Hari berganti. Tak terasa aku dan Raya telah berada di penghujung bangku SMA. Rasanya campur aduk antara senang dan sedih karena kita akan memulai suasana baru namun kita terpisah setelah enam tahun melalui segalanya bersama. Aku memutuskan untuk berkuliah di Bandung dan Raya memutuskan untuk berkuliah di Surabaya. Ibuku sangat mengharapkan aku untuk menjadi orang pertama yang sukses di keluarga. Dan aku berjanji untuk giat belajar dan menjadi orang sukses agar aku bisa memperbaiki kondisi perekonomian keluarga.
Tiba saatnya aku dan Raya berpisah. Aku yang terlebih dahulu berangkat tak kuasa menahan air mata kala Raya dan keluarga mengantarkanku ke bandara. Tangisku pecah. Rasanya tak ingin berpisah namun aku dituntut oleh keadaan yang mengharuskanku sukses di masa depan. Dua minggu setelah aku berangkat kini giliran Raya. Tangisnya pun pecah kala ibu memeluknya erat dan memberikannya beberapa petuah. Aku dan Raya kini berkomunikasi hanya melalui via telepon.
***
Tinggg!! Satu pesan singkat masuk. "Hai,Leya , masih ingat aku nggak? Aku Rifan". Rifan adalah temanku dari TK sampai SMA namun kami tak terlalu dekat hanya saja orang tua kami sangat akrab. Dan kini dia sedang melanjutkan pendidikannya di Jerman. "Oh Rifan, iya iya aku masih ingat, ada apa ya Fan?." tanyaku. " Gimana kabarmu? Sudah lama kita nggak bertemu" ujarnya. " Baik" jawabku singkat. Semakin hari aku dan Rifan semakin dekat. Aku sering menceritakan sosok Rifan kepada Raya. "Ya, masih ingat Rifan nggak?" tanyaku. "Masih, kenapa emangnya ?" tanya Raya. "Gapapa, akhir-akhir ini aku sering ngobrol intens gitu sama dia" ujarku. Kemudian Raya malah sering ngeledek aku sejak aku menceritakan Rifan padanya. Aku hanya tersipu malu dan senyum-senyum nggak jelas.
Hari berganti, nampaknya kami mulai sibuk dengan urusan satu sama lain. Mulai segan tuk menyapa walau hanya sekedar bertanya kabar. Tingggg!!! Pesan masuk. Aku berharap itu adalah pesan dari Raya namun ternyata Rifan. "Leya, aku boleh ngomong sesuatu nggak?" ujarnya. "boleh" jawabku. "Aku minta tolong kamu jangan ada pacar dulu ya sampai aku kembali ke indonesia" pintanya. Ambigu. Aku merasa aneh dengan permintannya seolah memberiku harapan. Aku pun menurutinya. Semakin hari perhatian Rifan semakin menjadi dan aku merasa perhatiannya lebih dari sahabat. Aku terbuai. Benih-benih cinta pun mulai tumbuh dan merebak. Semakin hari semakin dekat layaknya pasangan kekasih namun tak sedikitpun kepastian terucap dari mulutnya. Aku bingung, rasaku mulai tumbuh namun ia tak pernah mengucapkan satu kata pun mengenai hubungan yang kurasa tidak jelas ini. Aku memutuskan untuk menjalaninya saja. Aku tak tahu perasaan dia kepadaku seperti apa. Sebenarnya aku takut salah menebak.
Tahun menggulung tahun, tak terasa sudah empat tahun aku hidup di tanah rantau. Kini, aku mulai sibuk menyelesaikan deadline skripsiku karena sebentar lagi aku akan sidang. "Leya , gimana bimbingan kamu hari ini?" tanya Rifan. "Lancar , Fan" jawabku. Rifan selalu memberikan semngat untukku , tidak lupa pula ia selalu mengingatkanku untuk makan dan istirahat dan dia pun tak segan untuk selalu menemaniku begadang hingga larut malam. " Leya, sepertinya tahun ini aku bakalan mampir ke indonesia, kamu mau hadiah apa dari aku?" tanya Rifan. "Aku ga perlu hadiah apa-apa yang penting aku bisa ketemu sama kamu aja itu udah cukup" jawabku. " mmm , oh iya aku pengen beliin kamu cincin di sini nanti dipakai ya " ujarnya. Aku menolak. Namun, ia tetap kekeh akan membelikannya.
***
Satu pekan berlalu. Jadwal sidangku telah keluar. Aku deg-degan dibuatnya. Aku menelpon orang tuaku dan mereka mendoakan serta memberikanku semangat yang luar biasa agar aku bisa sidang dengan lancar. " Leya, kapan jadwal sidang kamu?" tanya Rifan. "Lusa, aku degdegan Fan" ujarku. "udah santai aja, pasti kamu bisa jangan panik" Rifan terus memberikanku semangat. Aku terus menanti balasan pesan dari Raya. "Ya, lusa aku sidang doakan ya semoga dilancarkan ". Namun sayang pesan itu sama sekali tak dibalas oleh Raya. Tiba-tiba saat aku sedang membuka instagram, aku melihat story Raya sedang jalan dengan seorang laki-laki yang nggak aku kenal. Dan Raya selama ini pun tak pernah bercerita seolah menutupi segalanya. Aku terus berfikir positif tentang dia.
***
Tiba saatnya aku sidang. Aku degdegan saat mulai memasuki ruangan. Dan alhamdulillah aku bisa melewati sidangnya dengan lancar. Aku menelpon orang tuaku dan mereka nampak bahagia. "Rifan, aku sudah selesai sidangnya dan syukur berjalan lancar" kataku. " wah selamat ya berlianku , semoga sukses selalu" ujarnya. " Berlian?" tanyaku heran. "Iya, kamu tuh berlianku kamu berharga buat aku" ujarnya. Dasar gombal. Aku tersipu malu. Tingg!!! Pesan masuk. "Leya, selamat ya atas kelulusanmu aku bahagia". Pesan singkat itu dikirim oleh Raya. Aku bahagia sekali. Aku mencoba menelponnya namun tak diangkat. "Makasih ya ,Raya. Gimana kabarmu?" tanyaku. Namun pesan itu pun kembali tak dibalas.
***
Hari mulai berganti. Tak terasa kini aku menyandang gelar sarjana dan perlahan-lahan sedang mulai meniti karir. Aku diterima kerja sebagai staff development bussines di sebuah perusahaan bergengsi di Jakarta. Aku sangat bersyukur orang-orang di dalamnya pun sangat ramah padaku. Seketika terbesit nama Raya dalam benakku. "Anak itu kemana ya sampai sekarang tak kunjung ada kabar" gumamku. Aku mencoba menelpon kembali namun tak diangkat. Bahkan pesanku yang lalu saja tak dibalas. Aku kembali fokus untuk bekerja.
Tingg!!! "Leya, minggu depan aku pulang ke Indonesia." kata Rifan. Aku senang bukan main karena Rifan akan kembali ke Indonesia. Banyak sekali anganku untuk bisa jalan berdua, ngobrol intens, dan sebagainya bersama Rifan. Aku pun membalas pesannya dengan sangat bahagia.
Senja menyapa. Wah bukan main jalanan ibu kota begitu padat merayap dan sangat bising dengan suara klakson yang dimainkan oleh para pengendara roda empat maupun roda dua. Aku yang duduk termenung di atas bangku busway, mulai melirik satu persatu suasana dan kondisi yang ada. Terbesit dibenakku untuk membuat sebuah tulisan mengenai kisah rantauku yang jauh dari keluarga. Sesampainya di apartemen, aku bergegas mandi dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku duduk di depan laptopku dan mulai menulis. Aku iseng untuk membuat sebuah cerita rantau dan tak disangka ketika aku mencoba menerbitkannya malah menjadi sebuah buku yang banyak digemari para pembaca dan aku terus mendapatkan dukungan dan apresiasi dari mereka. Aku sangat gembira.