Dalam perjalanan pulang menuju ke mansion-nya. Di dalam mobil, Raphael sedang melamun, dan keheningan di dalam mobil tersebut membuat seorang wanita dewasa yang duduk di sebelahnya menghela napas lembut.
Audrey mengulurkan tangannya, meraih tangan Raphael dan meremasnya, "Raph..."
Panggilan lembut itu membuat Raphael menoleh pada istrinya yang kini menatapnya penuh kelembutan, "Hmm... Ada apa?" tanyanya.
Audrey menggeleng, dan tarikan ringan di bahunya, membuat Audrey jatuh ke dalam pelukan Raphael. "Maaf... Membuatmu khawatir, Sayang."
"Tidak apa-apa... Aku tahu apa yang membuatmu seperti ini Raph. Dan aku akan kembali mengatakan ini padamu, tidak ada siapapun yang salah disini, tidak kau, tidak Kenneth, tidak Louis, maupun gadis itu. Jadi... Kumohon, berhenti menyalahkan dirimu sendiri." kata Audrey sambil membelai dada Raphael yang berdegup keras. Seolah-olah suaminya itu bisa kapan saja mengalami serangan jantung jika terus-terusan dengan kondisi gelisah seperti ini.
Raphael menunduk, mencium rambut pirang Audrey," Kau tahu."
Audrey terdiam, dan keheningan itu membuat Raphael mendesah lebih keras lagi.
"Kejadian itu tidak bisa aku lupakan begitu saja..."
"... Dan begitu pula aku Raph." Audrey menimpali.
Yang mereka ingat pada waktu kecelakaan itu terjadi, gadis itu tidak pernah beranjak sekalipun dari bangsal putra bungsu mereka.
Tapi kebencian dari mengetahui putranya dalam kondisi hampir mati, karena disebabkan tidak langsung putranya dalam menyelamatkan gadis itu tetaplah tidak bisa mereka abaikan. Dan semua amarah yang mereka rasakan, Audrey menyalahkannya pada gadis itu. Terus mengusir kedatangan gadis itu yang setiap hari gigih untuk datang melihat putra bungsunya. Meski betapa kejamnya mereka memperlakukan gadis itu, gadis tersebut tidak pernah berhenti datang.
Mereka bersikukuh memegang kebencian dan tak henti-hentinya melontarkan hinaan pada orang yang tidak bersalah. Tidak sampai putra sulungnya memberitahu mereka kebenarannya, Audrey dan Raphael yang sangat membenci gadis itu selama ini, ternganga shock dan Audrey pun pingsan dari tempatnya duduk.
Mengingat ketololan mereka di masa lalu, membuat Audrey dan Raphael bersedia berlutut di depan gadis yang mereka sakiti hanya untuk mendapatkan maafnya.
Kebencian tak berdasar itulah yang membawa perasaan bersalah seumur hidup pada keluarga Wayne sampai sekarang.
"Keluarga Wayne berhutang sangat besar pada gadis itu. Kalau bukan karenanya, mungkin kita sudah kehilangan Kenneth. Aku tahu tidak seharusnya bersikap seperti itu padanya dulu, keegoisan kita nyatanya hanya menabur banyak luka."
Audrey mendengarkan dalam diam. Beberapa kejadian di dalam rumah sakit melintas di kepalanya, tangisan, ratapan putus asa, permohonan egoisnya pada gadis yang berurai air mata, Audrey sangat jelas mengingatnya. Seakan-akan dirinya masih bisa merasakan keputusasaan gadis itu yang terakhir kalinya dia lihat. Senyum sedih dan mata hancur itu tidak akan pernah bisa dia lupakan.
Itu sebabnya bukan hanya Raphael yang terkejut, dirinya pun tak kalah terkejut melihat perbedaan gadis itu yang kini tumbuh dewasa dan juga berubah cacat.
"Menurutmu, apakah kecacatannya karena kecelakaan itu?"
"Ya... Aku sudah bertanya pada Sam."
Tubuh Audrey tegang, kaku di dalam pelukan Raphael. Informasi ini terlalu banyak untuk dia rasakan, belum selesai rasa bersalah di hatinya, dan kini harus bertambah dengan kenyataan mencengangkan dari keadaan gadis itu.
Dengan bibir bergetar Audrey bertanya pada Raphael yang wajahnya mengetat, "Apakah... Apakah itu cacat permanen Raph. Bisakah gadis itu berjalan normal lagi?"
"Tidak bisa berjalan normal lagi."
Hanya itu, dan Audrey merasa bahwa kehidupannya terrenggut persis seperti waktu itu.
Tidak. Tidak.
Gadis itu tak layak menjadi begini. Bagaimana mungkin gadis baik sepertinya mengalami kemalangan terus menerus seperti ini. Bagaimana mungkin takdir sangat kejam pada gadis itu?
Dan.... Bagaimana bisa aku melakukan semua itu padanya.
Audrey menatap tangannya yang kini gemetaran.
"Aku menamparnya, menyakiti gadis itu dengan tangan ini." Dan suara keras dari tamparan itu kini berdengung di kepalanya, makian demi makian pun terasa jelas di telinganya. Rasa panas dari tamparan yang mengenai pipi gadis itu yang masih di perban, menyengat kulit tangannya yang tidak berhenti gemetaran.
Dan kebencian untuk dirinya sendiri bertambah.
"Hentikan!" Raphael buru-buru meraih tangan istrinya yang diremas sedemikian rupa sampai tangan pucat istrinya berubah merah.
Audrey terisak di dalam pelukan Raphael. "Aku menyesal... Aku menyesal Raph."
Raphael tidak pernah tahu keadaan gadis itu setelah tahun-tahun kelabu di masa lalunya.
Kepergian gadis itu yang menghilang dari rumah sakit tiba-tiba, merupakan tanda tanya besar yang belum dirinya ketahui sampai saat ini.
Raphael tidak memikirkannya terlalu jauh, karena meski betapa inginnya dia meminta maaf, dirinya tak bisa menemukan keberadaan gadis itu lagi.
Lalu dia pun mulai melupakan gadis tersebut, terus hidup dengan perasaan bersalah karena pernah menyakiti orang, dan fokus pada pekerjaannya, pada kedua putranya, pada istrinya. Setidaknya dengan begitu, rasa sesak di dadanya bisa teralihkan jika dia menyibukkan dirinya.
Dia tahu bukan hanya dirinya saja yang hidup dengan kebohongan seperti itu, istrinya, dan Louis pun melakukan hal yang sama.
Rasa bersalah yang menumpuk itu nyatanya tidak pernah enyah meski mereka terus berpura-pura untuk tidak mengingatnya.
Tidak setelah malam ini, kalau gadis yang duduk di kursi roda dan menghampirinya dulu adalah wanita yang sama yang malam ini dilihatnya kembali dengan keadaan cacat.
Kejadian kelabu itu bukan saja menorehkan luka pada keluarga Wayne, tapi juga merrenggut impian besar seorang gadis berbakat.