Chereads / Catatan Cerita / Chapter 35 - Chapter 34: Mari Kita Bicara

Chapter 35 - Chapter 34: Mari Kita Bicara

Suara denting piano terdengar lembut dari ponsel Sheren. Sementara si pemilik ponsel sedang bermain-main dengan kucing-kucing yang berada di rumah penampungan hewan ini. Cyrus lalu duduk di samping Sheren sembari meletakkan segelas jus jeruk di samping Sheren.

"Lagu siapa yang kamu putar?"

"Coba tebak lagu punya siapa?"

Cyrus menatap ke arah kucing berwarna oranye yang ada di pangkuan Sheren. Sementara si kucing menatap Cyrus dengan mata bulatnya yang imut. "Mozart?" tanya Cyrus sambil menatap Sheren.

"Tet tot!"

"Bach?"

"Anda belum beruntung."

"Yiruma?"

Sheren tertawa. "Bukan Kak, ini adalah lagu ciptaanku."

"Ciptaanmu sendiri? Beneran?"

Sheren mengangguk. "Iya, ini lagu yang kuciptakan sendiri. Gimana menurut Kakak? Bagus atau enggak?"

"Bagus, bagus banget malah. Kenapa tidak kamu kirimkan ke perusahaan musik?"

Sheren tersenyum. Pandangan matanya menerawang ke langit. "Aku sudah melakukan itu. Semoga saja bisa berhasil."

"She, boleh tanya enggak?"

Sheren mengerjap, kemudian menatap Cyrus. "Boleh. Mau tanya apa?"

"Bagaimana perasaanmu?"

"Perasaanku?"

Cyrus mengangguk. "Iya, bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?"

"Perasaanku akhir-akhir ini sangat jungkir balik. Ada hari-hari dimana aku merasa sangat lelah. Ada hari-hari dimana aku merasa sangat sedih. Namun juga ada hari-hari dimana aku merasa sangat bahagia. Aku bahkan kembali menata pandanganku soal musik."

Kalimat terakhir Sheren membuat Cyrus tertarik. Pria muda itu menatap sang adik sepupu dengan pandangan penasaran. "Pandanganmu soal musik?"

"Dulu saat aku pertama kali bermain piano, aku merasa sangat bahagia. Piano dan musik adalah pusat duniaku dulu. Namun seiring waktu yang berjalan, aku merasa musik tidak lagi semenyenangkan dulu. Musik menjadi sesuatu yang mengekang, sesuatu yang menyiksa, dan memberatkan," senyum Sheren. "Tapi, aku juga tidak bisa menyangkal bahwa rasa cintaku pada musik masih tetap sama. Justru semakin hari aku semakin mencintai musik."

Cyrus tersenyum mendengar penuturan adik sepupunya ini. "Mempertahankan rasa cinta pada hal yang kita sukai dan menjaganya agar tetap sama adalah hal yang sulit."

"Sama seperti menjaga sebuah hubungan?" Sheren menatap Cyrus dengan tatapan jenaka.

"Sama seperti menjaga sebuah hubungan. Omong-omong, kamu sudah punya pacar belum?" tanya Cyrus langsung. Dia mengalihkan topik saat dia mendapat kesempatan untuk melakukannya.

Sheren menggeleng. "Enggak punya, aku masih jomblo Kak."

"Shawn?"

"Enggak kok. Kami hanya teman biasa. Jangan percaya pada Kak Reynold dan Shaka, mereka berlebihan," bantah Sheren. 'Walau sebenarnya dia sempat mengatakan hal itu. Namun, aku tidak boleh langsung mempercayainya,' lanjut Sheren dalam hati.

Cyrus mengangguk. "Yah, kamu tidak harus memikirkan tentang jodohmu sekarang. Masa depanmu masih sangat panjang. Kamu tidak boleh mensia-siakan waktumu untuk terlalu banyak bersenang-senang. Kamu harus giat dalam belajar, berdoa, dan tekun untuk mendapatkan masa depan yang layak. Tidak hanya untuk dirimu sendiri, namun juga untuk anak-anakmu kelak."

"Menjadi orang dewasa itu berat ya Kak?"

Cyrus tertawa. "Yah, tidak seberat itu. Ayo pulang, waktu sudah semakin sore."

Sheren mengangguk. Gadis cantik itu lalu berkemas. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.

***

Shaka berbaring di atas rerumputan di taman belakang. Sepasang manik matanya menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Sheren lalu datang menyusul kakaknya, namun dia tidak berbaring di rerumputan. Rambutnya masih basah karena dia baru saja keramas.

"She?"

"Ya?"

"Menurutmu saat kita dewasa nanti, akan jadi apa ya kita?" Shaka memandang langit sembari berbicara pada adiknya. Kini, kedua tangannya dia gunakan sebagai bantalan untuk kepalanya.

Sheren tersenyum. "Boleh gak sih aku berharap? Harapanku, aku ingin menjadi musisi yang sukses. Musisi yang dicintai masyarakat karena karyanya."

"Semoga Tuhan mengabulkan keinginanmu," doa Shaka menimpali harapan adiknya.

"Kalau kamu Ka?"

Shaka tersenyum, manik matanya kini menatap sang adik. "Selain menjadi orang yang sukses secara finansial, aku ingin menjadi seseorang yang bisa diandalkan dan seseorang yang bisa memberikan perlindungan untuk orang-orang di sekitarnya."

"Kamu sudah melakukan itu dengan sangat baik."

"Aku belum melakukan hal itu dengan sangat baik. Aku tidak berdaya saat Mama memarahi kamu hanya karena kamu bertengkar dengan Adisty. Aku juga tidak berdaya saat kamu merasa terkekang karena peraturan dari Mama dan Ayah. Aku masih belum sekuat itu, She."

Sheren tersenyum lembut, tangan kanannya menepuk-nepuk lembut pipi Shaka. "Aku percaya seiring berjalannya waktu, kamu akan menjadi pribadi yang kuat. Dan aku juga percaya bahwa kamu selalu bisa diandalkan setiap waktu oleh anak-anakmu kelak."

"Bicara soal masa depan selalu menjadi hal yang menyenangkan."

"Walau terkadang pembahasan kita terlalu berat," tawa Sheren riang.

Sheren kemudian beralih menatap langit malam yang gelap. "Shaka, gimana kabarmu dan Theresa? Dia masih suka mendekatimu?"

Senyuman kecut terukir di bibir Shaka. Pemuda itu lalu menatap langit malam yang gelap mengikuti tatapan sang adik. "Penyesalan terbesarku adalah pernah menerimanya sebagai pacarku karena aku kasihan padanya."

Sheren tertawa. "Turut berduka cita," ejeknya.

"Senang kamu ya? Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kepribadian gadis itu memiliki sedikit masalah. Namun, aku berusaha keras untuk bisa benar-benar lepas dari jangkauannya."

"Memang berat jika kita pernah menjalin hubungan dengan orang seperti Theresa."

Shaka lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Pemuda itu lalu menatap adiknya dengan antusias. "Bagaimana dengan Shawn?"

Kini, Sheren tersenyum kesal. Gadis itu menatap kakaknya tajam. "Enggak usah menyebarkan berita yang gak bener deh, Ka! Aku dan Shawn enggak ada apa-apa."

"Tapi Shawn suka sama kamu!"

"Heh? Gak mungkin! Dia gak pernah menghubungi aku selama ini, darimana bisa dia menyukaiku!"

Kini giliran Shaka yang terkejut. "Loh masak?! Coba sini lihat ponselmu!"

Sheren mengeluarkan ponselnya dari saku piyamanya. Lalu, memberikannya pada Shaka. Shaka kemudian mengutak-atik ponsel itu sebentar. Lalu, dia menemukan hal yang dia cari. "Ini apa? Ini nomor ponsel Shawn!"

Sheren menatap layar ponselnya dengan pandangan terpaku. Dia adalah tipikal perempuan yang jarang memainkan ponselnya karena dia sibuk dengan kesibukannya berlatih piano. Bahkan, pesan terbaru dari Shawn dikirim tiga puluh menit yang lalu. "Oh! Aku sudah lama tidak membuka aplikasi chatting."

Keterkejutan Shaka semakin bertambah saat dia menggeser tampilan aplikasi chatting itu semakin ke bawah. Ada banyak pesan tidak terbalas yang bahkan belum dibaca oleh adiknya. Ada banyak pesan dari Adisty, Cyrus, Sashi, Rhea, dan masih banyak lagi. "Kamu selama ini...Bagaimana caramu menggunakan ponselmu?"

"Aku menggunakannya untuk menelepon dan merekam lagu, serta untuk mendengarkan lagu. Aku lebih suka merebahkan diri di atas kasurku saat libur."

Mendengar penuturan adiknya yang polos namun fakta membuat Shaka merasa kesal. Pemuda itu lalu mengembalikan ponsel sang adik ke pemiliknya. Sheren kemudian membalas pesan Shawn, menjelaskan alasan kenapa dia tidak membuka pesan dari Shawn dengan alasan yang sama persis dengan yang dia katakan pada Shaka.

"She, kamu sebenarnya hidup di zaman apa sih? Punya ponsel bagus tapi tidak dipakai," dengus Shaka.

***

Surabaya, 1 Maret 2020

Hari ini sepertinya menjadi hari mengobrol sepanjang hari. Kesempatan yang hanya akan datang seminggu sekali, itu juga jika aku dan keluargaku tidak sibuk. Dan hari ini, aku baru tahu jika selama ini Shawn selalu mengirimiku pesan.Hal ini karena aku jarang menggunakan ponselku, kecuali untuk menelpon dan mendengarkan musik.