Satu pekan berlalu, Rifan tiba di Indonesia. Kebetulan Rifan singgah dua hari ke Jakarta untuk menemuiku. Dia pun tinggal di hotel yang tidak jauh dari tempat tinggalku. "Leya" panggil Rifan terkejut. "kamu cantik banget, sumpah" dia mulai menggombaliku. Aku hanya tersipu malu. Dua hari kami habiskan bersama. Kami berjalan-jalan menyusuri ruas jalan ibu kota, menghabiskan waktu dengan penuh canda tawa. Sampai tak terasa dua hari telah berlalu. Rifan harus berangkat ke tanah kelahirannya yaitu Kalimantan yang juga tanah kelahiranku. Aku memutuskan untuk mengambil cuti selama sepekan dan berangkat bersama Rifan di hari yang sama. "Aku bahagia bertemu kamu, Fan". Gumamku. Aku masih menunggu kepastian Rifan seperti apa karena dia berlagak seolah menyukaiku namun ragu tuk menyatakan perasaannya padaku.
***
Sesampainya di Kalimantan aku di sambut bahagia oleh dua keluarga. Keluargaku dan keluarga Rifan yang juga menjemputnya di bandara. "Tante, om" aku bersalaman dengan kedua orang tua Rifan begitupun sebaliknya. "Ya ampun kamu cantik sekali , udah besar makin cantik" rayu ibu Rifan. Aku hanya melontarkan senyum lebar kepada mereka.
Malam harinya Rifan berkunjung ke rumahku dan di sana dia terkejut kala cincin yang ingin dia berikan malah tertinggal. "Ya, ampun Leya maafin aku ya cincinnya ketinggalan". Rifan meminta maaf. Aku tak mempermasalahkan itu karena hari esok masih ada tuk memberikannya. Kami pun mulai sibuk mengobrol dan bersenda gurau. Aku merasa malam ini adalah malam yang paling sempurna.
***
Keesokan harinya Rifan tak kunjung ada kabar. "Kemana Rifan?" aku cemas. Aku mencoba menghubunginya namun tak bisa. Pesanku pun tak dibalas. Dua hari berlalu, tepatnya malam minggu aku sedang asik duduk membaca novel kemudian Grace menghampiriku. "Kak, lihat deh ka Rifan foto bareng cewe, aku fikir kalian pacaran". sambil menunjukkan ponselnya padaku. Rasanya sesak. Namun aku terus berlagak positif thinking dan mencoba menghadapinya dengan santai. Aku takut kejadian ini terulang lagi. Sebenarnya pada saat SMA aku mulai mengagumi sosok Rifan namun semakin ingin dekat dengannya aku semakin banyak saingan bahkan mereka lebih cantik dan lebih baik dari aku. Dan di saat bersamaan Rifan pun mulai dekat dengan teman sekelasku tapi aku tak pernah tahu mereka pacaran atau tidak. Dan rasanya sedikit sakit. Sampai aku pun berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi padanya. Tapi kini , aku melanggar janji itu. Aku kembali terjerumus dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Aku mencoba melihat kembali status Rifan dan memberanikan diri untuk membalasnya. "Fan, " kataku. Namun tak kunjung di balas. Beberapa jam kemudian Rifan menjawab pesanku. "Iya, Leya ada apa ?". "Kapan kita bisa ketemu lagi? Tiga hari lagi aku sudah kembali ke Jakarta loh." kataku. Lalu Rifan menjawab "Ya ampun Leya aku minta maaf ya, aku pengen ngebucin dulu sama Rista mumpung aku masih di Indonesia, kamu ingat kan dia teman SD kita, kayaknya aku suka deh sama dia". Aku terkejut mendengar pengakuan Rifan dan aku pun mencoba untuk tidak menangis. "Dasar bodoh" pekikku. Aku salah mengartikan segala sikap Rifan kepadaku selama ini. Dan aku memilih untuk kembali ke Jakarta lebih cepat lagi. Aku mendadak memesan tiket malam ini untuk berangkat keesokan harinya.
***
Pagi menyapa. Aku bergegas untuk siap-siap berangkat ke Jakarta. Aku pamit pada kedua orang tuaku. Dan mereka heran kenapa aku kembali secara mendadak seperti ini. Sesampainya di Jakarta aku terus memikirkan Rifan. Tangisku pecah. Tak ada teman tuk berbagi keluh kesah. Raya seolah telah melupakanku. Aku hanya bisa duduk termenung disudut ruang bertemankan sepi. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Seketika aku berlari keluar dan mencoba menyembunyikan air mata dibalik tiap tetesan hujan. Aku terus berjalan menyusuri trotoar jalan yang sepi. Aku mencoba menata hati dibawah rintikan hujan. Kringggg!!!! Telepon berdering. Namun, aku tak mengangkatnya. Sesampainya di apartemen aku membuka ponsel genggamku dan ternyata yang menelpon adalah Raya. Aku terkejut dan menelpon balik. "Leya. Aku sebentar lagi mau menikah" ujar Raya. Aku terkejut. Namun Raya seolah bercanda mengatakan itu. Aku tak percaya karena dia sering saja bercanda dan usil. Tiba-tiba amarahnya pecah. Dia merasa kecewa karena responku tidak seperti respon teman-temannya yang lain. Dan dia pun tak mengharapkan kehadiranku di pernikahannya. Aku terus meminta maaf namun tak kunjung ada balasan.
***
Semakin hari rasanya aku semakin terhimpit oleh keadaan. Moodku benar-benar hancur berantakan. Aku tak habis pikir mengapa disaat kondisiku seperti ini satu persatu dari mereka yang ku sebut SAHABAT mulai perlahan menghilang dan asik dengan dunia mereka masing-masing. Aku kesal. Kecewa. Tapi hanya bisa ku pendam dalam diam.