'Bodoh,' gumam Vedra dalam hatinya. 'ini benar-benar bodoh ....'
Dengan menahan perasaan gugup dan takut yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya, Vedra melangkah memasuki kamar kakaknya yang berpenerangan remang-remang.
"Pertama-tama, matikan lampu!" bisik Vedra dan jemarinya tergerak untuk menekan saklar hingga yang tersisa hanya kegelapan yang menyergapnya dari berbagai penjuru.
Setelah itu dia cepat-cepat berbaring di atas tempat tidur kakaknya dengan menghamparkan selimut tebal hingga menutupi seluruh tubuhnya dari kaki hingga kepala.
Vedra merasakan pekatnya gelap yang menyelimutinya sampai dia merasa tidak perlu lagi untuk memejamkan mata. Yang dia lakukan hanyalah menunggu dengan gelisah sambil menggigit bibirnya erat-erat.
Tidak berapa lama kemudian, Vedra mendengar suara pintu berderit pelan. Seketika dia mencengkeram selimutnya erat-erat, berharap jika apa yang direncanakan kakaknya itu akan berlangsung dengan lancar dan dia bisa segera pergi meninggalkan kamar dengan jala yang masih utuh.
Cklek!
Vedra menahan napas saat mendengar bunyi pintu kamar kakaknya dikunci dengan rapat. Namun, dia tetap tidak dapat menahan debar jantungnya yang bertalu-talu seakan menandai bahwa pertempuran besar akan berlangsung tak lama lagi. Firasat Vedra semakin terasa tidak enak saat dia merasakan tempat tidur kakaknya berguncang pelan seiring dengan sesuatu yang cukup berat mendarat begitu saja di samping tubuhnya yang meringkuk.
***
Beberapa jam sebelum itu ....
"Ve, tolong gantikan aku semalam saja!" Sabrina mencegat adiknya yang baru saja pulang bermain.
Vedra membulatkan matanya ketika sang kakak membisikkan permintaan tolong ke telinganya.
"Apa? Menggantikan Kakak di ... kamar saat malam pertama pernikahan Kakak?" seru Vedra terkejut.
"Sshhh!" Sabrina cepat-cepat membungkam mulut Vedra dan mendorongnya ke kamar.
"Kakak sudah nggak waras?" seru Vedra marah ketika Sabrina menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Aku nggak paham begituan, dan lagi... Arrgghh, aku itu sama aja adalah adik iparnya! Masa aku harus ...." Vedra mengerucutkan kesepuluh jarinya dan membuat simbol mulut yang sedang beradu, setelah itu dia bergidik sendiri dengan wajah jijik.
Betapa herannya dia, Sabrina justru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya.
"Ve, pikiranmu kejauhan. Aku nggak minta kamu melayani kakak ipar kamu sendiri, tapi cuma menggantikan aku tidur di kamar saat malam pertama pernikahan kami!" Sabrina memperjelas.
Vedra terdiam, tanpa sadar dia memejamkan mata dan langsung terbayang ada jemari-jemari besar yang berselancar bebas di setiap inci permukaan kulitnya.
"Enggak! Aku nggak mau!" geleng Vedra kuat-kuat. "Aku masih kecil Kak, aku nggak mau dijadikan umpan dalam urusan rumah tangga kalian ...."
Sabrina mengembuskan napas panjang. "Please Ve, semalam saja ya?" pintanya dengan sangat. "Aku nggak siap melakukan itu sama dia ...."
"Apalagi aku!" sergah Vedra. "Aku itu masih sekolah Kak, kenapa aku disuruh menggantikan Kakak di malam sakral itu? Siapa yang bisa menjamin kalau esok paginya aku bisa bangun tidur dengan tubuh yang masih utuh?"
Sabrina tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kamu berharap apa, dimutilasi?" tanyanya, membuat Vedra bergidik lagi.
"Aku nggak mau ah Kak, itu ide yang benar-benar gila. Aku bisa dibunuh sama orang tua kita!" seru Vedra dramatis sambil duduk di tepi tempat tidurnya. "Lagian kalau Kakak nggak mau malam pertama sama suaminya, kenapa Kakak mau nikah sama dia?"
Sabrina menghela napas dengan wajah muram, lalu ikut duduk di tepi tempat tidur adiknya.
"Kamu kan tahu kalau aku dipaksa nikah sama pria lain ...." Dia mengerutkan matanya dan mengeluh. "Pacar aku yang ganteng banget itu rencananya mau kawin lari sama aku, tapi ... ayah sama ibu lebih dulu bertindak dengan menerima lamaran kakak ipar kamu! Malangnya nasib kakakmu ini, Ve ...."
Vedra mengembuskan napas panjang, dia sangat hapal dengan karakter kakaknya yang seorang ratu drama.
"Maaf Kak, aku nggak mau. Risikonya aku bisa kehilangan harta aku yang paling berharga ..." kata Vedra menolak. "Aku nggak mau disentuh orang sebelum menikah."
"Ve, pleaassseee?" Sabrina memandang adiknya dengan wajah memelas. "Kamu cuma menggantikan aku tidur di kamar, aku jamin nggak bakalan ada yang terjadi sama kamu ...."
"Kalau nggak ada yang terjadi, terus kenapa Kakak nggak mau malam pertama sendiri sama suaminya?" tanya Vedra penuh selidik. "Malah dengan sengaja minta aku menggantikan tidur di kamar Kakak. Astaga Kak ... tobat dong!"
"Berisik kamu!" ketus Sabrina dengan wajah cemberut. "Aku itu nggak cinta sama suami aku, Ve. Dan aku sudah bilang sama dia untuk nggak menyalakan lampu saat tidur bersama. Itu artinya suami aku nggak akan tahu kalau yang ada di kamar nanti adalah adik iparnya."
Vedra menepuk keningnya keras-keras. "Yang aku permasalahkan adalah gimana kalau kakak ipar tahu itu adalah aku dan tetap menerkamku?" tanya Vedra sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Aku nggak mau diriku ternoda, Kak ...."
Sabrina menggeleng kuat-kuat.
"Itu nggak akan terjadi, Ve. Suami aku ini adalah pria yang katanya sih baik, dia nggak akan menyentuh cewek yang bukan istrinya." Sabrina menjelaskan.
"Kakak ini aneh, dapat pria baik kok nggak mau menjalani sepenuh hati." Vedra berkomentar, dia memang tidak begitu mengenal kakak ipar yang resmi menikahi Sabrina pagi tadi.
"Masalahnya aku nggak cinta sama dia," jawab Sabrina dengan bibir mengerucut. "aku juga sudah punya pacar. Tapi orang tua kita saja yang nggak mau mendengarkan aku."
Vedra menarik napas panjang, dia tidak begitu paham tentang kisah cinta rumit yang dialami kakaknya itu.
"Pokoknya dijamin aman," bujuk Sabrina lagi. "Kalau dia cepat tidur, paginya aku akan langsung menggantikan kamu lagi."
"Kalau ternyata dia ... anu, memutuskan mau main-main dulu gimana?" tanya Vedra gelisah. "Terus sandiwara ini akan ketahuan dan aku bisa kena amuk dua keluarga besar."
"Kamu tinggal bilang kalau kamu salah masuk kamar, beres." Sabrina menjentikkan jari-jarinya. "Sementara itu aku bisa pura-pura ketiduran di ruang televisi. Mau ya Ve, please?"
Vedra diam saja, dia tidak mau terlibat apa pun dengan rencana bodoh kakaknya itu.
"Kalau kamu nggak mau, aku akan cabut biaya sekolah kamu." Sabrina yang habis akal akhirnya memutuskan untuk mengancam sang adik. "Kamu tahu kan kalau ayah sama ibu kita mulai masuk usia senja, sedangkan biaya sekolah kamu banyak banget? Kamu mau putus sekolah di tengah jalan dan nggak bisa melanjutkan pendidikan kamu ke universitas?"
Vedra meremas jari-jarinya dengan kalut. Kalau Sabrina sudah mulai mengancam, itu artinya dia sudah tidak mungkin lagi untuk bilang tidak.
"Tolonglah Ve, gantikan aku semalam aja. Aku jamin kalau kamu nggak akan disentuh sedikitpun sama suami aku," bujuk Sabrina lagi. "Tolong."
Vedra tidak punya kuasa untuk menolak lagi.
Dan kini dia mulai menyesal, terlebih saat dirinya merasakan pergerakan selimut yang menyapu lembut tubuhnya yang gemetar.
Bersambung -