Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, aktifitas kantor dihentikan sementara, helaan nafas rekan-rekan kerjaku terdengar bersamaan. Pak Jefri keluar dari ruangannya dengan tersenyum sambil mengajak kami semua untuk turun mengistirahatkan sejenak tenaga dan pikiran kami semua.
Aku baru saja akan melangkah keluar ruangan, saat Rivaldi menghampiriku dari belakang bersamaan dengan Pak Rusdi.
"Din, ayo temenin gua." Ucap Rivaldi, aku hampir saja lupa janjiku untuk menemaninya menuju basement.
"Makanya, tadi gua suruh cek dompet dulu, malah ntar ntar melulu," Pak Rusdi menyeletuk ke Rivaldi. "Maaf ya, Din. Gara-gara ni anak jadi ngerepotin lu juga."
"Hehehe, iya gak apa-apa, pak." Balasku.
"Hehe, maaf pak." Rivaldi dan Pak Rusdi tampak lebih luwes dalam berbicara, aku masih saja kaku dan formal kalau berbicara dengan Pak Rusdi.
"Ya udah, yuk lah buru, udah pada laper nih." Pak Rusdi langsung berjalan paling depan menuju lift, diikuti olehku dan Rivaldi.
Untuk sesaat, aku bisa melupakan sosok Bu Risma yang menyeramkan. Bergaul dengan teman memang sangat membantu. Lift dari lantai 47 ini hanya mampu membawa kami menuju lantai dasar. Kami berjalan menuju ruangan lain yang memiliki lift yang bisa membawa kami menuju basement.
Ada pekerja dari lantai lain yang juga ikut menuju basement, aku sedikit mendengar percakapan mereka, salah satu dari mereka terdengar sedang menyebut nama restoran dan yang lain seperti berdiskusi apakah mereka akan menuju restoran yang disebut atau tidak.
Sementara Rivaldi yang biasanya banyak omong, kali ini ia diam. Mungkin tidak mau mengganggu percakapan orang lain itu. Kami bertiga hanya diam sambil menunggu lift datang menjemput kami.
Tidak lama kemudian, lift tersebu tiba. Lift yang menuju basement ini sangat berbeda dengan lift utama yang biasa aku gunakan untuk ke lantai atas tempat kami bekerja. Kalau lift utama memiliki kesan mewah dengan wallpaper bermotif kayu, serta cermin besar yang sangat bersih di salah satu sisinya.
Lift yang menuju basement ini terkesan tidak dirawat, lantainya diberikan alas karpet seadanya, bulu dari karpetnya bahkan terlihat kasar, memiliki dinding lift dari besi pada tiap sisinya, beberapa bagian terlihat sedikit karat yang menempel pada dinding lift. Lamu di lift ini juga terbilang redup. Cukup untuk membuat seseorang merasa tidak nyaman jika naik lift ini sendirian di waktu malam hari.
Sulit dipercaya rasanya gedung semewah ini memiliki lift yang seolah tidak terawat. Saat lift sampai di basement, pintu terbuka secara perlahan menampilkan koridor berlantai motif kayu berwarna kuning menyala dengan dinding kaca membatasi koridor dengan tempat parkir mobil.
Seorang security terlihat sedang berjaga tidak jauh dari pintu untuk akses keluar-masuk. Ditemani metal detector dan alat keamanan lainnya, dia berdiri dan tersenyum memandangi kami. Kini kami telah sampai di tempar parkir mobil dan kami juga sudah berpisah dengan pekerja dari perusahaan lain. Kami bertiga hanya perlu mencari mobil Pak Rusdi.
"Din." Rivaldi tiba-tiba kembali bersuara.
"Ya?" Balasku.
"Waktu lu telponan sama Pak Jefri di rumah sakit, lu ngomongin mimpi buruk lu yang itu, kan?" Tanya Rivaldi
"Yang disamperin Bu Risma?" Aku memastikan.
"Iya." Balasnya.
"Oh iya, emang kenapa?" Jawabku.
"Pak Jefri ngalamin mimpi itu juga?" Dia kembal bertanya.
"Ya iya, mimpinya sama persis kaya mimpi yang gua alamin." Kataku menjawab pertanyaannya.
"Terus tadi lu ke ruangan Pak Jefri ngomongin soal itu?" Rivaldi kali ini benar-benar seperti wartawan.
"Iya." Jawabku singkat.
"Kepo banget lu. Nih udah sampe mobil," Pak Rusdi berceletuk "Jangan dibiasain kepo sama urusan orang begitu, ntar nyesel."
"Hehe, penasaran pak." Balas Rivaldi sambil tertawa kecil.
"Ya buru ambil dompet lu, sama tas lu aja sekalian biar gak bolak-balik." Pak Rusdi membuka bagasi belakang mobilnya.
Rivaldi langsung mengambil tas miliknya dan dia sibuk mencari dompetnya yang bersembunyi di balik pakaian kotor di tasnya.
"Ada gak dompetnya?" Kata Pak Rusdi.
"Bentar, dicari dulu." Rivaldi mulai mengeluarkan satu per satu isi tasnya untuk mencari dompet miiliknya.
Mengenai basement, tempat ini terlihat sama saja dengan basement di tempat lainnya. Tidak ada yang spesial sama sekali kecuali mungkin lift untuk menuju ke basement saja yang terlihat menyeramkan dan membuat orang tidak nyaman.
Mobil Pak Rusdi diparkir cukup jauh dari pintu masuk koridor yang tadi kami lewati, dan akhirnya setelah cukup lama Rivaldi mencari dompetnya, dia berhasil menemukannya. Dengan asal-asalan dia menaruh kembali isi tasnya yang sebelumnya telah ia keluarkan.
"Udah ketemu, kan? Yuk langsung aja ke atas biar cepet makan." Ajak Pak Rusdi.
"Yuk." Ucapku bersamaan dengan Rivaldi.
"Nah, ini ada lift. Lewat sini aja, Pak." Rivaldi menunjuk sebuah lift yang berada di pojok basement, di depan lift tersebut ada seorang security yang berjaga sendirian dengan handy talkie di tangannya.
Entah kenapa, aku merasakan tidak nyaman melihat lift itu dari luar, seperti aneh rasanya. Tapi memang lift ini lebih dekat dibanding lift yang kami gunakan untuk menuju basement. Aku juga merasa aneh karena sebelumnya, aku tidak melihat ada lift di sana. Aku juga tiak melihat adanya security yang berjaga. Yah, mungkin saja karena aku terlalu asik mengobrol dengan Rivaldi.
Kami berjalan melewati security tersebut, aku melihat ke arahnya sambil sedikit menundukkan kepala. Aku melihat ekspresi wajah security tersebut yang melihatku dengan sinis, seolah tidak suka. Mungkin dia salah satu yang terlibat ada malam kejadian di bekas ruangan resepsionis, namun aku tidak mengingat wajahnya.
Rivaldi menekan tombol dan seketika pintu lift terbuka. Lift ini sama saja dengan lift yang kami gunakan sebelumnya, jauh dari kesan mewah, Aku masuk terakhir dan langsung menekan tombol ke lantai dasar.
Rivaldi terlihat sedang mengamati lift ini dan kemudian ia bersuara.
"liftnya kaya gak kerawat, kaya yang kita pake buat turun." Katanya.
"Mungkin karena jarang ada yang pake, jadi perawatannya lebih difokusin ke tempat lain." Balas Pak Rusdi.
"Bisa jadi sih." Sahutku.
"Tapi bikin gak nyaman juga ya." Lanjutku lagi.
"Iya sih. Ya udah lah," Sahut Pak Rusdi. "Omong-omong, kok lama banget ya?"
Tanpa aku sadari, memang benar kalau lift yang kami gunakan rasanya bergerak dengan lambat. Apakah karena kualitas liftnya? Baru saja aku berpikiran seperti itu. Pintu lift terbuka, terlihat melalui layar indikator di bagian atas pintu kalau kami sudah sampai ke lantai dasar. Namun, pemandangan yang muncul benar-benar berbeda.
Kita disambut dengan koridor lagi, koridor ini bahkan lebih sempit dibandingkan koridor yang ada di basement. Kami keluar dari lift dengan terheran, Pak Rusdi yang paling senior bahkan bingung melihat koridor ini.
Di sebelah kanan koridor terdapat pintu dengan kaca tembus pandang di atasnya, dan terlihat kalau koridor ini tersambung dengan sebuah ruangan yang sangat gelap, sepertinya tidak ada lampu di ruangan itu, sebelah kirinya terdapat dua ruangan toilet dengan gambar laki-laki dan perempuan di masing-masing pintu.
Di koridor ini juga terdapat peralatan yang tampak sudah lama tidak terpakai, CCTV juga tidak terpasang di dalam sini. Pak Rusdi mencoba membuka pintu yang ada di sebelah kanan. Namun, usahanya sia-sia. Dia terlihat sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi pintunya tidak bergeming.
Aku dan Rivaldi mencoba membantu Pak Rusdi, tapi hasilnya tetap sama saja. Pak Rusdi mundur perlahan dan berusaha mendobrak, sayang pintu tersebut masih tidak bisa terbuka. Rivaldi mendekatkan kepalanya ke kaca yang terdapat di pintu, namun dia blang kalau dia hanya bisa melihat kegelapan, tidak terlihat apa pun di balik pintu tersebut.
Aku justru malah penasaran dengan dua ruangan toilet yang ada. Biasanya ruangan toilet diberikan pencahayaan yang terang, berbeda dengan toilet ini, pencahayaannya sangat redup, dengan cahaya lampu yang berwarna oranye, ditambah cat temboknya yang berwarna krem menambahkan kesan suram yang semakin terasa.
Aku masuk ke toilet laki-laki dan terlihat dua bilik di dalamnya, sebuah wastafel dengan cermin besar diatasnya. Saat aku memasukinya, aku menyadari kalau hampir seluruh bagian toilet ini sungguh kotor dan tidak terawat. Merasa tidak nyaman, aku keluar dari toilet laki-laki, dan mengintip ke toilet perempuan yang ternyata juga sama saja.
Aku melihat ke arah Pak Rusdi dan Rivaldi, mereka terlihat bingung dan ekspresi wajah ketakutan sedikit terlihat dari wajah Rivaldi.
"Dimana kita?" Ucap Rivaldi dengan suara gemetar.