Aku masih saja enggan berbicara, dia terus saja memandangku penuh tanya, membuat ku semakin jengah saja. 'Dia sebenarnya tau tapi pura-pura nggak tau, atau gimana sih?', kesalku.
"Kenapa?." Tanyanya.
Aku menatapnya dengan heran, pertanyaan macam apa itu?
"Kenapa apanya?," Aku balik bertanya.
Dia menarik nafas, meghembuskan pelan dan bertanya kembali, "kamu kenapa, dek?."
"Emang aku kenapa?," Lagi-lagi Aku membalikkan pertanyaannya, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
"Jangan dibuat berbelit-belit, kakak dari tadi tanya tapi kamu malah balik bertanya," ucapnya sedikit kesal.
"Nggak ada apa-apa, udah kan? Minggir! aku mau lewat," jawabku tak kalah kesalnya.
Tapi bukan Alan namanya kalo membiarkan ku lewat begitu saja, dia mengacak rambutnya dengan gusar, "okey, kakak tau kamu pasti nyembunyiin sesuatu. Kalau diammu itu berhubungan dengan foto di ponsel ku, kakak minta maaf," ucapnya dengan nada bersalah, justru itulah yang membuat ku kecewa.
Di saat aku berusaha keras membunuh semua persepsi yang Vina berikan, tapi sekarang? seseorang yang perlahan ku cintai berdiri di depanku dan mengakuinya sendiri.
Siapa yang tak kecewa mendengar semua kebenaran ini? aku yang pertama kali merasakan jatuh cinta, mempercayainya sepenuh hati dan ternyata, aku di khianati?.
Siapa sangka rasanya di khianati bisa seluar biasa sakit seperti ini. Katakanlah aku lebay, alay dan sejenisnya, tapi memang beginilah yang aku rasa. Aku tidak tau lagi mau bagaimana?.
"Udah ngomongnya?, Sekarang minggir! Aku mau lewat," ucapku dengan nada tegas.
Namun dia masih saja menghalangi jalanku, tak memberiku celah sedikitpun untuk dapat berlalu dari hadapannya.
"Mau apa lagi? Udah selesai kan ngomongnya. Jadi sekarang, biarin aku lewat," ucapku masih menahan rasa sabar.
"Kamu belum jawab pertanyaan ku dari tadi, aku minta maaf, kamu jangan diemin aku kayak gitu lagi dong, ya dek?." Ucapnya.
"Ming-nggir, a-ku mau le-wat," kutekan kan nada bicaraku, berharap dia mau mengerti keinginanku.
"Nggak, sebelum kamu jawab dan maafin aku,"
Baik, jangan salahkan aku. Karena ini keinginan mu sendiri.
Aku berbalik arah, mengurungkan niat untuk ke kantin. Aku kembali masuk kedalam kelasku dan-
Blam!
Pintu yang tak berdosa kubanting keras dan mengeluarkan suara cukup nyaring, sontak saja teman-teman ku yang berada di dalam melihat kearah ku,
"Apa?!," Bentakku.
🍂
"Bar-bar banget kamu jadi cewek! mana Meira yang pembawaannya selalu tenang dan kalem," Tanya Ira.
"Iya Ra, nggak biasanya kamu ngamuk kayak gitu. Apalagi sampai banting pintu segala," Kia menimpali.
Aku sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi pada diriku, meskipun dalam keadaan marah bahkan ingin mengamuk pun, biasanya aku hanya diam dan menangis tanpa suara. Tapi tidak untuk sekarang, seperti ada sesuatu yang begitu menyakitkan di dadaku dan aku tidak tau itu perasaan apa.
"Apa....kau sedang merasakan hal yang bernama cemburu?," Ira menanyai ku dengan hati-hati.
Aku mendesah pelan, "aku sendiri tidak tau apa yang sedang kurasakan Ir, saat itu rasanya begitu menyakitkan dibagian sini," tunjukku pada dadaku sendiri.
"Mungkin memang benar kata Ira, kau sedang merasakan cemburu Ra," jelas Kia.
Aku menggeleng lemah, "tidak tau, semua rasa itu adalah hal baru bagiku. Aku sendiri saja tidak tahu apa itu cemburu," ucapku.
"Cemburu itu, ketika kamu merasa sesak di bagian dada kamu, marah tak beralasan, uring-uringan, serasa ada yang terus-terusan mengganggu. Sama halnya dengan yang kamu rasakan waktu itu, kamu mengalami gejala cem-bu-ru." Tekan Ira di akhir kalimat, seolah menegaskan bahwa aku memang sedang mengalaminya.
"Begitu ya?," Ucapku tak bersemangat.
🍂
Beruntung setelah kejadian tadi dia tak berbuat nekat menyusul ke dalam, setidaknya aku bisa bernafas lega dan sedikit tenang.
Meski harus duduk dengan keadaan gelisah karena dari tadi teman-temanku masih saja melihatku dengan pandangan yang tak dapat ku artikan. Pasti gara-gara tadi, duh bodohnya!.
Ternyata dugaan ku salah besar. Setelah bel tanda pulang berbunyi, aku bergegas membereskan semua barang-barangku dan sesegera mungkin untuk keluar, biar bagaimanapun aku masih belum ingin bertemu dengan kak Alan, melihatnya bisa-bisa menghancurkan kembali moodku. Namun beribu sayang, aku kalah cepat! Dia sudah lebih dulu berdiri diluar kelasku. Huufffttt...
Sebenarnya aku malas menemuinya, tapi ya sudahlah... Lebih baik aku pura-pura tidak melihat saja dan Berlalu melewatinya, dengan begitu dia juga tidak akan tau.
Seperti dapat membaca dari gelagatku, dia langsung saja mengambil langkah dengan cara menghadang jalan dan menarik paksa tanganku. "Apa lagi,?" Tanyaku.
"Aku mau jelasin sesuatu sama kamu. Pulang bareng, ya?," Jawabnya sambil memohon.
"Enggak!," Tolakku.
"Tapi aku perlu bicara sama kamu, supaya kamu juga nggak terus-terusan marah sama aku," ucapnya.
"Ya udah ngomong aja sih, apa susahnya?."
"Disini?," Tanyanya.
"Mau dimana lagi?, Kalo nggak mau ya udah, aku pulang!."
Alan mendesah pasrah, "Okey. Okey, bentar....
Dia....kakak tingkat kamu." Sambil melihatku, dia mengucapkan dengan pelan.
Meskipun sangat pelan, aku masih dapat mendengarnya. Namun sengaja ku tutup mulut diam tak berkomentar, membiarkannya menyelesaikan ucapan, kita lihat sampai dimana dia berani membuka kebenarannya.
"Dia yang ngajak kakak jalan dan sudah berulang kali kakak tolak. Karena terus-terusan memohon, jadi kakak ngerasa nggak enak, dengan terpaksa akhirnya kakak mengiyakan keinginannya," dia menarik nafas mengambil jeda sejenak.
"Jangan berfikir kalau kakak nggak bilang sama dia tentang hubungan kita, dari awal kakak juga sudah memberitahunya namun dia bilang itu tidak masalah. Sungguh, kakak nggak ada niatan buat selingkuhin kamu, kakak juga sudah nyuruh orang buat hapus foto itu, kalau kamu nggak percaya bisa lihat ponsel kakak lagi. Tapi, please.... Maafin kakak, ya?," Ucapnya memohon.
"Sudah?," Tanyaku padanya yang dijawabi dengan anggukan.
"Kenapa dihapus?," Tanyaku lagi.
"Biar nggak bikin orang salah paham lagi, jadi dihapus." Jawabnya.
"Siapa yang hapus?,"
"Temen kakak,"
"Kenapa nggak kamu sendiri yang hapus?,"
"Biar ada saksi kalo beneran udah kakak hapus,"
"Nyesel?,"
"Iya, kakak nyesel."
"Nyesel karena udah hapus?,"
"Loh, eh bukan itu."
"Okey."
"Jangan marah dong dek,"
"Emang siapa yang marah?,"
"Ka-kamu,"
"Nggak. Aku nggak marah, marah karena apa coba?,"
"Hah? Kalo nggak marah, terus kenapa tadi sampai banting pintu segala,"
"Orang mau lewat nggak dibolehin, ya jelas aku kesel lah. Udah ah, mau pulang." Aku berlalu dari hadapannya.
"Woy, dasar si Bolot! Kayak orang bego aku ngomong panjang lebar dari tadi. Kamu ngerjain kakak ya?," Teriaknya.
Meski pada akhirnya memang persepsi Vina bener, tapi tetep saja aku tidak bisa marah dengan kak Alan. Entahlah, tanpa alasan aku masih mempercayainya kalo dia bisa menjaga hatinya untukku.
Katakanlah aku bodoh, karena masih saja memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang dia perbuat. Tapi bagiku, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan, apalagi dengan beraninya dia mengakui semua meski terlambat. Setidaknya itu melegakan, dan bisa untuk memperbaiki semuanya.
Aku menghentikan langkah dan berbalik kearahnya, "wleeeekkk." Ku julurkan lidahku meledeknya.