Chereads / How Can I Forget You? / Chapter 12 - Perasaan Gelisah

Chapter 12 - Perasaan Gelisah

Di ruang keluarga bergaya Renaissance, vas bunga antik berdiri di beberapa sudut ruangan, adapun pajangan dari marmer dan lukisan menghiasi dinding, yang paling mencolok dari ruangan itu tak lain adalah lampu kristal yang tergantung di atas, dikombinasikan dengan desain interior klasik berseni tinggi. Rumah William sepenuhnya menggambarkan identitas pemilik itu sendiri yang hedonis.

Duduk di sofa yang dekat perapian, keluarga Wayne berkumpul bersama keluarga Calgary, kedua keluarga itu tampak akrab dengan William sebagai penghubung antara pria beda usia yang baru saja berkenalan.

"Aku akan pergi keluar menyambut tamu yang lain, Sam, Raphael. Nikmati waktu kalian, aku harap pesta sederhana ini menyenangkan buat kalian." pamit William yang kini pergi ke aula pesta, meninggalkan kedua keluarga yang tampak canggung di kursi masing-masing.

Shawn yang mulai bosan dengan keheningan itu, bangkit juga.

"Mau kemana kau?" tanya Kenneth dengan alis terangkat.

Shawn mendengus, melirik Kenneth tak sabar, "Menjemput Kayla. Gadis ku sudah datang, dan sekarang ada di aula. Kenapa? Kau mau ikut?"

"... Jangan. Aku tidak mau kau mengganggu kami." tambahnya lagi saat dilihatnya Kenneth akan bicara.

Kenneth menyilangkan tangannya di dada, alisnya terajut main-main, saat mata abu-abunya yang tajam menatap ceroboh pada Shawn, siap mengejeknya,"Kau tahu itu percuma, Kayla tetap akan menggelayut padaku, saat gadis mu itu melihatku nantinya. Kau tahu sendiri bagaimana Kayla berharap kalau aku-lah yang menjadi kekasihnya. Bukan kau, Shawn Anderson."

Shwan mengerang jengkel mendengar Kenneth kembali mengejek kelemahannya. Ingin rasanya dia meninju mulut Kenneth yang tak tahu malu itu." Sikap narsismu ini sudah sangat kronis, Kenneth Wayne. Kayla hanya bercanda saat dia membandingkanmu denganku dan itulah kebenarannya, aku yang berhasil mengencaninya bukan dirimu."

Kenneth mengangkat bahunya acuh, mengusir Shawn dengan mulutnya, "Husss... Pergilah."

Bagaimana bisa aku betah berteman dengan orang seperti ini, keluh Shawn tidak habis pikir akan kebodohannya dulu.

****

Bella yang juga duduk di dalam ruangan itu, sangat gelisah, jantungnya terus berdebar kencang karena kerinduan.

Ingin sekali dirinya mendekati Kenneth, dan bertanya apakah sungguh-sungguh tidak ada kemajuan sama sekali dengan ingatannya.

Namun pikirannya dengan tegas menolak ide konyol tersebut. Bagaimanapun dirinya hanya orang asing di hadapan Kenneth sekarang, tidak lebih, dan dirinya tidak memiliki alasan untuk beramah tamah pada Kenneth ataupun keluarga Wayne yang lain.

"Kau baik-baik saja? Wajahmu tampak pucat." tanya Sean, sambil mengulurkan tangannya mengelus pelipis Bella yang berkeringat.

Tidak, Sean, aku tidak baik-baik saja. Bertemu dengan mantan kekasih yang tidak ingat diriku lagi, apa kau pikir aku akan baik-baik saja. Suara hati Bella ingin meneriakkan ini pada Sean, memberitahunya.

Namun tidak dia lakukan, Bella sadar keegoisannya selama ini terhadap Sean, sudah banyak menyakiti lelaki itu. Meski Sean terus menerus bersikap sabar dan memaklumi, tapi dirinya tidak bisa demikian. Tidak bisa menutup mata dengan segala kepedulian Sean padanya.

"Kupikir aku butuh udara segar. Mau keluar sebentar dulu, bolehkah?"

"Tidak butuh kutemani?"

Bella menggeleng, "Tidak. Aku ingin sendiri."

"Kau yakin?" tanya Sean lagi sedikit khawatir.

"Ya." jawab Bella, meyakinkan Sean kalau dirinya saat ini memang membutuhkan ketenangan dan dia ingin sendirian.

Bella bangun dengan Sean membantu mengambil kruknya dan menyelipkannya pada Bella.

"Terima kasih." kata Bella tersenyum.

"Aku akan menyusulmu kalau kau lama berada di luar, Bell." kata Sean mengingatkan.

"Aku tahu."

Lalu Bella keluar dari sana setelah sebelumnya memberitahu Sam, yang untungnya Sam sedang sibuk berbincang masalah bisnis dengan Raphael.

Sean yang terus melihat Bella pergi dengan pandangan khawatir dimatanya, tidak luput dari mata Kenneth.

Sebagai seorang pebisnis di Eropa, dan sering muncul di stasiun televisi maupun majalah bisnis. Kenneth tidak asing lagi dengan Sean O'Pry.

Meski mereka tidak pernah terlibat dalam tender bersama, tapi karena dia juga mengenal seorang rekan dari Indonesia yang kebetulan pernah mengungkit soal Sean, sedikit banyak dirinya mulai tertarik untuk tahu, seperti apa orang yang katanya memiliki kemujuran dalam berinventasi itu.

"Kau sangat perhatian padanya."

Sean yang baru saja mengambil ponselnya yang terus bergetar, menoleh pada suara yang tiba-tiba di depannya.

Kenneth Wayne!

Sean tersenyum pada pria yang tampak seumuran dengannya itu ramah. Kepalanya mengangguk saat Sean membenarkan ucapan Kenneth," Dia orang yang sangat berarti buatku, tentu saja aku sangat perhatian padanya."

"Aku tidak menyangka Anda mau berbicara lebih dulu Mr. Wayne."

Kenneth mengangkat dagunya, menatap mata cokelat Sean yang tampak dipenuhi kebahagiaan, dengan kernyitan alis tidak puas. "Jangan terlalu percaya gosip diluaran sana, Mr. O'Pry. Kadang-kadang berita luar terlalu banyak kebohongan yang ditambahkan daripada kebenarannya."

"Saya setuju. Maka dari itu saya perlu mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak terlalu mempercayai berita-berita diluaran sana." kata Sean masih dengan senyum lembut di bibirnya.

"Siapa gadis itu?" tanya Kenneth kembali pada topik awal pembicaraan mereka.

"..." Sean terdiam, tidak menjawab kali ini. Senyum ramahnya juga menghilang, diganti dengan raut waspada.

Instingnya tidak pernah salah, dia bisa melihat ketertarikan yang sangat kuat membakar mata pria dewasa di hadapannya itu.

"Aku akan keluar mengangkat telepon ini sebentar." beritahu Sean menghindar pertanyaan selidik Kenneth padanya dengan sopan.

"Kenneth Wayne, senang bisa bertemu langsung dengan Anda. Saya..."

Kenneth tidak menunggu selesai Masha yang bicara padanya, saat dia beranjak dari kursinya.

"Ken..." panggil Audrey kaget, tidak mengharapkan sang putra menjadi tidak sopan begini.

Kenneth hanya melirik sebentar pada Audrey, dia menunduk mencium dahi mamanya penuh sayang, "Not now, Mom."

Audrey menghela napas kasar, menatap pada Stacy dan Masha yang terlihat cemberut dan tampak sangat terhina. "Maafkan atas sikap anakku, Stacy, Masha."