Ketika dalam perjalanan pulang, Cendric tidak hentinya memikirkan tentang keberanian Sabrina yang berniat untuk mengelabuinya dengan menyuruh Vedra tidur di kamar yang seharusnya mereka tempati malam ini sebagai pasangan suami istri.
"Apa yang akan Kakak katakan kalau sampai ayah tahu soal ini?" tanya Oza ketika dia dan Cendric tiba di rumah milik kedua orang tua mereka.
"Aku masih memikirkannya," jawab Cendric sembari turun dari mobil. "1-1 untuk malam ini, aku sendiri nggak menyangka kalau Sabrina ternyata juga menghindari tidur sama suaminya sendiri."
Oza tidak tahu harus menanggapi bagaimana, jadi dia hanya bisa menghela napas karena sempat terseret dalam drama pernikahan kakak kandungnya.
Cendric memasuki kamarnya sendiri setelah mengunci pintu rapat-rapat. Setelah itu dia membayangkan insiden yang terjadi di rumah mertuanya malam ini, perasaan tercoreng dan terhina mulai menggerogoti pikirannya.
Apalagi jika dia ingat tentang adik iparnya yang turut serta menipunya, seperti Oza yang sengaja dia suruh untuk menggantikan tempatnya di kamar Sabrina.
"Lihat saja, aku akan membalasnya." Cendric melepas kemejanya dengan sedikit menyentak, hingga sebutir mata kancingnya lepas dan jatuh memantul di atas lantai.
"Jelaskan, kenapa kamu dan Sabrina tidak langsung tidur jadi satu setelah resmi menikah?"
Orang tua Cendric tak kalah murka saat mengetahui bahwa anak dan menantunya sama-sama saling menipu demi menggagalkan malam pertama mereka sendiri.
Cendric menarik napas, pagi-pagi dia sudah harus menerima dua telepon bernada amukan. Yang pertama adalah ibunya, menerornya sejak subuh tadi dan sekarang ayahnya yang menelepon untuk menuntut penjelasan lebih jauh lagi.
"Aku sudah jelaskan semuanya sama ibu, Yah." Cendric menegaskan.
"Ayah harus dengar dari kamu sendiri, kamu sengaja mempermalukan nama baik ayah di depan keluarga istri kamu?" balas Garin Danadyaksa dengan suara menggelegar.
"Bukan begitu, Sabrina sendiri juga nggak menginginkan pernikahan ini Yah ..." Cendric beralasan. "Dia bahkan melakukan hal yang sama dengan menyuruh adiknya sendiri untuk nenempati kamarnya sebelum Oza datang."
"Trik murahan semua," tegas Garin meradang, setelah itu dia menutup teleponnya tanpa mengatakan apa-apa kepada Cendric.
Saat Oza turun untuk sarapan, dia merasakan hawa-hawa tidak enak begitu kakinya tiba di dapur dan sudah ada Cendric yang duduk di salah satu kursi.
Oza tahu kakaknya itu adalah tipe yang tidak suka diusik, karenanya dia lebih memilih untuk segera mengambil piring yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga mereka.
"Ayah dan ibu sedang dalam perjalanan menuju ke sini," kata Cendric memberi tahu.
"Separah itu?" komentar Oza sembari menyendok nasi.
Cendric mengangguk dengan wajah sekeruh lumpur. Oza cepat-cepat menyantap sarapannya hingga habis dan berangkat ke kampus untuk kuliah.
Benar saja, setibanya di tanah air, Garin Danadyaksa dan sang istri langsung mendatangi anak mereka di kantor.
Cendric sudah berusaha menjelaskan kepada orang tuanya soal dia dan Sabrina yang tidak menginginkan pernikahan ini, tapi Garin enggan menerima opini putra pertamanya. Tanpa basa-basi, Garin menetapkan hukuman kepada Cendric dengan memintanya untuk tetap meneruskan pernikahan meski dia dan Sabrina tidak saling cinta.
Sejak mendengar cerita Oza bahwa Vedra ikut terlibat dalam tipu daya Sabrina, Cendric merasa tertarik ingin balas mengerjai Vedra. Dia menjadi semakin terikat dengan pernikahan ini juga gara-gara campur tangan adik iparnya itu.
"Apa? Aku nggak setuju."
Ozra dengan tegas menolak saat Cendric menyuruhnya untuk mengerjai Vedra karena dia berpendapat bahwa Vedra juga hanya korban seperti dirinya.
"Kenapa sih, jangan bilang kalau kamu suka sama Vedra?" cemooh Cendric dengan tangan terlipat di dada.
"Masalahnya dia kan saudara ipar aku sekarang," sahut Oza beralasan. "Lagipula aku sama dia adalah korban dari rencana curang kalian berdua."
Cendric mendengus, kekesalan hatinya semakin memuncak manakala dia harus segera menjemput Sabrina untuk diajak ke rumah dan tinggal bersama.
Sementara itu di rumah orang tuanya, Sabrina terlihat sedang serius berbicara dengan seseorang melalui sambungan ponsel.
"Sayang, maaf ya. Aku belum bisa pisah sama suami aku," ucap Sabrina dengan suara semanis madu. "Rencana aku gagal total ...."
"Terus? Akhirnya kamu jadi tidur sama dia?" tanya Vando, kekasih Sabrina yang terpaksa berhubungan diam-diam karena kisah mereka harus berakhir di tangan orang tua masing-masing.
"Enggak kok, kamu tenang aja." Sabrina menyahut. "Aku sama dia nggak jadi tidur sekamar kok. Aku juga nggak mau tidur sama orang yang nggak aku cintai meskipun dia suami sah aku."
Terdengar suara Vando yang menghela napas panjang setelah mendengar penjelasan Sabrina.
"Kamu jangan pernah mengkhianati aku," kata Vando memperingatkan. "Aku sayang banget sama kamu, Sabrina."
"Aku juga," sahut Sabrina dengan sepenuh hati. "Aku akan tetap jaga jarak sama suami aku, iya ... Eh Van, aku tutup dulu ya? Soalnya dia mau datang jemput aku ... ya gimana ...? Aku nggak bisa nolak dong ... Iya, tenang aja. Bye!"
Sabrina memutus sambungan tepat ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya.
"Cendric sudah datang," kata Rosita memberi tahu. "Cepat beres-beres, kamu kan mau diboyong ke rumah suami kamu."
Sabrina menarik napas panjang, kemudian mengangguk dengan setengah hati.
"Ingat ya, Brina. Kamu harus jaga tingkah di rumah suami kamu," pesan Rosita saat dia mengantar Sabrina untuk turun menemui Cendric yang sudah menunggu di ruang tamu.
"Lama menunggu?" sapa Rosita kepada sang menantu.
Cendric langsung berdiri ketika Rosita dan Sabrina tiba.
"Tidak kok, Bu. Saya juga baru saja sampai," sahut Cendric sambil tersenyum sopan.
"Aku langsung ya, Bu?" Sabrina menoleh ke arah Rosita. "Sampaikan sama Vedra, aku buru-buru jadi nggak bisa nunggu dia."
Rosita mengangguk, Cendric segera berpamitan karena dia sendiri tidak bisa lama-lama.
"Kamu sudah siapkan kamar sendiri buat aku kan?" tanya Sabrina ketika mobil yang dikemudikan Cendric meluncur mulus membelah jalanan beraspal.
"Tentu saja," jawab Cendric singkat.
Sabrina menarik napas lega, setidaknya dia bisa membuat kedua orang tuanya tenang karena dirinya dan Cendric telah tinggal dalam satu rumah.
Perjalanan terus dilanjutkan meskipun keduanya enggan untuk saling mengobrol. Hingga tak berapa lama kemudian mobil yang dikemudikan Cendric akhirnya tiba di kediaman orang tuanya.
"Ini kan rumah Pak Garin," komentar Sabrina ketika Cendric membelokkan mobilnya ke halaman sebuah rumah megah berdesain interior semi-Eropa klasik yang membuat mata terbelalak saking kagumnya. "Kamu belum punya rumah?"
Cendric mematikan mesin mobilnya dan tidak menjawab. Dia mendahului turun dan menyuruh seorang penjaga rumah untuk mengangkut barang-barang Sabrina.
"Kamarku di sebelah mana?" tanya Sabrina sembari menyusul suaminya masuk ke rumah.
"Sebelumnya aku peringatkan kamu," jawab Cendric seraya menghentikan langkahnya dan memandang Sabrina. "Kamu boleh tidur di kamar sebelah, tapi kamu harus tidur di kamarku kalau ayah dan ibuku pulang ke rumah."
Sabrina balas memandang Cendric dengan wajah keberatan.
Bersambung –