"Jauhkan tanganmu dari gadisku, Mr Wayne." perintah Sean dingin.
Sean menarik paksa tangan Bella yang tergantung di sisi tubuhnya kasar, menyebabkan limbung pada tubuh Bella karena tindakannya.
Tapi Sean terlalu terbakar cemburu untuk menyadari kekerasannya barusan.
Pelukan Sean di perutnya yang kuat menekan Bella, membuat Bella terpekik dengan suara tercekik. "Sean... Aku bisa muntah kalau lenganmu menekan ugh.. perutku seperti ini." kata Bella sambil mencoba melonggarkan lengan Sean yang kuat, tapi tenaganya terlalu kecil untuk menghentikan Sean yang sepertinya akan meremukkan isi di dalam perutnya.
Kenneth merasakan kekosongan dari keberadaan seseorang yang diambil dari pelukannya. Kekosongan yang sangat tidak menyenangkan buatnya.
Kedua pria dewasa itu saling berpandangan dengan mata tajam. Saling memperingatkan melalui tatapan tajam masing-masing, kalau mereka bersedia melakukan apapun untuk orang yang mereka cintai. Bahkan jika tangan mereka harus berlumuran darah sekalipun.
Kenneth menendang kaki Jovan yang tak sadarkan diri, memberitahu Sean, "Aku membantu gadismu dari bajingan ini, Mr. O'Pry. Asal kau tahu."
Sean menggertakkan giginya, sambil terus menatap dingin pada Kenneth, "Dan yah, terima kasih atas bantuannya Mr. Wayne. Tapi aku tidak menduga kalau kau menjadi orang yang seperti ini, mengambil keuntungan dari orang yang kau tolong. Kupikir, gosip tentangmu yang suka memaksa wanita ke atas ranjang benar adanya ya!" ucap Sean sarkas. Penghinaan dari matanya diacuhkan oleh Kenneth.
Mata abu-abunya yang berkilat sedingin es berpindah, melihat pada tangan Sean yang memeluk Bella dari belakang." Kau menyakitinya." tunjuk Kenneth dengan dagunya yang terangkat, memberitahu Sean yang tidak merasakan perjuangan dari tangan Bella yang mencoba melonggarkan pelukannya.
Bella dengan punggung menempel erat di dada bidang Sean dan wajah menghadap Kenneth, terus mendengarkan kedua lelaki itu saling beradu mulut.
Bella mengatupkan rahangnya, ketegangan dan suasana beku dari kedua pria dewasa itu sudah berhasil membuat tubuhnya menggigil.
Sean mengalihkan matanya, menunduk, bertanya pada Bella dengan suara lembut penuh perhatian, "Kau tidak apa-apa, Bell!?"
"Tidak.... Maksudku ya, aku baik. Kalau kau mau melonggarkan lenganmu yang menekan perutku, aku bakal tidak apa-apa."
Sean menurut, melonggarkan pelukannya, kemudian menopang tubuh Bella berdiri tegak, "Di mana tongkatmu?"
Dan tongkat yang dicari Sean terulur dari tangan Kenneth.
Sean mengambilnya tanpa mengatakan terima kasih, lalu menggiring Bella pergi dari balkon, meninggalkan Kenneth dengan raut datar di tempatnya berdiri.
Bella menghela napas pelan, keterdiaman Sean membuatnya tidak nyaman.
"Kau... Melihat... Itu, aku." tanya Bella tergagap, kata-katanya yang tidak jelas tetap bisa dipahami Sean. Tapi Sean memilih tidak mau mendengarnya.
"Aku tidak mau dengar. Bisakah, jangan membahas masalah ini di masa depan, aku tidak mau mengingatnya."
Bella terdiam.
"Ya, baiklah." matanya redup saat Bella menatap lantai di bawah.
Melihat Bella yang tampak berjalan dengan linglung, Sean mendesah lelah, Hahh!
"Perhatikan jalanmu, Bell." kata Sean mengingatkan.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, beberapa orang yang hadir di pesta William mulai sedikit berkurang.
Sepertinya keluarga William sendiri tidak memiliki kebiasaan mengadakan pesta sampai tengah malam sebagaimana orang-orang pebisnis sepertinya biasa lakukan.
Sean yang bersandar di sofa panjang dengan Bella yang tertidur di bahunya, mengelus rambut panjangnya yang halus dengan lembut.
Kebiasaan Bella yang tertidur tidak sampai melewati pukul 10 malam, sudah diketahuinya saat dia mulai mengenal lebih jauh Bella.
Tadi, dirinya sangat marah sekali. Dan dengan sengaja mendiamkan gadisnya yang mencoba meredakan amarahnya.
Selalu seperti ini, meski betapa Sean marah pada Bella, dirinya tidak bisa lama-lama marah pada gadis yang dicintainya. Dia tidak akan pernah tahan, melihat raut wajah terluka Bella di depannya.
Bella, apa yang harus aku perbuat padamu, agar kau bisa menerima perasaanku?
Walau Sean berkata tidak apa-apa, tapi hatinya yang kecewa tidak bisa dibohongi. Dirinya sudah cukup menerima sikap pasif Bella akan rasa sukanya.
Dan dia pun tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak bersikap egois dari mendapatkan Bella. Tubuhnya, hatinya, dan jiwa gadis ini, Sean terobsesi ingin memiliki semuanya.
Aku takut akan menyakitimu nantinya, Bell!
Raphael sesekali melirik ke arah gadis yang tertidur di bahu seorang pria muda yang dia ketahui bernama Sean.
Dilihat dari betapa dekatnya mereka, Raphael pikir keduanya adalah sepasang kekasih. Tidak sampai dia mencoba memancing pembicaraan mengenai bisnisnya bersama Sam dengan sedikit mengorek kehidupan pribadi Bella, akhirnya dia tahu kalau keduanya hanya bersahabat dekat.
Yang entah mengapa membuat dirinya sedikit menghembuskan napas lega karena mengetahui bahwa Bella masih sendiri dan belum terikat dengan siapapun.
"Sam, maaf kalau pertanyaanku terdengar cukup lancang dan tidak pada tempatnya. Kau boleh mengabaikan pertanyaanku ini jika dirasa membebani dirimu." Ucap Raphael sambil menyilangkan kakinya dengan kedua tangan terjalin diatas paha.
Sam meletakkan cangkir kopinya di atas meja, kemudian menatap Raphael dengan pandangan bertanya-tanya.
"Bella, apakah dia benar-benar cacat karena kecelakaan yang dialaminya pada masa remajanya?" tanya Raphael sambil melirik wajah Sam yang berubah kaku dikursinya.
Sam yang sedaritadi tersenyum saat mengobrol dengan Raphael, langsung terdiam mendengar pertanyaan pria dewasa yang lebih muda darinya itu.
"Kau boleh tidak menjawabnya Sam, aku hanya sedikit penasaran soal putri bungsumu." tambah Raphael menyanderkan tubuhnya serileks mungkin, seakan apapun pilihan Sam untuk menjawab atau tidak pertanyaannya bukanlah hal yang penting buatnya.