Kalla POV
Setelah mengunjungi sepasang kekasih yang menginginkan membeli apartemen, aku mendatangi seorang ibu-ibu yang juga ingin membeli satu unit rumah untuk anaknya. Kalau para konsumenku tidak sempat menemuiku, aku yang akan mengunjungi mereka. Demi mendapatkan gaji lebih dan bonus tentunya. Aku tidak sempat ke kantor, dari rumah aku langsung meluncur ke lapangan bersama dengan Stella. Sepertinya sampai seminggu ke depan aku akan memilih berkunjung daripada dikunjungi.
Menjual apartemen atau perumahan itu gampang-gampang susah. Belum tentu dalam satu minggu aku berhasil menjual satu unit, tapi aku berupaya agar bisa mencapai target, meskipun itu sulit.
Perusahaanku bergerak dalam bidang penyedia property. Sejak lulus aku menekuni dunia marketing dengan sepenuh hati, karena menurutku dari pekerjaan itu bisa menghasilkan pendapatan yang besar tergantung seberapa banyak target yang bisa dicapai. Aku juga memiliki beberapa rekan yang harus kumonitor mengenai perkembangan penjualannya. Aku cukup senior di kantorku, wajar kalau kadang aku harus mengikuti beberapa pelatihan baik di luar maupun dalam negeri.
Dulu aku pernah kepikiran untuk meninggalkan Modern City dan tinggal di Losa Harapan. Tapi niat tersebut kuurungkan, karena sudah lama aku tinggal di Modern City dan sudah terlanjur nyaman di sini. Aku memang aneh, seharusnya aku ke luar dari Benua Hijau agar terlepas dari bayang-bayang masa lalu. Mungkin aku bisa memilih Inggris atau Paris yang berada di benua Eropa sebagai tempat tinggal. Atau aku dapat menjatuhkan pilihan kepada Jakarta atau Surakarta yang memiliki iklim tropis.
Romeo Evans dan kerajaan bisnisnya memang sangat mengganggu. Romeo Evans memiliki jaringan hotel yang tersebar di benua Hijau. Setahun terakhir ini, Romeo mendirikan hotel bintang lima di Netremham, Down City, Real Mountain, Liverdepp, New Coral, dan Kausoix. Mungkin tahun depan dia akan membangun di Jersoix dan Darling City. Lupakan Losa Harapan, dua tahun yang lalu Romeo melakukan ekspansi besar-besaran di pulau itu. Dan sekarang, Losa Harapan sudah menjadi kota penuh dosa. Wajar kalau banyak orang menyebutnya sebagai Sin City-nya benua Hijau. Di mana-mana selalu ada jejak Romeo yang ingin kulupakan.
Kembali kepada hiruk-pikuk yang terjadi di kotaku sekarang. Stella tampak tenang dengan stroberi-stroberi dipangkuannya. Aku menyetir sambil sesekali melirik ke arah Stella yang sedang menikmati kegiatannya. Aku merindukan café Belarosa, mungkin nanti aku akan mampir sebentar untuk membeli beberapa cupcake dan jus buah. Stella sangat suka cupcake strobery di café itu.
Stella memiliki Kepribadian tenang, jarang berteriak apalagi menangis, dan dia banyak diam. Kadang-kadang dia tertawa dan sedikit bercerita. Stella seperti berada di dunianya sendiri, kata seorang dokter anakku baik-baik saja hanya agak sulit membuka dirinya.
Aku cemas, karena Stella tidak seperti balita pada umumnya. Aku takut kalau anakku terganggu mentalnya, atau menyimpan sesuatu hal yang buruk dalam tubuhnya. Aku masih ingat kalau aku pernah meminum pil penggugur kandungan yang kumuntahkan lagi sejam kemudian, sebab aku tidak tega membunuh darah dagingku sendiri. Aku khawatir dan mengira anakku terkontaminasi oleh pil-pil itu. Dari situ aku menyesal. Apa Stella tahu kalau aku sempat tidak menginginkan kehadirannya? Aku merasa bersalah dengan anakku sendiri. Aku memang bukan seorang ibu yang baik.
Di ulang tahunnya yang ke-4 nanti, aku akan membelikan sebuah piano untuknya. Stella pasti senang. Aku kasihan kalau bakatnya hanya tersalurkan lewat piano mainan yang sering ia tarik kemana-mana. Aku tahu harganya mahal, tapi demi Stella aku jadi bersemangat untuk menjual unit-unit apartemen atau rumah sebanyak-banyaknya. Aku akan membuat banyak orang memburu produk-produk yang ada di perusahaanku. Kalau bos ku semakin kaya, aku akan mendapat bonus yang besar. Tagihanku lumayan banyak, aku sadar itu.
Seorang ibu pasti akan melakukan apa saja untuk anaknya, termasuk menyerahkan nyawanya. Hanya ibu kejam yang membuang dan menyakiti anaknya sendiri. Seorang ibu hanya berharap kalau kelak anaknya berbakti kepadanya, menuruti semua permintaannya. Karena kalau dipelajari, permintaan mereka rata-rata demi kebaikan anak-anaknya. Walaupun ada beberapa hal yang belum tentu bisa diterima oleh anaknya.
Ada istilah apa yang baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Aku mencoba belajar menghargai orang lain dan tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Aku takut melakukan kesalahan. Urusan rumahku saja sudah membuatku kewalahan, hingga tidak sempat memperhatikan diriku sendiri. Sejak Stella lahir, fokusku bukan pada diriku lagi, tapi lebih kepada putriku. Dia adalah harapanku saat ini dan kebahagiaannya adalah prioritas utamaku.
Aku merasakan rasa tidak nyaman pada kakiku. Tadi pagi aku baru saja merekatkan kembali sol sepatuku yang copot. Aku akan menunggu akhir bulan untuk membeli sebuah sepatu. Sepatuku sudah lelah dengan perjalananku yang cukup panjang sekaligus melelahkan. Dia sudah protes minta diganti dengan yang baru. Semoga sepatuku ini bertahan sampai seminggu lagi. Bukannya aku pelit, tapi aku memprioritaskan hal yang lainnya daripada sepasang sepatu untuk diriku sendiri. Bahkan stroberi lebih penting daripada sepatuku. Kalian pasti mengerti mengapa aku terkadang kejam pada diriku sendiri. Aku harus kuat. Aku hanya memiliki diriku sendiri sebagai tempat bergantung.
Aku tersenyum kepada anakku yang sedang menggigiti pinggiran stroberi, Stella tampak menikmati buah favoritnya. Dia melirikku sekilas, lalu asyik dengan dunianya sendiri. Stella menggerak-gerakkan punggungnya ke jok melihat tanpa berkedip ke arah sepatunya yang terdapat boneka stroberi di atasnya. Aku kembali lagi ke jalanan, menyetir dengan hati-hati.
"Untuk, Mom." Stella menyodorkan bekas gigitannya kepadaku. Aku mengambilnya dan memakannya. Stella sedang melakukan kegiatan berbagi dengan orang tuanya.
"Lagi." Stella menyodorkan lagi buah yang masih utuh dan aku kembali memakannya.
"Terima kasih, sayang."
"Apakah buahnya enak, Mom?"
"Enak sekali."
"Apa kita akan ke Café milik bibi Bella?" Stella memandangku penuh keingintahuan, aku tahu kalau Stella merindukan Bella. Sudah lama aku tidak mengajak Stella berkunjung ke sana.
"Sebelum pulang kita akan ke sana."
"Hore!" Stella bersorak riang, lalu setelahnya lama-lama putriku tertidur bersandar pada jok mobil.
Membawa Stella jalan-jalan sambil bekerja bukan keputusan yang bijak, aku tahu anakku lelah. Dia hanya anak kecil berusia sangat dini yang pasti memilih bermain di rumah daripada bekerja dengan ibunya. Untuk mengobati rasa jenuhnya, aku akan mampir ke toko alat musik dan membiarkan dia mencoba piano yang bisa membangkitkan semangatnya. Aku lupa tidak membawa piano kecilnya.
***
Aku memang sejak awal berniat membelikan satu, aku membiarkannya memilih piano yang akan Stella mainkan, dan membantunya duduk di sana. Aku berpesan agar dia memanggilku ketika sudah selesai memainkan beberapa nada yang ia suka. Sedangkan aku sendiri duduk bersama penjaga toko untuk bertanya mengenai harga. Paling tidak aku tahu berapa uang yang harus kukeluarkan untuk membeli sebuah grand piano.
Aku mendengarkan Stella bermain. Suara piano menggema. Aku memandang anakku dari kejauhan dengan rasa bangga. Anakku bisa memainkan lagu yang menurutku indah. Rasanya aku ingin menangis karena terharu, anakku hebat. Belum tentu anak seusianya bisa bermain sebagus Stella. Apa aku saja yang terlalu terharu hingga jantungku berdetak cepat? Tapi anakku masih kecil dan memiliki keahlian yang menurutku luar biasa, wajar kalau aku senang luar biasa. Meskipun aku lebih suka kalau Stella berlari kesana-kemari dan berteriak penuh suka cita, tidak bersikap diam dan tenang seperti anak yang sedang memendam sesuatu. Aku kembali teringat dengan pil sialan itu.
Aku mendengarkan beberapa orang yang memuji anakku itu. Anakku memang sesuatu. Aku melihat mata Stella berbinar memancarkan kecerdasan yang tidak dimiliki anak seumurannya. Aku seperti melihat Stella yang luar biasa dengan piano di depannya. Stella Rei, akan menjadi pianis terkenal suatu hari nanti.
Aku kembali kepada tujuanku untuk tawar-menawar dengan penjual piano yang berkali-kali memuji kepiawaian Stella. Aku mendengar Stella masih asyik memainkan pianonya. Aku memang harus membelikan piano untuk Stella.
Harganya cukup mahal, itu kesimpulan yang kutarik dari percakapan bersama si penjual piano. Aku hanya mampu membayar separuhnya saja dan sisanya akan kucicil selama setahun. Aku tidak tahu kalau harga sebuah grand piano bisa semahal itu. Setelah cukup lama bertransaksi, akhirnya aku mendapatkan hadiah untuk ulang tahun anakku yang akan jatuh seminggu dari sekarang. Stella pasti akan bahagia dengan piano barunya. Setelah rajin menabung hampir dua tahun, akhirnya aku bisa membelikan sesuatu yang sangat disukai oleh anak perempuanku yang cantik dan luar biasa.
Ini belum seberapa, aku akan terus berjuang agar Stella bisa meraih cita-citanya. Seorang ibu sepertiku akan merasa sangat berharga ketika bisa membuat anaknya bahagia dan bisa meraih impian anaknya.