Chereads / Please Help Me, Stranger / Chapter 3 - PHMS 3 Kecelakaan

Chapter 3 - PHMS 3 Kecelakaan

Romeo POV

Insiden seperti ini memang jarang terjadi, tapi aku cukup kesal dengan ban mobil yang pecah dan aku ada meeting penting dengan klien. Aku menyetop taksi dan mungkin butuh waktu seperempat jam untuk sampai. Aku yakin masih bisa mengejar waktu.

"Pak, agak cepat!" Aku memang suka memerintah.

"Siap, Tuan." Driver berusia paruh baya terlihat bahagia padahal aku baru saja memerintahnya dengan nada yang menurutku … kasar.

"Tersenyumlah. Tuan akan terlihat sangat tua kalau tegang seperti itu." Bapak tua itu sedang mencoba menceramahiku. Memangnya siapa dia? Berani sekali mengomentari tentang kehidupanku.

"Diamlah Pak Tua, aku sedang terburu-buru." Aku mengucapkan kalimat dengan sedatar-datarnya dan pak tua itu hanya tersenyum. Aku pikir ini tidak lucu. Apa jangan-jangan dia sedang mengejekku?

Aku diam, masih sibuk memainkan layar pintar dan membaca beberapa email yang masuk ke akun-ku. Aku melirik jam digital yang terpasang di depan. Ini baru berjalan lima menit. Pandanganku beralih ke arah foto yang berjajar di depan.

"Itu anakmu?" Aku bertanya untuk membunuh kejenuhanku.

"Stella itu cucuku. Cantik ya? Dia sangat pandai bermain piano." Aku membaca name tag yang memang tercantum di dekat dashboard, 'Louis Young'.

"Agak berbeda dengan wajahmu." Aku berkomentar tidak penting, karena bapak di depanku itu bertubuh gendut dan berkulit hitam. Sedangkan cucunya luar biasa menggemaskan dengan boneka beruang besar yang dipeluknya.

"Bukan cucu kandungku, tapi aku sangat menyayanginya. Cucuku yang sebenarnya akan lahir beberapa minggu lagi, yang jelas Stella sangat mirip dengan ibunya, hanya warna matanya saja yang mungkin berasal dari ayahnya."

"Mungkin? Apa kau tidak mengenal keluarganya?" Aku semakin ingin tahu.

"Aku hanya kenal ibunya bukan ayahnya, bisa jadi ayahnya meninggalkan mereka atau mungkin juga sudah tiada. Hanya Tuhan yang tahu."

"Kasihan sekali, anak secantik itu tapi keluarganya tidak jelas."

"Untung saja suaramu tidak didengar oleh ibunya, bisa saja Tuan dituntut atas pencemaran nama baik." Louis tertawa renyah, aku tahu dia tengah menyindirku.

"Bisa cepat sedikit tidak? Aku sudah hampir terlambat." Aku semakin kesal dengan bapak tua satu ini. Memangnya siapa yang berani menuntut seorang Romeo Evans? Mau cari mati? Atau sudah bosan hidup? Yang benar saja. Kekonyolan apa yang barusan kudengar.

"Banyak-banyak berdoa kepada Tuhan, Kita tidak akan pernah tahu seperti apa perjalanan ini akan berakhir." Louis lagi-lagi tersenyum sambil berceramah tentang ketuhanan. Apa dia tidak tahu kalau diriku setengah atheis?

Bapak tua ini sungguh menyebalkan, pagi-pagi dia sudah berani menceramahiku dan menertawakanku. Aku mendengus dan kembali membuka aplikasi percakapan dengan beberapa temanku. Aku mulai asyik bertukar pesan dengan Thomas, Vincent, dan Gabriel.

Gabriel

Sepertinya ada yang sebentar lagi menyebar undangan pertunangan.

Vincent

Sialan kau, Briel.

Aku

Memangnya Vincent jadi bertunangan?

Thomas

Tentu saja jadi, kita akan melakukan perayaan besar. Kalian ingat kan, kalau diantara kita yang menikah duluan orang itu wajib memberikan apa yang diinginkan oleh yang lainnya. Aku akan berjuang untuk bertahan dengan status single ku.

Aku

Lamborghini sudah berada di depan mata.

Gabriel

Liburan ke Swiss dua bulan gratis.

Vincent

Kalian membuatku bangkrut sebelum waktunya.

Thomas

Aku doakan kau cepat menikah. Agar Resort mu bisa menjadi milikku.

Aku

Hahaha … aku setuju.

Vincent

Kalian tidak mengerti kalau itu semua rencana orang tuaku.

Aku

Haha … kami tidak peduli.

Vincent

Bukannya sejak awal aku tidak ikut taruhan gila kalian?

Gabriel

Jangan jadi banci.

Vincent

Aku bukan banci, nyatanya aku bisa membuat wanita-wanitaku terpuaskan.

Thomas

Kau seperti wanita saja yang sedang PMS, aku tidak percaya kalau kau bisa memuaskan jalangmu itu, Vin.

Aku

Aku tidak ikutan dengan bahasan kalian, sebentar lagi aku akan meeting.

Gabriel

Jangan Lupa nanti malam. Tempat biasa.

Thomas

Minggu lalu Vincent tidak hadir.

Vincent

Sudah kukatakan kalau aku dikurung oleh orang tuaku.

Kalau diteruskan, percakapan ini tidak akan ada habisnya. Ada saja yang bisa kami pertaruhkan. Ini seperti pertandingan buatku. Sekali aku pernah kalah, itu gara-gara Kalla Rei yang memutuskanku sebelum kuputuskan. Padahal tinggal beberapa jam lagi diriku akan menang.

Aku tidak tahu ada di mana wanita itu berada. Aku tidak tahu apa dia masih tinggal di rumah yang sama atau sudah pindah. Dia seperti ditelan bumi. Aku tidak menyangka kalau dia dengan brutal menyiramku dengan air satu gelas penuh. Seumur hidup, baru sekali itu aku begitu dilecehkan oleh seorang wanita dari kasta rendahan. Kalau bukan karena teman-temanku, insiden itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupku.

Setelah kejadian itu selama sebulan penuh mereka bertiga mengolok-olokku. Aku cukup berbaik hati karena tidak menuntut Kalla atas tindakan tidak menyenangkan yang telah diperbuatnya di tempat umum. Aku memang sudah memaafkannya, aku anggap kesalahannya setimpal dengan kebersamaan kami yang menurutku lumayan untuk dikenang. Terakhir aku mengetahui kalau dia sudah lulus lebih dulu dibandingkan diriku. Sudah menjadi takdir seorang kutu buku untuk lulus duluan.

Selama aku bersama dengan Kalla, dia sangat menyenangkan. Seperti gadis kebanyakan yang tergila-gila kepadaku. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan hati Kalla. Aku tahu tidak akan ada wanita yang sanggup menolak rayuanku. Aku cukup terkesan dengan keangkuhan gadis itu ketika dia dengan penuh amarah mengajak seorang Romeo Evans putus. Aku yakin hatinya tidak akan setegar kelihatannya. Setelah itu, hari-hariku berlangsung seperti biasa. Kalla Rei tidak pernah muncul lagi di depanku. Hingga aku tahu kalau dia sudah diwisuda.

Kalla Rei bukanlah seorang mahasiswi yang terkenal. Dia cantik meskipun dandanannya begitu kampungan dan tidak kekinian. Dia tidak pernah peduli dengan penampilan. Selama kuliah dia hanya akan belajar dan pergi ke perpustakaan. Tipikal anak rajin pada umumnya, yang menjadikan kampus sebagai tempat menuntut ilmu.

Aku merasa sedikit tidak enak dengan Kalla. Selama aku menjalin hubungan, hanya dia yang memandangku sebagai seorang lelaki biasa. Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang mengincar kepopuleranku dan kekayaanku. Akan tetapi, aku bisa berpacaran dengannya gara-gara Thomas yang menantangku. Meskipun aku harus kalah banyak gara-gara insiden itu, aku cukup puas dengan Kalla yang sangat-sangat seksi ketika di ranjang, dan dia satu-satunya gadis yang masih perawan ketika kujamah. Jadi wajar kalau aku menerima perlakuannya yang bar-bar ketika memutuskannku. Meskipun tampan aku masih punya hati dan perasaan.

"Selain galak, Tuan juga gila rupanya." Louis berbisik dan bisikannya masih sangat jelas terdengar oleh kupingku. Kekehannya menyadarkanku kalau kami sudah tiba di tempat tujuan.

"Itu hanya perasaanmu saja, Pak Tua." Aku menyodorkan beberapa lembar uang lalu berlari mengejar waktu, aku tidak suka membuat orang lain menunggu terlalu lama. Aku akan berusaha agar tidak pernah naik taksi lagi, apalagi kalau driver-nya adalah pak tua bernama Louis Young.