"Dek." sapa kak Alan.
Dia melangkah menghampiri ku kedalam kelas, saat ini istirahat pertama sedang berlangsung. Tumben banget dia main ke kelas, mungkin karena tak melihatku keluar kelas seperti biasanya.
"Kenapa kak?" Tanyaku tepat saat dia sudah duduk di depanku.
"Nggak ada apa-apa kok, nggak laper? Kok nggak keluar,"
Aku menggeleng pelan, "nggak laper kak, lagi males keluar juga. Kak Alan sendiri kenapa nggak ke kantin, kok malah kesini,"
"Kenapa? Nggak boleh ya." ucapnya.
"Bukan, boleh-boleh aja sih. Tapi biasanya kan kakak nongkrong sama temen-temen, kok sekarang malah disini. Nggak dicariin temennya emang?" jelasku.
"Aku bukan anak kecil kali Ra, ngapain mereka nyariin," dia terkekeh, "Lagi pula dari tadi aku nungguin kamu, tapi nggak ada keluar. Untuk itu, sekarang aku ada disini."
"Terus mau ngapain disini? Aku lagi sibuk nyalin catatan ini." Ucapku sambil mengangkat sebuah buku.
"Ya nggak apa-apa, aku temenin." jawabnya.
Aku hanya geleng-geleng. Yang ada nggak bakalan cepet kelar, di gangguin ya, iya. Dia kan paling nggak bisa duduk diam dengan tenang, pasti ada aja usilnya.
Mana percaya kalo cuma bakalan nemenin dengan duduk anteng, mustahil banget!. Orang petakilan kayak dia tuh nggak bakalan bisa kek gitu.
Belum sampai 5 menit diam, kak Alan sudah mulai mengeluarkan suara, dia bercerita tentang banyak hal, aku sendiri sampe pusing dengernya. Kan, dari awal aku sudah bilang, dia itu nggak bakalan bisa duduk diam. Meskipun diam, tapi itu hanya beraku untuk tubuhnya saja sedangkan mulutnya tetap bakalan berceloteh.
Karena masih sibuk mencatat, aku tak banyak menanggapinya, paling hanya mengangguk dan bergumam nggak jelas. Seolah-olah diriku cuma duduk sendirian, dan tak ada dirinya dihadapan ku.
Aku membolak-balik halaman buku, melihat seberapa banyak lagi yang perlu ku tulis, hingga akhirnya fokus ku teralihkan pada suaranya yang terdengar heran. "Loh? Dek---" interupsinya.
Seketika aku mengalihkan pandangan dari buku ke dia, aku melihatnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa?
Tiba-tiba dia memegang tangan kiriku yang tadi kugunakan untuk membolak-balik halaman buku, memperhatikannya dengan seksama. Em, lebih tepatnya dia melihat jari manis ku yang terdapat cincin melingkar disana. Aku diam mematung, apakah dia menyadarinya?
"Ke-kenapa kak?" tanyaku hati-hati.
"Ini beneran cincin kamu?"
Aku diam tak menjawab pertanyaannya.
"Kok, beda sama yang kakak kasih dek." sambungnya.
Aku meringis melihatnya, "hehe, em ma-maaf kak. Ini, em bukan yang kakak kasih." ucapku pelan dengan menunduk.
Seketika dia melepaskan pegangannya pada tanganku.
Sontak aku langsung mendongakkan kepala, melihatnya yang tiba-tiba berdiri tegak. Dan pasti kalian tau sendiri apa yang terjadi selanjutnya.
Ya, dia langsung berjalan cepat, keluar dari kelasku, meninggalkan diriku yang penuh dengan pertanyaan. Apakah dia marah padaku?
Aku menepuk jidatku. Bodohnya, aarrrggghhh.
🍂
"Ya ampun Meira," potong Ira, "jadi waktu itu, cincin yang kamu tuker sama aku, kamu dapat dari Alan?," Aku hanya mengangguk.
"Bodoh banget sih." sambungnya.
"Ya, aku mana tau kalo dia bakal semarah itu. Lagian yang aku tau, dia nggak pernah marah sama sekali padaku." ucapku.
"Ya di lihat-lihat dulu doang Ra, keadaannya. Barang berharga dari dia sembarangan kamu tukerin, udah pasti marah besar lah." kali ini Kia ikut mengomel.
Okey, aku salah, aku diem.
"Terus, kamu nggak ngejelasin apapun sama dia?" tanya Ira.
"Boro-boro jelasin, aku samperin aja dia ngehindar" jawabku.
"Lalu?"
"Ya, gitu. Dia nggak mau ngomong sama sekali sama aku, ketemu juga nggak mau, ngelihat aja langsung buang muka."
"Salah sendiri, tau kalau itu pemberian orang kok dikasih ke aku," ucap Ira.
Siapa sangka juga bakalan jadi kek gini. Niat hati cuma mau kasih kenang-kenangan sama Ira, karena tiba-tiba dia main ke sekolahku. Kan jarang-jarang aku bisa ketemu sama dia.
🍂
Hampir seminggu ini aku tidak dapat bertegur sapa dengan kak Alan, segitu marahnya kah? Sampe-sampe nggak mau ketemu aku, kalaupun kebetulan lewat, pasti langsung putar arah.
Aku meletakkan kepalaku diatas meja dengan lesu. Huufftt, padahal hari ini tepat kelahiran ku, kenapa dia malah kek gitu, nggak mau ngucapin kah?
"Meira, ke kantin yuk." Dian menggoyang-goyang lenganku.
"Nggak deh Di, aku lagi nggak mood buat ke kantin, nggak laper juga." tolakku.
"Ayolah... Nggak ada kata bad mood pokoknya!. Ayo ah, berdiri, cepetan Meira..keburu bel ini nanti."
Aku mendongak melihatnya dengan tatapan yang tak bisa ku jelaskan, dengan berat hati aku menuruti keinginan Dian, nggak tau apa lagi galau gini, buat jalan aja rasanya nggak berdaya. Kok jadi lebay sih, Ra.
Dian masih terus saja menyeret ku, padahal aku bisa jalan sendiri, kenapa ditarik-tarik mulu sih, berasa kek kambing, tau nggak!.
Tapi tunggu---
"Di, ini kan bukan arah kantin. Kamu mau bawa aku kemana ini, jangan macem-macem ya!" Aku berusaha menahan tubuhku supaya Dian berhenti menyeret ku.
"Berisik ah, udah ayo ikut aja!" Dian masih saja kekeuh menyeret ku.
"Lepasin Dian, aku nggak mau ih." ya ampun, Dian pake tenaga apa sih, kuat banget ini. Batinku.
Dan, disinilah aku sekarang. Dian menyeret ku ke belakang sekolah, dan kalian tau? Seenak jidatnya dia langsung lari ninggalin aku, sendirian.
Aku masih bertanya-tanya, sebenarnya ada apa sih?
Ku amati keadaan sekitar, dan tidak ada tanda-tanda sama sekali, sepi. Lebih baik aku pergi saja, kurang ajar banget Dian, ngapain coba nyeret aku sampe sini terus ninggalin? Buang-buang waktu doang.
Aku pergi dari tempat ini dengan perasaan kesal, berjalan dengan menghentakkan kakiku sebagai ungkapan rasa dongkolku. Awas aja nanti, aku kasih pelajaran balik, biar pinter. Loh?.
"Meira-----"
Tiba-tiba saja ada suara yang menginterupsi ku dari belakang, sepertinya aku kenal suara ini. Memutar tubuhku 180° guna memastikan benarkah dugaan ku. Dan, ya aku melihatnya...
Berdiri di samping pohon besar yang baru saja ku tinggalkan. Mungkinkah dia tadi bersembunyi dibalik pohon?. Pikirku.
"Kak Alan?" ucapku pelan, dia tersenyum kearah ku.
Dia melangkah menghampiri, aku masih saja diam ditempat. Ekor mataku tak henti melihat tiap langkah kakinya yang mulai mendekatiku, dan berhenti tepat di depanku, sungguh, ini membuatku canggung apalagi...
Tiba-tiba dia memelukku, sontak saja aku terpaku dan tubuhku rasanya mulai melemah...
"Happy birthday, sayang."
Jadi .... Dia ingat?
Tepat saat dia melepas pelukannya, Dian datang kembali bersama Vina dan kedua teman kak Alan, menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku. Sungguh, ini semua diluar dugaan ku, kukira kak Alan tidak tau tentang hari ini, ternyata aku salah. Kalian tau apa yang terjadi selanjutnya?
Aku malah menangis sesenggukan. Dasar!