Sabrina justru hanya melengos saja ketika mendapat pertanyaan dari sang suami.
"Aku jemput adik aku, masa iya apa-apa harus laporan sama kamu?" tukas Sabrina dengan nada tidak suka.
Vedra yang berada di tengah-tengah mereka, mampu merasakan bahwa tidak ada tanda-tanda cinta yang membungkus status pasangan suami-istri di hadapannya.
Dia bahkan tidak berani menatap Cendric dan lebih memilih untuk menundukkan kepalanya selagi bisa.
"Memang seharusnya begitu kan?" tanya Cendric dengan suara sedingin es. "Jangan bersikap seenaknya kamu sama suami. Setelah kemarin kamu sengaja pasang adik kamu buat mengelabui aku, terus kamu ...."
"Bukannya kamu juga melakukan hal yang sama?" balas Sabrina dengan mata membulat penuh dengan sorot mata pembangkangan. "Kamu sengaja kan suruh Oza buat menyelinap ke kamar aku?"
Vedra menelan ludah saat mendengar perdebatan kedua kakaknya itu. Mereka yang bertengkar, tapi dia yang merinding melihatnya.
Cendric balas menatap Sabrina dengan sorot mata yang tidak kalah bengis bak sayatan pedang tajam yang menusuk sampai lapisan kulit terdalam.
"Kamu ...."
"Sudah deh, kamu nggak malu marah-marah kayak begini di depan adik aku?" potong Sabrina ketika Cendric baru mau bicara. "Ada adik aku loh, setidaknya bisa kan kamu lebih ramah sedikit?"
Vedra merasakan bulu kuduknya semakin meremang ketika dia mendengar Sabrina mencatut namanya sampai seperti itu.
"Terserah, lakukan saja apa yang kamu suka." Cendric melayangkan tatapan mata tajamnya ke arah Sabrina dan Vedra bergantian sebelum akhirnya dia melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kak, menurutku yang tadi keterlaluan deh ..." bisik Vedra ketika Sabrina mengajaknya untuk pergi ke kamar. "Kak Cendric itu kan suami Kakak ...."
"Ngerti apa sih kamu soal pernikahan?" tukas Sabrina seraya menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Vedra tidak berani berkomentar apa-apa lagi soal pernikahan kakaknya.
"Jadi kenapa Kakak minta aku ke sini?" tanya Vedra mengalihkan topik. "Aku jadi nggak enak sama Kak Cendric. Terus kalau nanti tiba-tiba orangtuanya datang gimana?"
"Nggak apa-apa lagi, kamu kan adik iparnya Cendric." Sabrina mengambil remot dan menyalakan televisi. "Aku bosan aja sih, males rasanya tinggal serumah sama suami yang nggak aku cintai."
Vedra sejujurnya ingin mengatakan bahwa Sabrina begitu tidak bersyukur memiliki suami yang sosoknya seperti Cendric Danadyaksa, pria muda yang sudah menjadi bos di perusahaan pribadi milik orangtuanya.
Namun, tentu saja Vedra tidak ingin menghadapi risiko putus sekolah seandainya dia nekat mengutarakan pendapatnya tadi.
"Santai aja, anggap rumah sendiri." Sabrina melirik Vedra yang duduk terkantuk-kantuk di sofa yang tersedia di kamarnya. "Setidaknya aku ada teman di sini, Ve."
Kedua mata Sabrina menerawang ke arah lain, teringat dengan kekasih hatinya yang dia tinggalkan gara-gara kesepakatan orangtuanya dengan orangtua Cendric yang tidak dia kenal.
"Vando ..." Mendadak Sabrina memejamkan matanya dan bergumam sendiri.
"Kak, aku malah bosan di sini." Suara Vedra yang mengeluh segera menyadarkan Sabrina untuk kembali ke alam kenyataan.
"Ya kamu ngapain kek, bikin kopi apa minuman yang kamu suka. Terserah kamu," sahut Sabrina seraya menyangga kepalanya dengan tangan.
"Aku mana berani geladak-geluduk di rumah orang, Kak. Kalau tiba-tiba bertemu Kak Cendric kan aku yang nggak enak," kata Vedra beralasan. "Bisa ngantuk aku kalau nggak ada kerjaan begini."
Sabrina mengganti saluran televisi karena acaranya yang kurang menarik.
"Tiduran sebentar juga boleh kok, habis ini aku suruh pembantunya Cendric buat bikin minuman." Dia menoleh sekilas kemudian mengarahkan pandangannya ke televisi lagi.
***
Cendric sedang termenung sendirian di ruang kerja ayahnya, dia geram sekali dengan sikap Sabrina yang dengan seenaknya mengajak orang asing untuk masuk ke ruang orangtuanya tanpa izin.
Meskipun faktanya Vedra bukan sembarang orang asing, melainkan adik iparnya sendiri.
Cendric tentu belum lupa dengan keterlibatan Vedra dalam peristiwa yang terjadi tepat di malam pertamanya saat itu.
Perlahan tapi pasti, ada keinginan yang membuat Cendric merasa harus menuntut balas atas perbuatan Vedra yang telah berani ikut campur dalam urusannya.
"Lagi buat kopi, Bi?" tanya Cendric datar ketika dia meninggalkan ruang kerja ayahnya dan berbelok ke arah dapur.
"Bukan, Tuan. Tapi teh buat adiknya Nyonya Sabrina," jawab wanita paruh baya yang biasa dipanggil bibi oleh Cendric sejak dia remaja.
"Biar saya saja yang bawa," pinta Cendric yang tiba-tiba menangkap ide iseng yang melintas di kepalanya.
"Aduuhh, jangan ... Nanti bibi kena tegur, Tuan ..." Bibi yang bernama asli Erni itu menggeleng sungkan bercampur takut.
"Kalau begitu saya bikinkan sekalian," suruh Cendric sambil berpikir sebentar. "Kopi campur creamer sedikit ya, Bi?"
Erni menganggukkan kepalanya.
"Sekarang juga saya buatkan," sahut Erni sambil tersenyum keibuan.
Cendric balas tersenyum puas kemudian pergi sebentar meninggalkan dapur.
Ernie dengan tenang mengambil satu cangkir baru yang masih bersih, kemudian membuatkan kopi creamer kesukaan putra majikannya.
Sementara itu di kamar Sabrina, Vedra sedang terkantuk-kantuk dengan hebatnya.
"Kak, aku numpang tidur sebentar ya?" ucap Vedra lirih karena kamar Sabrina yang adem membuatnya tak kuasa menahan keinginan untuk memejamkan mata.
"Iya, Ve ..." sahut Sabrina bersamaan dengan ponselnya yang berdering nyaring dan sukses mengalihkan perhatiannya dari televisi. "Ah, Vando nelepon?"
Sabrina lantas meraih ponselnya dan berjingkat pergi meninggalkan Vedra yang sudah terbenam di balik selimutnya yang lebar.
"Halo, Van? Soriiii, aku kan harus jauhan sebentar biar nggak ketahuan! Iyaa ... aku udah di balkon kamar, aman kok!" Sabrina berbisik melalui ponselnya. "... aku juga sayang kamu ...."
Ketika Sabrina masih asyik bercengkrama di balkon, Erni masuk seraya membawakan minum untuk Vedra yang ternyata belum sepenuhnya terlelap.
"Ngantuk ya, Non?" tanya Erni sambil mengembangkan senyumnya. "Ini, diminum dulu biar segar."
"Ah, terima kasih!" Vedra bangun dan balas tersenyum. "Ngantuk sekali, Bi ...."
Vedra mengambil minumannya dan meneguk sedikit demi sedikit hingga habis.
"Kalau butuh apa-apa, silakan panggil bibi." Erni mengangguk sopan kepada Vedra, setelah itu berbalik pergi meninggalkan kamar.
Setelah minum, Vedra justru semakin merasakan kantuk yang semakin kuat.
"Tidur di sini sebentar nggak apa-apa kan ya?" gumam Vedra seraya menutup kuap lebarnya dengan tangan, dia meregangkan kedua lengannya dan berbaring miring membelakangi pintu.
Udara sejuk yang ada di kamar ber-AC membuat tidur Vedra begitu nyenyak tanpa mimpi. Sampai pada akhirnya ....
Vedra berbalik dan matanya mengerjab ketika dia tersadar. Perlahan, pandangan matanya menangkap sosok kekar yang berbaring tepat di sampingnya. Dia hampir saja menjerit kalau saja sosok itu tidak segera membekap mulutnya.
"Jangan macam-macam," desis Cendric dengan tatapan matanya yang menyorot tajam. "Di mana Sabrina?"
Vedra menggelengkan kepala dengan buru-buru, kemeja Cendric yang terbuka dan memperlihatkan sebagian dada bidang sekaligus perutnya yang sixpack membuat fokus Vedra sedikit teralihkan.
Bersambung –