Vedra menggigit bibirnya sendiri saat dia merasakan selimut yang menutupi sekujur tubuhnya bergeser beberapa senti. Tanpa sadar dia menelan ludahnya sendiri ketika sesuatu yang datar dan hangat menyentuh punggungnya.
'Ya ampun, jangan sampai kakak ipar melakukan itu sama aku!' pekik Vedra dalam hati sembari bergerak menjauh dengan sangat pelan. 'Aku nggak akan maafin Kak Sabrina kalau aku sampai kenapa-napa!'
Hampir setengah jam berlalu dan Vedra nyaris tak berani bernapas saking takutnya. Detik jam di dinding menjadi salah satu sumber suara di sekitar mereka selain bunyi degup jantungnya sendiri.
Waktu terus bergerak maju dan Vedra sesekali menunjukkan pergerakan sesamar mungkin, karena dia tidak sanggup untuk terus terbaring kaku seperti patung tanpa nyawa. Dia bisa merasakan seseorang yang ada di sampingnya bergeming seakan sedang tertidur pulas seperti yang Sabrina katakan sebelumnya.
'Cepetan pagi ...' ratap Vedra dalam hati sembari meringkuk, dia berusaha keras untuk tetap terjaga sampai esok hari. Jangan sampai dirinya ikut terlelap tidur, lalu bangun-bangun dia sudah dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun di tubuhnya ....
Tidak!
Vedra hampir menjerit saat sesuatu yang hangat itu bergerak menggesek punggungnya, dia cepat-cepat membekap mulutnya dengan satu tangan untuk mencegah suaranya lolos.
Vedra mulai merasakan sensasi tidak nyaman saat ada sesuatu yang bergerak-gerak di balik selimut yang dia kenakan. Bayangan akan hewan melata yang merayap di tempat tidur kakaknya membuat Vedra menjerit kencang.
"AAAAAAAAARRRGGHH!"
Jeritan Vedra membuat orang di sampingnya ikut berteriak kencang dan membangunkan seisi rumah.
"Kamu siapa?!"seru Vedra tertahan saat melihat seorang cowok dengan tubuh proporsional bangun di sampingnya dalam kondisi rambut yang awut-awutan.
"Lho, kok ... bukan Kak Sabrina sih?" balas cowok itu dengan wajah mengernyit bingung.
"Ada apa sih, seperti ada yang teriak ...?"
"Suaranya dari kamar Sabrina ...."
"Yang benar saja anak itu, malam pertama kok teriak sekencang tadi ...."
Vedra terkesiap ngeri saat suara-suara penghuni rumah mulai berkumpul di depan kamar Sabrina.
"Mati aku ..." gumam Vedra gelisah, dia melirik cowok yang terduduk tegang di sampingnya. "Gimana nih?"
"Ini kamar siapa sih sebenarnya?" tanya cowok itu kebingungan.
Sebelum Vedra sempat menjawab, lampu kamar mendadak terbuka dan beberapa orang terlihat berkerumun di hadapan mereka: kedua orang tua Vedra dan Cendric, bahkan Sabrina juga ada.
Kedua mata Vedra membelalak lebar ketika Sabrina memberinya kode melalui kedipan mata.
"Apa-apaan ini, ya ampun!" seru Rosita, ibunda Vedra memegang bagian depan piyama tidurnya.
Cowok yang berada di sebelah Vedra lantas menepuk keningnya dengan sebelah tangan.
"Oza!" tegur Cendric, suami sah Sabrina. "Kemari."
Cowok yang dipanggil Oza lantas berdiri dan mendatangi Cendric dengan salah tingkah. Sementara itu Sabrina enggan berkomentar dan memasang wajah datar tanpa ekspresi.
"Jelaskan," perintah Baskara, ayah Sabrina ketika Vedra dan Oza sama-sama digelandang di ruang keluarga. "apa yang kalian lakukan di kamar Sabrina?"
Vedra duduk dengan jari jemari yang saling meremas di atas pangkuannya. Di sebelah, tampang Oza tidak kalah keruhnya dengan Cendric.
"Bukankah seharusnya kamar itu dipakai Sabrina dan juga Cendric?" tanya Rosita dengan napas teratur. "Astaga, kalian berdua ini kan saudara ipar ... Masa kalian sampai hati melakukan ...."
"Bukan seperti itu, Ma!" bantah Vedra buru-buru.
"Ibu jangan salah paham dulu!" timpal Oza. "Kami nggak melakukan apa-apa!"
"Kalau begitu jelaskan," desak Baskara tegas. "jangan membuat semua orang salah paham sampai seperti ini."
Ketika itulah Sabrina langsung bereaksi.
"Ma, Pa, kelihatannya ini cuma kekeliruan yang wajar ... Mungkin aja Oza salah masuk kamar?"
"Papa maklum kalau Oza salah kamar, tapi Vedra?" tukas Baskara. "Sudah berapa tahun dia tinggal di rumah ini, bisa-bisanya dia salah masuk kamar."
Vedra menelan ludah, dia bingung harus menjelaskan apa kepada kedua orang tuanya. Kehadiran Cendric menambah suasana menjadi sempurna untuk semakin membuatnya merasa sedang dihakimi. Dia tambah semakin malu karena ternyata yang berada di kamar kakaknya bukanlah Cendric, tapi Oza.
"Ve, jawab jujur." Rosita mendesak. "atau kita semua tidak akan tidur sampai pagi demi menunggu jawaban dari kamu."
Vedra terbelalak lagi. Mati aku, pekiknya lagi dalam hati. Dia tidak bisa membiarkan dirinya disudutkan sendirian begini sementara di sana Sabrina hanya berdiri diam tanpa berusaha membantunya sedikitpun.
"Kak Sabrina, Ma ... Pa ..." lirih Vedra akhirnya. "Dia yang ...."
"Kamu bilang apa? Aku nggak ada hubungannya sama semua ini!" sergah Sabrina ketika Vedra mencatut namanya.
Rosita dan Baskara serentak menoleh ke arahnya.
"Dengarkan adikmu bicara dulu," kata Baskara tegas.
"Tapi, Pa ... Aku nggak ...."
"Sabrina," potong Rosita lembut tapi mengandung penolakan untuk diinterupsi. "Vedra, lanjutkan."
Vedra terduduk beku di kursinya, dia tidak bisa tidak peduli dengan risiko Sabrina yang akan menahan uang untuk kuliahnya jika sampai sandiwara ini terbongkar.
"Kak Sabrina ... menyuruhku ..." Vedra terpaksa meneruskan kalimatnya saat merasakan pandangan mata Cendric yang tajam menusuk terarah kepadanya.
Semua orang yang ada di situ mendengarkan pengakuan Vedra dengan ekspresi yang sulit dikatakan. Terlebih Cendric, yang sebelah tangannya terkepal saat mengetahui bahwa Sabrina sengaja mengerjainya.
"Trik macam apa ini?" komentar Baskara berang. "Jadi seharusnya, Cendric yang ada di kamar Sabrina saat itu kan? Lalu kenapa bisa ada Oza di sana?"
Kali ini giliran Oza yang merasakan tekanan serupa seperti yang diterima Vedra tadi.
"Oza, katakan sesuatu." Rosita meminta.
Oza menelan ludah, tertangkap olehnya bagaimana tatapan mata Cendric memaksanya untuk tetap tutup mulut meskipun tekanan berat sedang menghujam dari segala sisi.
"Saya ... saya juga ... sama ..." ucap Oza patah-patah.
"Sama apa, ceritakan yang jelas." Baskara menatap Oza dengan penuh selidik.
Cendric menggelengkan kepalanya ketika Oza memilih untuk buka suara di hadapan istri dan kedua mertuanya serta adik ipar yang juga sama-sama salah.
"Sial, kita ditipu!" Cendric berdesis ketika dia dan Oza duduk di teras rumah sementara Baskara masih menginterogasi kedua putri mereka di ruang tamu.
"Kakak kan juga menipu," sahut Oza realistis tanpa memandang Cendric. "Kakak ipar ternyata nggak sebodoh yang Kakak kira, makanya dia punya pikiran yang sama untuk mengerjai Kakak."
Cendric terdiam, antara perasaan marah karena telah ditipu dengan trik yang sama serta perasaan bingung jika masalah ini sampai ke telinga orang tuanya yang ada di luar negeri sana.
"Ini semacam ... penghinaan pribadi buat aku," geram Cendric, teringat dengan keberanian Vedra mengungkapkan trik murahan kakaknya.
Sebelum Oza membuka mulut untuk berkomentar, Baskara mendadak muncul di pintu.
"Cendric, apa keputusan kamu malam ini?" tanya Baskara tanpa berbelit-belit.
"Mungkin saya sebaiknya pulang ke rumah dulu, Pa. Sepertinya Sabrina juga belum siap harus bermalam bersama saya di kamar yang sama," jawab Cendric lambat-lambat. "Kami butuh waktu."
Baskara merasa tidak punya hak untuk melarang menantunya pergi, apalagi Sabrina masih terlalu shock dengan pernikahannya yang serba mendadak persiapannya.
Bersambung –