Chereads / Baladiyah (Kisah Ketegaran Seorang Perempuan) / Chapter 4 - Manusia Juga Membutuhkan Tuhan

Chapter 4 - Manusia Juga Membutuhkan Tuhan

Rahmat kembali menemui perempuan berbaju serba putih itu. Ia membayar biaya pengobatan, rawat inap dan segala sesuatu yang berkaitan dengan anakknya. Semua bisa beres berkat uang pemberian Diana. Bahkan uang tadi tersisa dan bisa digunakan untuk beberapa minggu ke depan.

"Bagaimana Mi?"

"Kayanya akan aku coba Bi. Mungkin setahun di sana cukup untuk mencari uang sebagai modal usaha kita."

"Jangan gegabah Mi. Pikirkan matang-matang dan libatkan Allah dalam persoalan ini," jelas Rahmat dengan bijaksana.

Mereka kembali senyap dalam bangku yang panjang nan dingin. Hingga rasa bosan menghinggapi mereka dan mengajak mereka beranjak dari kursi lalu kembali mencari tahu kondisi si kecil. Mereka berjalan serta bertemu kembali dengan lorong dan kesepian sebelum sampai ke tempat putri mereka dirawat.

Pintu ruangan masih tertutup rapat. Kedua manusia itu mencoba mengintip melalui jendela kecil di pintu tersebut. Mereka melihat beberapa orang sedang menangani anaknya. Mereka ingin sekali masuk ke dalam ruangan melihat lebih jelas putrinya tetapi sudah barang tentu mereka akan dimarahi habis-habisan oleh dokter dan teman-temannya. Sepasang suami-istri ini hanya bisa duduk dan menunggu di bangku yang lebih dingin daripada bangku tadi.

Tak perlu menunggu lama, dokter dan kawan-kawannya keluar dari ruangan. Ia berkata kepada Rahmat, "dengan bantuan Tuhan, putri bapak bisa selamat. Akan tetapi ia perlu istirahat beberapa hari disini. Dan perkenankan kami untuk memindahkannya ke ruangan lain."

Bella yang berada atas ranjang beroda di dorong oleh sekelompok orang menuju tempat yang lebih ramai. Dibawa ke sebuah ruangan yang tersekat-sekat oleh korden biru. Mereka menaruh Bella dalam keadaan belum sadar diri di tempat itu. Rahmat dan Siti merasa lega karena Bella telah berpindah ke tempat yang lebih ramai. Mungkin dengan banyaknya orang akan lebih mudah untuk dimintai pertolongan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dokter memasang berbagai peralatan seperti infus ke tubuh mungilnya. Orangtuanya hanya dapat melihat dari kursi yang tersedia di samping ranjang. Walaupun wajah nampak tenang namun hatinya tidak bosan-bosan merapalkan berbagai macam doa hingga dokter selesai dan meninggalkan Bella.

"Bi, Umi ingin ke mushola dahulu. Abi jaga Bella dulu ya."

Kini Rahmat sendiri yang menemani Bella. Walaupun di balik korden ada beberapa orang yang belum dikenal tapi ia merasa sendirian. Tidak ada kawan bicara. Lelaki itu duduk di kursi sambil melihat wajah putrinya yang terpejam. Sempat olehnya terbayang kenikmatan hidup jika nasibnya tidak seperti. Rahmat ingin sekali merasakan seperti halnya orang kota lainnya rasakan. Bekerja di kantor, pulang disambut oleh keluarganya lalu pada saat akhir hari pekan berlibur dengan mereka. Tapi itu adalah khayalan belaka. Ia harus tegar menerima kenyataan.

Siti berjalan sendirian. Ia sempat kebingungan mencari tempat yang dituju. Untung saja ada denah kecil yang tertempel di dinding-dinding rumah sakit. Peta itu sangat membantunya. Dan Siti bisa menemukan musholla yang ia harapkan.

Dinginnya air menyentuh kulit kusam wanita itu. Wanita yang tidak pernah menjumpai berbagai peralatan dan perawatan kecantikan. Kulitnya setiap hari hanya terolesi keringat yang dibuat oleh panasnya sinar matahari. Tapi ia tidak mempermasalahkan itu, kalau itu jalan yang dipilih Tuhannya, mau bagaimana lagi. Menurut gurunya saat di pesantren, terkadang takdir ada yang sudah ditetapkan Tuhan, manusia tinggal menjalankan dan mensyukurinya.

Siti mengelar sajadah yang sudah disediakan di mushalla rumah sakit. Batinnya berusaha dihadapkan ke Dzat yang mempunyai takdir. Dalam sujudnya rapalan hati terus diulangi agar Tuhannya mendengar. Didikan sejak kecil membuatnya percaya bahwa Tuhan tidak tidur. Ia selalu di samping makhluk-makhluknya. Setiap permintaan makhluk-makhluk kecil pasti didengar-Nya. Tinggal apakah Tuhan ingin mengabulkannya atau tidak itu terserah Tuhan.

Usai bermunajat kepada Tuhan lewat ibadah sunahnya, ia melirik jam yang berada di atas dinding. Jam menunjukkan pukul empat. "Lebih baik aku sekalian menunggu subuh saja," pikirnya.

Siti tetap duduk di tempatnya. Kedua mata Siti sebenarnya sangat lelah, hampir semalaman ia belum memejamkan mata untuk beristirahat. Masalah yang terjadi membuatnya harus selalu terjaga. Ia tidak mau sesuatu yang penting terlewat karena ia memejamkan mata. Dan itu alasan utama kenapa ia harus selalu terjaga.

Seorang lelaki paruh baya bersarung datang. Ia mengumandangkan adzan di tengah sepinya suasana subuh. Tidak ada yang menarik dari suara lelaki itu. Tapi entah mengapa ketika lafadz Tuhan keluar dari mulutnya hati Siti bergetar. Tubuhnya semakin lemas tak berdaya dan ingin segera menyerahkan hidupnya.

"Apa yang harus aku lakukan Tuhan?" gumamnya di tengah-tengah terkumandangnya adzan.

Beberapa orang menyusul datang. Baik laki-laki maupun perempuan. Baik tua maupun muda. Mereka datang dengan wajah kepasrahan. Wajah seorang hamba yang ingin berjumpa tuannya. Entah berjumpa hanya karena rindu atau berjumpa karena tak kuat dengan masalah, sama halnya dengan Siti.

Segala peribadatan di subuh itu telah Siti laksanakan. Ia keluar dari musholla dan kembali kepada suaminya. Siti menjumpai Rahmat sedang menyadarkan kepala di ranjang tidur Bella. Matanya terpejam. Dari wajah kusamnya tergambar sosok seseorang suami yang pekerja keras. Suami yang penuh tanggung jawab demi kebahagiaan keluarganya walaupun Tuhan tidak memihak dan membahagiakannya.

Siti merasa iba jika harus membangunkan Rahmat. Seketika ia ingat pesan gurunya, 'Kewajiban tetaplah kewajiban. Selagi tidak ada kedaruratan maka jalani dengan maksimal." Siti pun mencoba membangun Rahmat dengan. Menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.

"Jam berapa sekarang?" Rahmat terbangun lalu mengelap mukanya dengan tangan kanannya.

"Jam lima mas. Ayo subuh dulu."

Rahmat beranjak dari tempat duduk. Nyawanya belum terkumpul penuh. Terlihat jelas dari langkahnya yang sempoyongan. Namun, ia tetap berusaha menjalankan sebuah kewajibannya. Ia berjalan keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Siti dan Bella yang masih terlelap.

Kini tinggal Siti yang memejamkan matanya. Ia merasa tidak kuat lagi untuk membuka mata. Dan matanya harus ia istirahatkan sesaat.