"Mihai belum pulang?"
Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang ketika Asaka Cezar, kakak laki-laki tertua Mihai, kembali ke rumah untuk mengantarkan makanan sebelum kembali bekerja lagi. Ia langsung melihat papanya, Ioan, yang berjalan ke sana kemari di dalam rumah, penuh kecemasan.
Asaka Viorel, kakak laki-laki kedua Mihai, yang bekerja sebagai seorang novelis dan baru saja melewati deadline sedang duduk bersila pada meja makan pendek sambil menyeruput teh hangat. Piyama masih melapisi badan mungilnya dan rambut jingga kecoklatannya acak-acakan, penuh dengan jejak habis bangun tidur. Iris kuning kemerahan yang masih mengantuk menatap dingin pada Cezar. "Jadi ini karena Mihai? Apa yang dia lakukan?"
Kemarin, ia tidur sepanjang hari setelah begadang menyelesaikan novelnya, jadi ketika ia bangun dan menemukan papanya berjalan ke sana kemari di dalam rumah, ia sempat bertanya apa yang sedang terjadi. Namun, Ioan tidak ingin mengatakan apa-apa, merasa kalau ia membicarakan sumber kecemasannya, kecemasan itu akan semakin besar.
"Dia mendapatkan pekerjaan paruh waktu kemarin malam. Seharusnya Mihai sudah pulang pagi tadi tapi sampai aku ke kantor pun, dia belum pulang," jelas Cezar seraya menggeleng kecil. Dilihat dari keadaan papanya sekarang, adik kecilnya itu pasti belum pulang juga membuat ia ikut mengkhawatirkannya.
Namun, ia menahan kekhawatirannya itu dan berusaha tersenyum tenang. Ia harus menghibur papanya. "Tenanglah, Papa. Mungkin tempat kerjanya sedikit jauh jadi ia butuh waktu yang lebih untuk kembali," hiburnya.
Ioan menggeleng. "Aku tahu restoran kapal itu. Seharusnya dengan kaki Mihai, paling lama pun ia sudah ada di rumah sekitar pukul 10 dan sekarang sudah jam 12! Seharusnya ada pesta ulang tahun Kepala Keluarga Stoica di sana. Aku takut Mihai…." Tidak dapat melanjutkan kata-katanya, Ioan menutup wajahnya yang sudah hampir menangis.
"Walaupun Mihai ceroboh, dia masih tahu betapa bahayanya incubus. Dia pasti tidak akan seceroboh itu." Cezar berusaha terus menghibur. Namun, di dalam dirinya, ia juga memiliki kecemasan yang sama.
Bahkan, Viorel yang dingin pun, jika tentang adiknya itu, tidak bisa tetap berkepala dingin. Dengan tidak sabar, ia berdiri. "Aku akan pergi keluar untuk mencarinya."
"Tunggu dulu! Kau tidak bisa keluar dengan piyama tipis seperti itu!"
Berdecak kesal, Viorel segera berjalan menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Namun, langkah kakinya terhenti oleh bunyi pintu yang terbuka dan kembali ditutup.
"Aku pulang," ujar sebuah suara lesu. Tidak lama, sosok adik kecil mereka muncul di dalam ruang keluarga itu. Tidak ada keceriaan yang biasanya selalu dimiliki anak itu.
Ioan segera berlari untuk memeluk putranya yang lebih tinggi darinya. "Mihai! Kau baik-baik saja, kan?" tanyanya cemas melihat ekspresi sedih itu. Firasat buruk semakin memenuhinya.
Kontras dengan orang tua itu, kedua putranya merasa lebih ringan. Wajah sedih yang dibawa adik kecil mereka setelah pulang kerja bukanlah sesuatu yang langka. Alasannya hanya satu….
"Tenanglah Papa, dia pasti tidak apa-apa," ujar Cezar yang sudah mulai tenang. Dengan perasaan ringan, ia mengambil gelas kosong yang terletak begitu saja di atas meja dan mengisinya dengan air. Ia baru ingat dengan rasa hausnya karena terlalu lama berada di tengah udara dingin yang menusuk.
"Palingan dipecat lagi," tambah Viorel cuek. Ia kembali menyeruput teh hangatnya dengan anggun.
Ioan juga mulai berpikir begitu dan mulai mendapatkan kembali ketenangannya. Namun, wajah Mihai yang menjadi topik pembicaraan malah semakin jelek.
"Aku akan lebih senang jika ini hanya karena dipecat!" seru Mihai kesal. Rasanya ingin menangis tapi tidak ada air mata yang keluar.
Ucapan dokter yang mengecek kondisinya kembali terngiang.
Cezar dan Viorel merasakan keseriusan itu. Namun, banyak hal yang dianggap adik mereka serius tidaklah seserius itu jadi mereka hanya tertawa kecil dengan heran.
"Mengapa kau serius sekali? Memangnya masalah apa kalau bukan dipecat?" tanya Cezar mencairkan suarana.
Ioan yang kembali tegang oleh kekesalan Mihai juga kembali rileks. Ia juga tahu kebiasaan putranya yang terkadang melebih-lebihkan sesuatu.
Sebaliknya, Mihai semakin geram. Kedua tangannya terkepal erat. Tidak bisa lagi menahan beban berat itu, ia segera memuntahkannya dengan berseru keras, "AKU HAMIL!"
"puhh!!" Kedua kakaknya menyemburkan minuman mereka dan langsung terbatuk-batuk. Ioan memucat dan mematung di tempat.
"DAN ITU ANAK INCUBUS!" tambah Mihai dan saat itu juga papanya pingsan di tempat.
"Pa—Papa!"
*****
Tik! Tok! Tik! Tok!
Bunyi jarum jam dinding menggema di dalam kamar Ioan yang hening. Ioan duduk di atas tempat tidurnya dan ia dikelilingi oleh ketiga putranya.
Mihai duduk tertunduk, tidak berani menatap mata keluarganya. Ia baru saja menceritakan seluruh kronologi yang terjadi hingga ia bisa hamil. Tubuhnya menegang oleh suasana yang begitu berat ini.
"Mihai…."
Mihai terlonjak kaget oleh suara papanya yang tiba-tiba terdengar.
"…mengapa kau begitu…." Ioan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Amarahnya terlalu besar membuat ia tidak tahu akan mengatakan kata sekasar apa sehingga sebagai gantinya, ia berdecak kesal.
Cezar yang biasanya selalu tersenyum juga tidak memiliki senyuman di wajahnya. Ekspresinya begitu serius dan sepasang iris jingganya yang bagaikan matahari terbenam itu menatap tajam pada Mihai. Menggantikan papanya, ia membuka suara.
"Sudah kuingatkan berkali-kali untuk selalu ke dokter sebulan sekali, mengapa kau bisa lupa?! Hah?!"
Bulu kuduk Mihai naik semua. Kakak pertamanya adalah yang teramah dari mereka semua tapi juga terseram jika sudah membuatnya marah.
"A—aku terlalu fokus dengan pekerjaan ... dan…." Suara Mihai semakin mengecil di setiap katanya.
Alis Cezar terajut dalam. "Tidak ada alasan! Ini adalah hal yang penting! Dan seka—"
"Sekarang kau harus bagaimana?! Jika sampai para tetua tahu tentang kehamilanmu, apalagi jika anak yang lahir adalah incubus, entah anakmu saja atau kau juga tidak akan selamat!" Ioan menyela putra pertamanya, berseru dengan marah. Saking marahnya, air matanya sudah mengalir keluar.
Wajah Cezar dan Viorel ikut menggelap.
Sementara Mihai tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia tahu, seperti para incubus, half-beast juga membenci incubus. Jika sampai ada kaum mereka yang hamil hingga melahirkan anak incubus, tergantung keadaannya, ibu dan anaknya bisa dibakar hidup-hidup. memikirkannya saja membuat Mihai bergidik ngeri.
"Gugurkan."
Ketiganya terkejut. Mihai mendongak melihat papanya yang tiba-tiba mengatakan kata yang begitu menyeramkan.
"Pa—Papa bercanda, kan?"
Namun, Ioan tetap menatapnya dengan penuh keseriusan. "Gugurkan anak itu, Mihai." Sinar matanya memperlihatkan kesedihan dan kesakitan yang mendalam.
Seperti diremas dengan kuat, dada Mihai sakit luar biasa. Mendegar kata 'gugurkan' itu membuat sakitnya semakin tak tertahankan. "Tidak Pa! Aku tidak mau!"
Padahal Mihai bukanlah pria yang menyayangi anak kecil. Namun, memikirkan hidup yang sudah ada di perutnya itu akan dibunuh, ia tidak punya hati untuk meng-iya-kan ide itu.
"Mihai, kumohon! Ini demi keselamatanmu!"
Cezar dan Viorel juga mengangguk setuju. Mereka berpikiran hal yang sama.
"Tidak mau!" Mihai tetap bersikeras. Kedua tangannya refleks menutupi perutnya untuk melindungi jiwa itu. "Jika kalian ingin membunuhnya, bunuh aku dulu!" ancamnya.
Ioan langsung memucat. Namun, tidak ada rasa keterkejutan di dalam dirinya. Cezar dan Viorel juga sama. Hati mereka juga berat untuk meminta Mihai menggugurkan kandungannya. Mereka akhirnya hanya menghela napas panjang.
"Baiklah … kalau begitu, kami akan membantumu menutupinya. Jadi, tenanglah dan rawat kandunganmu. Setelah bayimu lahir, mari kita bicarakan langkah selanjutnya," ujar Cezar. Senyum akhirnya kembali muncul di wajahnya.
"Kak Cezar…." Mihai langsung memeluk kakak tertuanya itu dengan rasa terima kasih.
Di sampingnya, Viorel kembali menghela napas. "Dasar menyusahkan. Terserah padamu saja!" ujarnya cuek tapi Mihai bisa merasakan kasih sayang yang sulit dipahami dari kakak keduanya.
Mihai segera memeluk Viorel dengan erat membuat pria mungil itu hampir hilang di dalam pelukannya.
Ioan tersenyum kecil tapi kecemasannya masih terlihat jelas. Menyadari itu, Mihai segera memeluk papanya juga dan berujar dengan mantap, "Jangan khawatir! Semuanya akan baik-baik saja!"
"Aku malah semakin khawatir kalau kau yang mengatakannya." Ioan menghela napas panjang. Namun, tidak ada gunanya mengkhawatirkan hal yang sudah terjadi. Sekarang, ia harus memusingkan otaknya untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi putranya.
"Mihai, apa incubus itu menandaimu? Jika dia menandaimu, setidaknya kita bisa melihat identitas keluarga incubus itu," tanya Ioan yang berpikir untuk mengidentifikasi identitas incubus itu dulu tanpa menyangka identitas orang itu akan begitu spesial hingga ia hampir kembali jatuh pingsan.