Ada senyum samar di wajah guru berkaca mata itu, sebagai reaksi dari sentuhan Helena.
"Ini masalah yang tidak bisa ditolerir, karena menyangkut nama baik sekolah! Bayangin saja apa jadinya kalau sekolah ini tiba-tiba terkenal karena muridnya ternyata salah satu model porno..."
Helena cepat-cepat merogoh tasnya. Bayangan tentang dikeluarkan dari sekolah dan reaksi orang tuanya akan kasus yang menimpa dirinya membuat ia menjadi nekad.
Ia mengeluarkan segepok uang berwarna merah dari dalam tasnya.
"Ini untuk Bapak. Saya nanti akan tambahkan kalau saya sudah menerima honor dari agency tempat saya bekerja...." Helena cepat-cepat menyorongkan uang itu ke hadapan Pak Darham.
Guru ini terpaku sesaat. Ia menatap uang itu, dan Helena secara bergantian.
"Apa ini maksudnya?" Guru itu menatapnya dengan tatapan nanar. Matanya agak memicing. Tiba-tiba ia mendengus seperti sapi. "Kau mau menyuapku?! Kau pikir aku ini siapa?" Ia menatap Helena dengan tatapan marah.
Tiba-tiba suara meja digebrak terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Guru itu berdiri dari duduknya. Memandang Helena yang tersentak dan menciut dengan tatapan seram.
"Ambil kembali uangmu, dan keluar dari ruangan ini!!!" Ia membentak dengan suara menggelegar.
Barangkali kalau ruangan itu berdekatan dengan ruangan lainnya tentu akan banyak yang berdatangan mendengar ribut-ribut. Tapi karena ruangan itu jauh terkucil dari ruangan-ruangan lainnya membuat suasana perang itu tak terdengar.
Helena merasakan lututnya lemas.
"Ini sangat fatal Helena. Seorang siswa sekolah berusaha melakukan aksi suap menyuap untuk menutupi kesalahannya. Ini sebuah kesalahan besar! Ini kesalahan tingkat dunia!" guru itu berteriak di dekat telinganya. "Dan ini kriminalitas!"
Seekor cecak di dinding terlihat jatuh ke lantai karena kerasnya teriakan itu.
"Aku akan laporkan hal ini kepada kepala sekolah, ini sudah kewajibanku! Tak bisa dibiarkan!" Guru itu bergerak pelan ke arah pintu.
"Pak guru...! Kumohon...!" Helena memelas. Ia mencengkeram kemeja bagian lengan guru itu agar tidak bisa membuka pintu. "Tak bisakah ini diselesaikan di antara kita saja?"
Gerakan guru itu terhenti. Ia menoleh kaku ke arah Helena yang menatapnya dengan tatapan memohon. Ia menurunkan tangannya yang tengah menggenggam gerendel pintu.
"Lepaskan tanganmu. Kalau kau terus meremas kemejaku bisa-bisa jadi sobek. Aku tidak mau kejadiannya jadi sama seperti kisah nabi Yusuf dengan isteri raja!" si guru menggerundel.
Helena cepat-cepat melepaskan tangannya. "Maaf, Pak. Tapi janji ya, jangan buka pintu itu..." Helena nyengir. "Lagian kalau ceritanya kayak cerita nabi Yusuf dan isteri raja, berarti Bapak ganteng dong!" rayu nya, kendati hatinya tak ikhlas untuk merayu.
Tatapan guru itu melunak. Ia berbalik pelan ke arah gadis itu. Menatapnya dengan tatapan yang lebih sejuk.
"Apa kau bilang tadi?" Pak Darham menatapnya tak berkedip.
"Eee, maksudnya terima kasih sudah tidak membuka pintunya," Helena nyengir.
"Bukan itu! Yang kau bilang barusan!" Guru itu menyahut cepat. Tatapannya jadi aneh.
Helena mengerutkan alis. "Saya lupa, yang mana, Pak...?"
"Masak lupa? Kan baru saja kau bilang tadi: persoalan ini supaya diselesaikan di antara kita saja... hm, maksudnya apa?"
"Oh?" Helena ternganga sejenak. Tapi ia jadi tersenyum lega. Sepertinya guru ini mulai melunak. Berarti pintu negosiasi terbuka kembali!
"Saya bersedia membuat kesepakatan! Kalau bapak mau saya senang sekali," kata Helena dengan jantung lebih berdetak kencang.
Bibir guru berkulit hitam yang semula menguncup sebal, kini mulai mengembang menjadi sebuah senyum lebar.
Ia membetulkan letak kacamatanya lalu berjalan kembali ke kursinya.
"Duduklah...!" Ia mengarahkan telunjuknya ke kursi di depannya.
Helena duduk kembali. Tapi masih dengan perasaan tegang.
"Kau tadi bilang ada kesepakatan. Oke, itu bisa diatur! Tapi ingat! Kesepakatan bisa kembali dibatalkan jika salah satu pihak merasa tidak puas dengan kesepakatan itu, oke?"
Pak Darham menatap lekat siswi cantik di depannya. Seperti ingin menelanjangi siswi itu dengan kaca mata sinar-X nya.
"Saya tak ingin masalah ini melebar kesana kemari hingga ke kepala sekolah. Bapak mungkin perlu tambahan dua kali lipat dari yang saya tawarkan tadi..." Helena menyentuh uang yang berserakan di atas meja.
"Oh, tidak! Tidak! Bukan ini yang kumaksud!" Pak Darham menyorongkan kembali uang itu. Ia menggeleng keras sambil tersenyum. "Aku tidak perlu uangmu! Justru akulah yang akan membayarmu untuk kesepakatan ini!" Guru itu menjawab dengan tegas. Ia lalu mengambil secarik kertas, mencoret-coret sesuatu di atasnya kemudian menyorongkannya ke arah Helena.
Gadis itu mengambilnya dengan alis berkerut. Di situ cuma tertera dua nama, dirinya dan si guru, selebihnya ruang untuk tanda tangan kedua pihak. Tak ada tercantum kesepakatannya dalam bentuk apa. "Kok cuma ini Pak? Mana isi kesepakatannya?"
"Tanda tangani saja dulu, baru kita bahas isinya bersama-sama. Jangan banyak tanya. Mau aman apa tidak?" Pak Darham memelototkan matanya.
Helena ragu-ragu sejenak. Seperti berpikir.
"Ini pulpennya. Cepat!" Pak Darham menyorongkan sebatang pena.
Helena cepat membubuhkan tanda tangan. "Aneh, pak. Tanda tangan kok mendahului kesepakatan? Saya takut jangan-jangan setelah selesai tanda tangan, tahu-tahu isinya kesepakatan jadi tumbal pesugihan," dengan wajah cemberut gadis itu menyerahkan kembali lembaran kertasnya.
"Tenanglah! Aku berani sumpah, kamu tidak akan aku jadikan tumbal pesugihan!" Guru itu mengambil lembaran itu dengan senyum gembira. Ia bersiul-siul sambil membubuhkan pula tanda tangannya. "Kalau begini kan urusannya jadi cepat selesai. Kenapa gak dari tadi..."
Helena menunggu dengan perasaan bingung.
"Nah, sekarang kita bahas poin demi poin kesepakatan kita..." guru itu meletakkan lembaran kertas itu di hadapan Helena. "Dengar baik-baik, ya... nomor satu: saya akan memberikan tunjangan padamu sebesar dua juta rupiah perbulan..." katanya.
Helena mengerutkan alis. Guru itu menuliskan apa yang ia ucapkan di atas kertas.
"Poin kedua.... saya tidak akan mempermasalkan lagi masalah foto bugilmu dalam bentuk apapun. Kamu setuju...?"
"Oke!" Helena mengangguk senang.
"Nah, ini poin yang ketiga! Dan ini harus disepakati oleh kedua belah pihak karena sifatnya mengikat, dan tidak boleh dibantah...."
"Apa itu, Pak?" Helena penasaran.
"Jangan sela perkataanku! Dengarkan saja! Poin yang ketiga..." guru itu sengaja mengantung kalimatnya, seraya menatap tajam ke arah Helena. "Helena harus menikah siri denganku. Perjanjian selesai...." ia cepat-cepat menuliskan kalimatnya.
Helena membelalak. "Pak...! Itu...!" Ia segera merebut pena itu dari tangan guru nya. "Gak! Gak! Aku gak mau kawin! Aku mau sekolah!"
"Helena! Dengar! Kalau ini tidak disepakati, berarti kesepakatan dibatalkan! Dan aku harus meneruskan masalah ini ke kepala sekolah!"
"Tapi aku gak mau kawin pak! Aku mau sekolah!" Helena tetap membantah.
"Dengar! Tak akan ada yang tahu kalau kamu sudah kawin! Ini dirahasiakan! Kamu bisa bersekolah seperti biasa. Gak akan hamil juga kok! Kita kan pakai alat kontrasepsi...!"
"Enggak!" Helena meringis.