Chereads / He's My Billionaire (Te Iubesc) / Chapter 23 - Part 22

Chapter 23 - Part 22

Marsha berlarian kesana-kemari menikmati angin yang menerpa tubuhnya dengan tenang. Bahkan rambut panjangnya yang memang selalui ia gerai berterbangan kemana-mana. Ia menyusuri tepi pantai yang sebentar lagi akan menunjukkan keindahannya karena sang surya akan segera terbenam. Sedangkan Alland, ia hanya mengikuti Marsha dari belakang wanita itu. Menikmati pemandangan tubuh Marsha dan kebahagiaan yang terpancar dengan jelas di wajahnya yang lebih indah dari pemandangan pantai di sekitarnya saat ini.

Sejak tadi setelah mereka selesai makan di Cotte Restaurant, Marsha dengan manjanya memaksa Alland untuk membawanya ke pantai. Katanya wanita itu sangat ingin merasakan angin pantai yang selalu dirindukannya. Padahal menurut Alland, semua angin itu sama saja rasanya. Marsha bahkan sampai merengek dan memarahinya habis-habisan karena Alland tidak mau membawanya ke pantai. Akhirnya karena merasa tidak tega melihat mata Marsha yang mulai berkaca-kaca, Alland pun menyetujuinya. Dengan satu syarat, Marsha harus beristirahat terlebih dahulu di hotel, kemudian Alland akan membawanya ke pantai. Dan ajaibnya, Marsha langsung setuju.

Dan sekarang, disinilah mereka berada. Di sebuah pantai yang jauh dari keramaian karena memang tempat ini merupakan pantai pribadi milik Alland. Di atas sana terdapat sebuah Villa sederhana yang sengaja di bangun Alland untuk menghilangkan rasa lelahnya akan semua pekerjaannya ketika ia berkunjung ke London. Dan karena ia sudah muak dengan semua kemewahan di hidupnya, jadilah Villa itu Alland bangun dengan interior yang begitu sederhana.

"Astaga, hahaha."

Alland tersentak dari lamunananya melihat Marsha yang tiba-tiba sudah tersungkur di atas pasir putih yang memanjakan kaki itu. Bukannya kesal atau menangis, Marsha malah tertawa dengan lepas. Hal itu membuat hati Alland kembali menghangat. Sekarang dirinya mulai menyadari kalau ia terjebak akan permainan bodohnya itu. Awalnya ia hanya ingin membuat Marsha mengecheck kandungannya dengan cara mendekati wanita itu dan sedikit ingin bermain-main untuk menghilangkan rasa lelahnya. Tetapi sekarang, ia bahkan lupa akan tujuan awalnya. Dan Alland sama sekali tidak mempedulikan hal itu lagi. Alland sudah mulai menerima Marsha di hidupnya. Jika boleh jujur, Alland terlanjur mencintai Marsha.

"Kenapa kau terjatuh?" Tanyanya yang sudah membantu Marsha berdiri.

"Tersandung kakiku sendiri." Jawabnya disela tawanya.

"Seperti anak kecil saja." Kata Alland sembari terkekeh geli.

"Kau sedikit aneh Alland." Kata Marsha dengan tiba-tiba sambil menatap Alland tepat di manik matanya.

Alland mengangkat alisnya sebelah.

"Kau berbeda, Alland yang sekarang lebih menyenangkan dan aku menyukainya." Katanya berusaha untuk jujur sembari melemparkan senyuman termanisnya.

DEG.

Ya, Tuhan senyuman itu mematikan sekali.

"Kau juga sama." Balas Alland.

Marsha menganggukkan kepalanya membenarkan. "Setelah kulihat-lihat, ternyata kau memiliki sisi baik juga. Kau juga sudah menyelamatkanku dari si bajingan Noah."

"Dan aku memiliki alasan lain untuk itu. Anggap saja perubahanku ini sebagai ungkapan terima kasihku kepadamu." Lanjut Marsha dengan seulas senyuman di bibirnya yang merah merekah.

"Alasan lain?"

"Kau akan kuberitahu nanti." Katanya yang kemudian berjalan meninggalkan Alland di tepi pantai.

"Kau mau kemana?" Tanya Alland yang sudah mencengkal lengannya, memaksanya agar tidak pergi.

"Tadinya aku mau duduk disana menunggu sunset tiba, tapi sepertinya kau tidak rela membiarkanku pergi." Katanya dengan sengaja karena ingin menggoda Alland.

"Kau semakin pandai saja." Celetuknya.

"Tentu saja karena kau yang mengajarinya." Jawabnya dengan santai.

Marsha melepaskan tangan Alland dari lengannya, kemudian mendudukkan dirinya di atas pasir putih yang lembut.

"Sini." Ajaknya sembari menepuk pasir di sebelahnya, Alland pun menurut.

Mereka menatap langit yang mulai berwarna kuning keperakan. Dan beberapa menit kemudian warnanya berubah menjadi sedikit menggelap di kala matahari yang berada jauh di ujung sana mulai terbenam. Ditelan lautan yang lama-kelamaan sudah tidak kelihatan lagi. Dan malam pun akhirnya tiba.

Marsha tersenyum penuh. "Yang tadi itu indah sekali." Gumamnya dengan raut wajah yang terlihat sangat senang.

Mendengar gumaman Marsha, Alland pun menoleh secara perlahan-lahan kepada Marsha dan kemudian ia tersenyum penuh, sama seperti yang sedang Marsha lakukan saat ini.

"Kau jauh lebih indah." Gumamnya tanpa sadar.

Marsha pun menoleh cepat. "Kau mengatakan sesuatu?" Tanyanya yang langsung membuat Alland memalingkan wajahnya.

"Tidak."

"Aku lapar." Kata Marsha sembari mengelus perutnya yang ratanya.

Hal itu tidak luput dari pandangan Alland.

"Aku juga. Apa kau mau memasak untuk makan malam kita?" Tanya Alland yang langsung saja disetujui oleh Marsha.

"Tentu saja! Kau sangat tahu apa yang ingin aku lakukan, Alland. Aku sangat menyukai kegiatan masak-memasak." Katanya dengan antusias. Layaknya seorang anak kecil yang diberikan balon oleh ayahnya.

Alland tersenyum bahagia melihat pancaran kebahagiaan di mata Marsha. Mendengar Marsha mengatakan jika dirinyalah yang terbaik, membuat hati Alland kembali menghangat. Detak jantungnya pun tak kalah ikutan berpacu dengan cukup keras.

"Mengapa kau tidak menjadi koki saja? Masakanmu tidak buruk." Tanya Alland yang memang penasaran akan hal ini.

Senyuman Marsha memudar. Wanita itu menatapnya dengan tatapan kosong, hal itu membuat Alland merutuki dirinya sendiri karena telah bertanya demikian. Tapi ya mau gimana lagi, dirinya memang sudah penasaran sejak awal mereka berada di Paris sebelumnya.

"Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud." Katanya menyesal.

"Tidak apa. Sejak kecil aku selalu ingin menjadi koki. Uncleku dengan senang hati mengajariku, bahkan aku ikut dalam kursus memasak sejak di dalam taman kanak-kanak. Akan tetapi, karena sesuatu hal aku harus mengubur impianku itu dalam-dalam dan mulai merintis menjadi artis." Kata Marsha yang mulai bercerita.

Walaupun seharusnya ia tidak perlu bercerita, tapi ia percaya kepada Alland. Dan tidak tahu mengapa, perasaannya mengatakan jika Alland adalah orang yang tepat untuk ia bercerita. Seakan pria itu akan menyodorkan bahunya untuk menenangkan Marsha, memberikan jemarinya untuk menghapus air matanya, dan memberikannya dekapan hangat yang akan menghiburnya.

"Kau tidak harus menguburnya jika kau memang sangat ingin menjadi koki."

"Kau tidak mengerti. Aku terpaksa harus menjadi artis dan mendapatkan perhatian publik untuk membuatku terlihat lebih kuat. Juga aku membutuhkan kekuasaan."

Alland mengernyit bingung. "Kekuasaan? Untuk apa kau membutuhkan itu semua?" Tanyanya terlalu dini yang membuat Marsha tersadar jika dirinya terlalu jauh bercerita.

"Lupakan saja, aku sudah sangat lapar. Ayo kita makan." Ajaknya yang sudah meninggalkan Alland sebelum Alland kembali melontarkan pertanyaannya kepada Marsha.

Alland menatap kepergian Marsha dengan tatapan tak terbaca.

"Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu yang berbahaya, Marsha. Aku bisa merasakannya."

***