahu kalian berubah pikiran dan istrimu berkenan menjadi TKW."

Setelah Diana memberikan beberapa lembar uang dan sebuah kartu, ia pergi entah kemana. Rahmat sempat bertanya dan hanya terhenyak oleh peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.