Terlepas dari kejadian kemarin, boleh lah ya aku berbangga diri karena bisa lolos. Siapa sangka, setelah berkali-kali disuruh maju tapi aku masih aman-aman saja.
Andai saja beliau bukan guru, sudah pasti ku julurkan lidahku untuk meledeknya karena tak berhasil membuat ku jera. Meira dilawan, ck.
Kalo tidak salah ingat, setelah jam istirahat ada pengumpulan semua siswa-siswi. Entah ada pengumuman apa, aku juga nggak tau.
Sebenarnya ini adalah hal yang paling tak aku sukai. Bagaimana tidak, coba kalian bayangkan. Dalam dua ruangan yang digabungkan menjadi satu, aku harus berdesak-desakan dengan semua siswa-siswi bisa kalian rasakan sendiri betapa gerahnya nanti.
Tapi semua itu tidak berlaku ketika aku melihat seseorang yang berada di sampingku, agak jauh dikit sih.
🍂
"Enak ya Ra, serasa ruangan jadi milik kalian berdua yang lain cuma numpang." Seloroh Ira.
"Kutipan apa itu hahaha, ada-ada saja kamu Ir." Ucapku.
"Lah itu, tadi katanya sumpek kalo harus berdesak-desakan. Tapi liat do'i jadi seger bener." Ucap Ira.
"Ya biarin, suka-suka dong."
Sebenarnya antara enak dan nggak enak sih. Enaknya bisa liat kak Alan, nggak enaknya mah jadi ledekan temen-temennya dia. Kan, berasa cantik jadi sorotan kek gitu. Eh, apasih!.
"Jadinya itu pengumuman apa Meira?" Tanya Kia.
Aku justru malah cengengesan melihatnya, "hehe, aku juga nggak tau itu pengumuman apa Kia." Jawabku dengan wajah tanpa dosa.
"Lah terus kamu ngapain ikut ke dalem kalo ujung-ujungnya nggak tau apa-apa." Tanya Kia lagi.
"Ya cuci mata lah, sama lihatin do'i."
"Bucin terooossss." Sindir Ira.
"Dih, ada jiwa jomblo yang iri nih." Lirikku sinis.
"Siapa yang iri?." Tanyanya.
"Loh? Merasa ya Bu, hahaha." Ledekku.
Ira melirikku dengan perasaan dongkol. Rasain!.
🍂
"Psssttt....sssttt... Kak." Panggilku dengan suara sekecil mungkin.
"Psssttt....ssssttt... Kak Alan." Panggilku lagi, yang dipanggil masih saja tidak denger.
Budek atau gimana sih, "ssuuttt... psssttt.... ssuuttt kak Alaaaaa-----nnn." Loh, eh? Kok malah orang dibelakangnya yang nengok.
Duh, jadi salah tingkah kan. Yang di panggil nggak nengok, malah orang lain. Karena masih terus dilihatin, ya sudah sekalian saja aku suruh panggilin kak Alan.
"Apa?." Ucap kak Alan.
Aku cengengesan melihatnya sambil mengangkat tanganku, memperagakan seperti sedang menelepon. "Pinjemin" ucapku tak bersuara.
"Buat apa?." Jawabnya tak kalah pelan, aku sendiri hampir tak tau apa yang diucapkannya.
Aku tak memberi taunya buat apa meminjam, bisa-bisa nggak dikasih nanti. Dia kan paling pelit kalo diminta pinjam ponselnya.
Masih dengan menengadahkan tangan dan wajah memelas, akhirnya dia mengoper ponselnya untuk diberikan padaku. Yes!.
"Kamu pinjem buat apa Ra, kan punya ponsel sendiri." Tanya Vina yang duduk tepat di sampingku.
"Sssttt... Diem bae, aku lagi kepo isi ponselnya." Jawabku.
"Weehh, stalker. Ikutan ya, hehe."
"Yeee, si markonah. Sukanya ikut-ikut bae, sini." Ucapku.
Vina bergerak makin mendekat, aku masih sibuk mengutak-atik ponsel kak Alan. Entah kenapa tiba-tiba tanganku terarah pada menu yang bertuliskan 'galeri'.
"Vin, buka ini nanti apa-apa nggak sih?." Tanyaku.
"Apa-apa apanya? Nggak apa-apa deh kayaknya, buka aja aku juga penasaran." Jawabnya santai.
"Beneran nih?." Tanyaku lagi.
"Iya, cepetan ih." Jawabnya makin tak sabar.
Klik
Scroll....
Scroll....
Scroll....
Mendadak tanganku jadi kaku setelah mataku melihat foto yang baru saja terbuka, foto ini...
Aku menoleh ke arah sebelah, "Vin? I-ini siapa?." Tanyaku.
Vina ikut diam dan kembali memperhatikan foto tersebut dengan seksama, namun jawaban yang diberikan Vina tak membuatku lega. Dia menggeleng, tanda bahwa dia juga tidak mengetahui foto siapa itu.
🍂
"Foto? Foto apa Ra yang kamu lihat?." Tanya Ira menggebu-gebu.
"Foto kak Alan..." Ucapku menggantung.
"Yeee, cuma foto dia doang kamu---"
"sama cewek lain." Aku memotong ucapan Ira.
"Hah! Apa, apa? Coba ulangi." Pinta Ira.
"Foto kak Alan sama cewek lain, Iraaa." Ulangku.
"Gimana bisa?." Tanya Kia.
Aku hanya mengangkat bahuku sebagai tanda 'tidak tau'.
🍂
Setelah pengumuman berakhir, aku masih bertahan didalam bersama Vina. Kepalaku terus-terusan memikirkan siapa kiranya orang yang ada di foto tersebut, ada hubungan apakah mereka?.
Vina mengajakku untuk segera keluar dan kembali pulang. Tepat saat kami berdua baru melewati pintu utama, aku melihatnya sudah menunggu dengan senyum lebarnya namun tak kubalas sama sekali.
Tak tau mau berbuat apa dengannya, aku hanya menyerahkan ponselnya dan berlalu begitu saja.
Dapat kulihat dengan jelas wajahnya yang penuh tanya, samar-samar kudengar dia bertanya pada Vina. Ada apa denganku?
Jawaban tak terduga keluar dari mulut temanku, "makan tuh cobek sekalian ulekan nya, emang enak dicuekin." Vina berlalu pergi menyusul ku.
🍂
"Kenapa kamu nggak tanya aja sih Ra sama dia, mana pake acara langsung nyelonong pergi." Kia mengerucutkan bibirnya kesal.
"Yaaa, mau gimana lagi. Aku mau mengeluarkan suara saja susah, rasanya tuh sepertinya tercekat di tenggorokan. Jadi, ya gitu."
"Emang dia nggak ada nyusulin kamu gitu? Atau tanya via chat kenapa gitu?, Masa iya nggak bergerak sama sekali." Tanya Ira.
"Nyusulin sih iya, tapi aku-nya yang nggak mau dengerin dan masih lanjutin jalan ninggalin dia." Jawabku melemah.
Aku sendiri nggak tau kenapa bisa uring-uringan berkelanjutan seperti ini, padahal aku sudah meyakinkan diriku buat nggak percaya persepsi Vina. Mungkin saja itu temen lamanya dan nggak ada hubungan spesial apa-apa.
Hanya saja rasa penasaran masih ada, jadi persepsi buruk seperti itu terus-terusan terngiang di kepalaku.
Kenapa nggak mau berhenti mikirin itu sih. Kesal pada diriku sendiri, aku malah memukul-mukul pelan kepalaku supaya kejadian tadi enyah dari pikiranku. Kok nggak hilang-hilang sih, ck.
Aku masih saja memukul-mukul kepala, bodohnya diriku karena tak menyadari sedang berada dimana sekarang. Hingga akhirnya tersadar dan menghentikan kegiatan ku memukul kepala, makin terlihat bodoh lagi ketika kini aku menjadi sorotan para penumpang di bus.
Aduuh, malu sekali. Rutukku dalam hati.
"Ya ampun Meira hahaha, kayak orang gila kamu ya." Tawa kencang Ira memenuhi pendengaran ku.
Aku melihatnya sengit, apa katanya tadi? Gila? "Sembarangan! Kalo ngomong itu loh, suka nggak dicerna." Kesalku.
"Salah siapa buat malu diri sendiri ditempat umum, wleeeekkk." Ira menjulurkan lidahnya, meledekku.
"Aku juga nggak sadar kali waktu itu, orang aku lagi ngelamun dan spontan aja kayak gitu." ucapku.
"Sampai rumah gimana? Masih belum dikasih tau apa-apa sama dia?." Tanya Kia.
Aku menggeleng, karena pada dasarnya dia sendiri tidak tahu alasan apa yang membuat aku diam. Jadi dia merasa biasa saja.
Hingga sampai berhari-hari aku mendiamkannya, tak ada niatan untuk sekedar menyapa apalagi menemuinya.
Dan disinilah sekarang dia berada. Berdiri tepat didepan pintu kelasku, menghadang jalanku dan meminta penjelasan tentang diamnya diriku.