Suara ketukan dari luar kemudian terdengar, sangat cepat. Dan seorang pria berkacamata, perawakan tinggi besar, masuk dengan kepala menunduk.
Kenneth menegakkan punggungnya, menatap tajam pada sekretarisnya, "Kau melakukannya lagi, Clay Cohn! Sudah berapa kali kubilang, jangan memutuskan Jadwalku seenaknya! Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, kembalilah, pergi ke kantor Louis dan bekerja saja untuknya. Aku tidak butuh pegawai yang tidak mau menurut padaku!"
Clay meneguk ludah kasar. Tidak berani mengangkat kepalanya.
"Tidak, Mr. Kenneth. Tidak akan saya lakukan lagi, saya berjanji pada Anda untuk berdiskusi terlebih dulu mengenai jadwal Anda ke depannya."
Daripada kembali menjadi bawahan Louis Wayne yang menurutnya tak berperasaan, Clay lebih bersedia menjadi bawahan Kenneth. Yang meskipun bosnya ini begitu sangat disiplin dan tidak menoleransi sedikit pun kesalahan, Kenneth lebih manusiawi dalam memberi hukuman.
Tidak seperti Louis yang tidak segan membunuh bawahannya sekalipun. Dan Clay sudah melihat kediktatoran saudara Kenneth ini dengan mata kepalanya sendiri.
Mana ada orang normal akan baik-baik saja, setelah melihat kawannya sendiri diiris tangannya dan kau tidak merasakan apapun.
Itulah alasannya, Clay yang baru saja keluar dari psikiater langsung di pindahkan oleh Louis ke perusahaan Kenneth, menjadi sekretarisnya.
"Ini yang terakhir Clay. Aku akan langsung menendangmu dari kantor ku kalau masih berbuat salah lagi. Batalkan wawancara dengan pihak Fortune, kembalikan pertemuannya di jadwal semula. Kalau pihak mereka menolak, tak usah setujui proposal apapun dari mereka di masa mendatang." perintah Kenneth dengan dingin dan ekspresi datar.
"Suruh Shawn langsung masuk kalau dia datang. Kau bisa keluar." tambah Kenneth kemudian.
Clay membungkuk mengiyakan, lalu keluar dari ruangan Kenneth dengan keringat dingin membasahi kemejanya.
Kenneth memijat hidung mancungnya, beberapa hari ini setelah dirinya pergi ke Amsterdam, moodnya menjadi sangat buruk.
Setiap kesalahan kecil dari bawahannya, sering kali dia permasalahkan. Kenneth menyadari suasana kantornya yang biasanya tidak sesuram ini adalah karena ketidak-profesinalannya yang mencampuradukkan pekerjaan dan masalah pribadinya.
Suara pintu di ketuk kemudian terdengar, dan Shwan yang kelihatan kurang tidur masuk ke dalam ruangan Kenneth.
Kenneth langsung berdiri dan membawa Shawn yang muram ke sofa abu-abu yang berbentuk L.
"Apa kau sudah mendapatkannya?" tanya Kenneth tanpa basa-basi.
Shwan menatap Kenneth tajam, "Sebagai tuan rumah etikamu dalam menyambut tamu sangat buruk sekali. Setidaknya suguhkan aku minuman Ken, yang dingin kalau ada."
Kenneth menyilangkan tangannya di dada, mengangkat alisnya dengan raut tidak bahagia, "Sejak kapan bawahan sepertimu berani-beraninya menyuruh-nyuruh bosnya sendiri mengambilkan minum!"
Shwan mengumpat, "Siapa juga yang mau jadi bawahanmu. Aku ini CEO di perusahaanku sendiri, kalau kau lupa Kenneth Wayne. Kalau bukan karena aku kasihan padamu, mana mungkin aku bersedia kau suruh-suruh begini."
Kenneth mengangkat bahu tidak peduli. Lagipula dia hanya becanda tadi.
Kenneth mengambil minuman soda yang dingin, melemparnya pada Shawn yang untungnya berhasil di tangkap dengan mudah.
Kenneth duduk bersandar sambil menyilangkan kakinya dan menatap Shawn serius, "Jadi... Informasi apa saja yang sudah kau dapatkan mengenai Bella, Shawn Anderson."
Shawn mengeluarkan berkas-berkas, sebuah disk drive, flashdisk, dan tiga album photo sekaligus, menyerahkan semuanya pada Kenneth.
Mata abu-abu Kenneth tertarik pada album photo yang bersampul ungu di atas meja. Tangannya yang ramping pucat mengambil foto itu, lalu meneliti sebuah tulisan di atas album foto tersebut, Memorial Bella Ellista.
Bella!
Shawn berdiri, mengambil laptop Think Pad yang ada di atas rak berpelitur rumit dan membawa laptop berwarna hitam tersebut kembali ke tempatnya duduk.
Kenneth membuka album foto itu, dan wajah seorang gadis yang masih bayi berusia tiga tahun tersenyum padanya, menggemaskan sekali. Tanpa sadar bibirnya pun menarik sebuah senyuman juga.
Shawn mengambil sebuah disk, menekan tombol eject pada laptop, dan memasukkan disk itu ke dalam baki drive yang terbuka.
Sebuah instrumen musik kemudian terdengar, menyelimuti pendengaran lelaki dewasa itu dengan santai dan lembut.
Kenneth melirik ke arah Shawn, bertanya-tanya apa maksudnya menghidupkan instrumen klasik itu di momen begini.
Shawn memutar sebuah kliping video yang diberinya judul Skater Jeonsa dan meletakkannya di depan Kenneth, dan wajah gadis yang dilihatnya di album foto muncul di dalam video yang baru saja diputar oleh Shawn.
"Lihat sampai habis, Ken. Baru setelah kau selesai menonton, aku akan menceritakan semuanya padamu, apa yang aku ketahui." jelas Shawn, lalu tangannya sibuk memilah berkas-berkas yang tadi dibawanya. Dengan alis mengernyit karena bingung, Shawn tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan kisah Bella pada Kenneth.
Video yang terputar di dalam laptop sepenuhnya menarik atensi Kenneth, matanya bersinar cerah dan decakan kagum terus dia lontarkan dari bibirnya yang sexy.
Setengah jam kemudian, setelah video yang berisi klip pendek yang sudah di edit kemudian disatukan menjadi video berdurasi panjang seperti sebuah film dokumenter itu berakhir, Kenneth belum berhasil pulih dari kekagumannya pada bocah di dalam video, "Sangat cantik sekali, amat sangat cantik. Tadi itu luar biasa sekali." gumam Kenneth tak henti-hentinya memuji pertunjukan spektakuler barusan.
"Apa itu Shawn?" tanya Kenneth kembali menegakkan punggungnya.