Chereads / Gadis 2 Miliar / Chapter 2 - Bencana

Chapter 2 - Bencana

Maura menyeka peluh di dahi, menatap kosong gorengan di keranjang merahnya. Dia sudah berkeliling menawarkan gorengannya kepada orang-orang, tetapi yang beli baru saja sedikit. Cuaca kota Jakarta kini tampak panas, membuat jalanan sana macet padat. Polusi di mana-mana.

"Gorengan, gorengan, gorengan!" teriak Maura kembali berjalan menelusuri kampung orang lain, berharap ada seseorang yang mau membeli gorengannya.

Maura mengembuskan napas kasar, mengadah langit yang sebentar lagi akan petang. Mau tidak mau Maura harus pulang dengan sisa gorengan yang lumayan tersisa banyak.

"Semoga saja esok ada rezeki untuk keluargaku," batin Maura berdoa.

***

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Maura sampai di depan rumahnya. Namun langkah perempuan itu terhenti tatkala melihat kekacauan di dalam rumah. Matanya membulat melihat sang ibu terjatuh di lantai, dengan cepat dia berlari memeluk sang ibu.

"Ibu enggak apa-apa?" tanya Maura. Hani menggeleng pelan sebagai balasannya.

Maura menatap ke dalam rumah, ada lima orang laki-laki bertubuh kekar, juga seorang wanita bermake up tebal berdiri di hadapannya. Itu Ibu Yulia, wanita berumur kepala empat dengan dandanan yang ingin terlihat muda.

Maura berdiri di depan Ibu Yulia—renternir. Menyebalkan rasanya berhadapan dengan seorang rentenir seperti Ibu Yulia. Sementara Ibu Yulia hanya menatap Maura dengan sinis.

"Ibu bisa enggak, kalau menagih hutang jangan merusak barang orang lain. Apa lagi sampai membuat ibu saya terjatuh," ucap Maura membela sang ibu.

"Hei, anak bodoh! Saya ini sudah memberi ibumu waktu selama satu tahun untuk mencari uang demi bisa melunasi hutangnya itu," balas Bu Yulia dengan nada tak bersahabat.

"Kami akan segera membayarnya, Bu. Tapi tolong, jangan merusak barang-barang kami," ujar Maura.

"Halah banyak alasan! Saya tidak ingin mendengar alasan apa pun. Kalian ini sadar enggak sih? Kalau hutang keluarga kalian ke saya itu sudah melebihi sepuluh juta, apa lagi meminjam dengan alasan untuk berobat."

Maura berdecak kesal, memang itu alasan sang ibu meminjam uang kepada Bu Yulia. Tidak ada alasan lain selain berobat.

"Memang itu alasan kami meminjam uang, kami tidak berfoya-foya dengan uang Ibu."

Bu Yulian tampak gerah hati, dia menatap sinis ke arah Maura. Lalu menatap Hani tak kalah sinis. "Kalau sudaj sakit ya sakit aja, enggak usah pengen sembuh. Ujung-ujungnya malah nyusahin."

Hani terkejut mendengar kalimat itu, begitu juga dengan Maura. Sudah menagih dengan cara yang salah, ditambah malah menghina.

"Sudah cukup! Jangan katakan hal buruk tentang ibu saya—"

"Kenapa? Memang benar, bukan? Ibumu itu penyakitan, selalu menyusahkan dirimu," sentak Bu Yulia.

Maura tersulut emosi oleh kalimat Bu Yulia, baru saja dia ingin melampiaskannya. Tangannya dicekal pelan oleh sang ibu masih terduduk di lantai. Hani merasa tak kuasa untuk bangun, perutnya terasa sakit. Belum lagi rasa pening menghantam kepala. Lebih baik duduk terlebih dulu demi bisa menghilangkan rasa pening di kepala.

"Jangan, Ra. Sudah biarkan," ucap Hani dengan lemah.

Maura menelan salivanya, menatap iba ke arah sang ibu. Lalu kembali menatap sinis ke arah Bu Yulia.

"Beri kami waktu lagi, Bu. Kami janji akan melunasi semua hutang kami kepada ibu," tutur Maura meminta keringanan kepada Bu Yulia.

"Halah, Bos. Enggak usah dikasih, yang ada malah minta ulur waktu lagi," sahut laki-laki berkepala botak kepada sang bos.

Bu Yulia tampak menimang, menatap bergantian Maura serta Hani. "Saya beri kamu waktu seminggu, jika kamu masih belum bisa melunasi atau membayar dengan menyicil. Maka saya akan menyita rumah ini," kata Bu Yulia penuh penekanan seraya menunjuk rumah Maura.

Maura membulatkan matanya terkejut. Tidak, dia tidak rela jika rumah peninggalan sang ayah terkena sita. Begitu juga dengan Hani.

"Jangan, Bu. Tolong beri kami waktu lebih lama lag—"

"Tidak ada uluran waktu lagi. Lunasi hutang kalian sebanyak tiga puluh juta ... Jaminannya adalah rumah ini," potong cepat Bu Yulia.

Bu Yulia tak ingin berdebat lagi, dia menjauh dari rumah Maura. Tak lupa juga lima laki-laki bertubuh kekar, mengekori dari belakang. Maura menatap nanar kepergian Bu Yulia, bingung harus mencari uang ke mana lagi?

Maura ikut terduduk bersama sang ibu, tatapan perempuan itu tampak sendu. Sementara Hani, berusaha menahan rasa sakit di perut hingga kepala. Sadar bahwa sang ibu sedang menahan ringisan, Maura menangkup wajah wanita yang telah melahirkannya dengan sayang.

Pucat!

Satu kata itu terlintas dalam benak, dia cemas melihat wajah sang ibu pucat pasi. Ringisan rasa sakit terdengar begitu saja. Maura yakin, kalau penyakil gagal ginjal sang ibu kambuh kembali.

"Bu, Ibu enggak apa-apa?" tanya Maura.

Hani menggeleng lemah, perlahan namun pasti mata teduh sang ibu terpejam dalam sekejap. Maura semakin panik mendapati sang ibu pingsan dalam dekapannya.

"Bu, ibu ...." Maura memangil terus-menerus nama sang ibu, berharap sang ibu mendengarkannya.

Tidak ingin membuang waktu, Maura mencoba meminta pertolongan kepada tetangga atau menelepon ambulans agar sang ibu cepat mendapat pertolongan.

***

Maura mendorong brankar sang ibu, dia sudah sampai di rumah sakit berkat bantuan Pak RT di kampungnya. Rasa cemas menggelayuti benak, dia takut sang ibu kenapa-napa.

"Mohon maaf, Mbak. Keluarga pasien dilarang masuk," ucap perawat perempuan menghentikan langkah Maura di depan pintu ICU.

Maura berdiam diri di depan pintu tersebut. Buliran bening jatuh menetes begitu saja. Hatinya tak terasa tenang. Bayangan kematian sang papa yang diakibatkan oleh kecelakaan terlintas begitu saja. Menyeramkan sekali apabila mengingatnya.

"Yaa Allah, semoga Ibu baik-baik aja di sana," batin Maura.

Ruang ICU terbuka, sang dokter lelaki paruh baya berumur kisaran empat puluh tahun, keluar dari ruang tersebut dengan wajah masam. Maura menghampiri, menagap seolah bertanya 'apakah semuanya baik-bakk saja?', dia tak sanggup berkata apa-apa. Rasa cemas tetlalu mendominasi dalam diri.

"Pasien diagnosis penyakit gagal ginjal akut. Ada kerusakan dalam ginjak serta penyumbatan pada saluran urine."

Maura menbekap mulutnya sendiri, terkejut dengan penjelasan sang dokter. Dia tidak menyangka jika penyakit yang diderita oleh sang ibu malah semakin parah.

"A–apa ibu saya bisa disembuhkan, Dok?" tanya Maura tergagap.

"Cuci darah, hanya itu satu-satunya. Kami juga akan mengecek kembali melalui tes urine, tes darah, Pemindaian dengan USG, CT scan, atau MRI untuk melihat lebih jelas kondisi ginjal pasien, dan juga Biopsi ginjal, untuk mendeteksi ketidaknormalan pada jaringan ginjal."

"Tolong lakukan yang terbaik, Dok," pinta Maura, memohon kepada sang dokter.

"Saya akan melakukan yang terbaik, tetapi untuk melakukan hal tersebut harus membayar semua administrasinha termasuk rawat inap," ujar sang dokter.

Maura bergeming, kenapa harus ada administrasinya? Maura sedih, dia semakin dilema. Harus melakukan apa agar bisa mendapatkan uang, meminjam? Dia sudak hutang kepada kerabatnya ataupun ke orang lain.

"Tanyakan biayanya ke administrasi sana. Saya permisi." Ridwan—dokter paruh baya itu menjauh menuju ruangannya.

Mau tidak mau, Maura menyeret langkah kakinya yang terasa berat menuju resepsionis. Dia akan melakukan apa pun agar sang ibu bisa sembuh.

"Permisi, saya Maura. Ingin tahu berapa biaya administrasi pasien yang bernama Hani Ayuningtyas?" tanya Maura seperti tercekat.

"Tunggu sebentar," balas seorang perawat perempuan dengan hijab di kepalanya.

"Jumlah biayanya termasuk rawat inap jadi lima puluh juta," lanjut perempuan itu.

Maura mendengkus pelan, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Buat makan juga susah. Maura menatap perawat itu dengan tatapan kosong, lalu pamit dengan alih-alih ingin mengambil uangnaya terlebih dahulu.

Langkah Maura berhenti di depan pintu masuk rumah sakit, air mata jatuh menetes begitu saja. Apa yang harus dilakukan? Jika dibiarkan saja, dia akan kehilangan sang ibu untuk selama-lamanya. Maura tidak ingin hal itu terjadi.

"Aku harus apa Yaa Allah?"

.

.

.

TBC:

Terima kasih sudah mau membaca. Aku tahu alurnya pasaran, tetapi saya menjamin di pertengahan ada konflik yang tak kalah seru.