Suara berisik yang berasal dari dentuman keras yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey membuat kepala Marsha berdenyut sakit. Tidak biasanya Marsha merasakan hal yang seperti ini, apalagi sekujur tubuhnya terasa panas dingin. Marsha berani bersumpah jika sekarang tubuhnya terasa seperti terbakar.
"Hei, ada apa denganmu?" Tanya Noah panik melihat Marsha memegangi kepalanya sambil meringis menahan sakit.
Marsha tidak menjawab. Sentuhan Noah dibahunya membuat tubuhnya bereaksi sangat aneh. Rasanya ia sangat menginginkan sentuhan itu.
"Ahh..." Desahnya ketika Noah dengan tidak sengaja membelai lembut tengkuknya dengan sangat sensualnya. Sial, Marsha terlihat seperti jalang murahan.
"Marsha, ada apa? Apa kau sudah mabuk? Ini masih gelas pertamamu." Kata Noah.
Marsha menggelengkan kepalanya. "Noah, tubuhku panas sekali." Bisiknya dengan lirih. Sungguh, ini sangat menyiksanya.
"Apa kau membutuhkan sesuatu yang membantu mendinginkan tubuhmu?" Tanya Noah yang dibalas anggukan kepala dari Marsha.
"Kalau begitu aku tahu dimana tempatnya." Kata Noah yang langsung memapah Marsha menuju ke lantai tiga, dimana ia sudah memesan kamar disana.
Marsha dengan segera menuju ke kamar mandi dan membasahi tubuhnya di bawah shower. Walaupun sudah basah kuyub, Marsha merasakan tubuhnya tidak berubah sama sekali. Rasa panas itu masih menggerogoti tubuhnya.
"Noah panas sekali." Lirihnya lagi.
Noah dengan langkah pasti menghampiri Marsha. Mendekap wanita itu ke dalam pelukannya. Bertepatan dengan itu Marsha refleks mencium bibir Noah, melumatnya dalam. Dapat Marsha rasakan Noah tersenyum penuh kemenangan di sela ciuman panas mereka. Marsha mendorong tubuh Noah dengan cepat.
"Kau...jangan bilang jika kau yang melakukannya?" Tanyanya dengan wajah memerah menahan amarah.
Noah tersenyum menanggapi. "Tidak perlu khawatir. Efeknya akan berakhir jika kita menghabiskan malam yang indah ini Marsha." Katanya membuat Marsha menatapnya takut.
Kemana jiwa kemarahanmu Marsha!
"To...tolong jangan lakukan ini padaku Noah. Kau...kau bukan pria yang seperti itu." Katanya dengan terbata membuat Noah tertawa mendengarnya.
"Nikmati saja. Aku tahu kau juga menginginkannya." Bisiknya dengan nada yang sensual, kemudian tangannya mulai membelai lembut pipi Marsha hingga ke leher jenjangnya.
Marsha memejamkan matanya menahan gejolak kenikmatan itu.
"Ahh...lepaskan Noah!" Bentaknya dengan nada bergetar.
"Lepaskan? Bahkan kau menikmatinya. Tubuhmu tidak bisa menolaknya Marsha." Katanya yang kembali melumat bibir Marsha.
Marsha menangis di sela kegiatan panas mereka. Kini tubuhnya sudah tidak mengenakan apa-apa lagi, tentu saja Noah yang melakukannya. Sedangkan pria itu masih menyisakan celana jeansnya di bawah sana. Marsha tidak bisa menolak sentuhan-sentuhan Noah karena obat yang dimasukkan Noah ke dalam minumannya sangat membuat dirinya tersiksa jika tidak di sentuh. Bisa Marsha tebak jika obat itu adalah obat perangsang.
Noah Sialan!
Tepat ketika Noah hendak melakukan hal yang lebih bejat lagi, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan sangat kerasnya. Menimbulkan suara berisik dan mengejutkan mereka berdua. Dengan tatapan sayunya Marsha dapat melihat siapa pria itu.
"A...Alland?"
"Brengsek kau Noah!" Bentak Alland marah yang kemudian langsung menerjang Noah. Melayangkan pukulan-pukulan kerasnya di sekujur tubuh Noah. Bahkan sekarang Noah sudah tidak sadarkan diri.
"A...Alland, stop!"
"Tidak akan. Dia pantas mati!" Katanya dengan aura yang dipenuhi akan amarahnya. Marsha menatap Alland takut, baru kali ini dia melihat pria itu begitu menyeramkan.
"Alland please. Aku takut." Isak Marsha ketakutan. Ia takut akan apa yang sedang terjadi, terutama kepada dirinya sendiri yang kini tampak seperti jalang murahan.
Mendengar Marsha terisak, Alland langsung menghentikan kegiatannya itu. Ia berjalan menghampiri Marsha, membuka jasnya kemudian menyampirkannya di tubuh Marsha. Beruntung jas itu mampu menutupi hingga sepaha Marsha, sehingga wanita itu merasa sedikit lebih baik.
"Maafkan aku, aku terlambat." Lirih Alland tidak tega mendapati keadaan Marsha yang sangat memprihatinkan. Wanitanya hampir diperkosa oleh rekan kerjanya sendiri.
Marsha menyeka sisa air matanya. "Aku...aku kepanasan." Katanya yang berusaha membuka jas Alland di tubuhnya, tapi dengan cekatan Alland menghalangi niat Marsha itu.
Marsha memberontak. "Alland lepaskan jas ini. Sungguh, benar-benar panas disini. Aku...aku kepanasan." Katanya.
Alland menatap Marsha lekat-lekat, tepat dimanik mata wanita itu. Ada tatapan gairah nafsu yang ditunjukkan Marsha terhadapnya.
"Marsha, Are you okay?" Tanyanya khawatir. Tidak mengerti mengapa Marsha menatapnya penuh nafsu seperti itu. Biasanya tatapan tajam nan menusuk yang selalu menyambutnya, tapi malam ini berbeda.
"A...Alland, pria brengsek ini memberiku obat perangsang." Jawabnya dengan wajah merah merona. Ia malu mengatakannya, tapi memang tidak ada pilihan lain. Dia membutuhkan Alland seutuhnya saat ini.
Marsha dapat merasakan tubuh Alland menegang, bahkan kedua tangannya sudah kembali mengepal dengan sempurna. Tidak ketinggalan rahang tegas nan indah itu yang kini mengeras dengan sempurna. Alland kembali dikuasai oleh amarahnya. Dengan gerakan perlahan, Marsha menyentuh rahang Alland, mengelusnya dengan lembut.
"Jangan marah." Bisiknya.
Alland menggeram tertahan. Ia tidak suka Marsha menatapnya seperti itu. Wanita itu terasa seperti sedang menahan sakit karena menahan nafsu yang amat besar.
"Apa kau yakin? Aku mungkin akan menyakitimu." Kata Alland sembari menangkup pipi Marsha. Amarahnya sudah menghilang entah kemana. Kini yang tersisa adalah rasa prihatin dan tidak suka melihat Marsha menahan kesakitannya.
Marsha menggelengkan kepalanya lemah. "Lakukanlah. Ini lebih menyakitkan Alland." Katanya dengan pasrah.
"Kali ini aku merasa seperti pria brengsek Marsha. Mengambil kesempatan di dalam kesempitan."
"Padahal kau pernah melakukan hal brengsek itu dulu." Balas Marsha di tengah rasa kesakitannya.
"Waktu itu kita sama-sama di bawah pengaruh alkohol dan kau duluan yang menggodaku. Aku tidak akan tega menyakitimu lagi, Marsha." Jawab Alland dengan tatapan sendunya. Rasanya ia ingin membunuh Noah yang sudah melakukan hal keji itu kepada wanitanya.
"Lakukanlah Alland, tolong aku."
Alland memejamkan matanya sejenak, kemudian ia mulai meraih tubuh Marsha dan membawanya ke dalam gendongannya.
"Jangan menyesalinya."
"Tidak akan."
Alland mendesah kasar. "Nikmatilah, Marsha. Jangan merasa tersakiti." Kata Alland yang langsung diterjang dengan begitu beringasnya oleh Marsha ketika mereka sudah sampai di dalam kamar hotel yang sudah menjadi ruangan pribadi Alland.
"Lakukan bersama, Alland."
Alland menggeram menahan nafsunya.
"Baiklah, lakukan bersama."
***
Drrttt...Drrttt...
Suara getaran ponsel di atas nakas membangunkan tidur Alland yang begitu nyaman. Rasanya hanya untuk sekedar membuka mata saja Alland tidak bisa. Dan hal itu disebabkan oleh sebuah pelukan seseorang yang terbaring di sebelahnya yang terasa begitu hangat dan nyaman. Menelusup hingga ke dalam hatinya.
Alland tersenyum tulus mendapati Marsha yang sedang tertidur di sampingnya. Wajah polosnya membuat Alland tidak bosan memandanginya sepanjang pagi ini. Tidak seperti kejadian 5 bulan yang lalu dimana ia ditinggalkan oleh wanita itu. Pagi ini ia masih melihat partnernya di sebelahnya dan hal ini membuatnya kembali tersenyum. Ah, mengingat kejadian tadi malam membuat Alland sedikit dihujami rasa bersalah. Ia seperti pria brengsek yang hanya memanfaatkan keadaan saja, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Marsha dalam keadaan seperti itu. Kesalahan yang sama pun akhirnya terjadi. Sama seperti kesalahan yang mereka lakukan 5 bulan yang lalu.
Drrttt...Drrttt...
Alland berdecak kesal mendapati ponselnya yang tidak berhenti bergetar sedari tadi. Ia bersumpah akan membunuh orang itu jika menghubunginya hanya karena hal yang tidak berguna. Dengan terpaksa, Alland pun melepaskan dekapan Marsha dan duduk dari tidurnya. Ia kemudian meraih ponselnya yang masih bergetar di atas nakas.
Troy?
"Ada apa?!" Bentak Alland dengan kesal. Bisa-bisanya bawahannya itu menelponnya disaat yang tidak tepat, seperti saat ini.
"Maafkan saya jika saya mengganggu anda, Mr.Stanford. Saya ingin menyampaikan jika saya sudah menemukan info yang anda perintahkan." Jawab Troy diujung sana membuat Alland menoleh sekilas pada Marsha yang masih terlelap. Amarahnya pun langsung redup kala mendengar perkataan Troy yang mengatakan jika ia sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Memang orang kepercayaannya itu tidak bisa diragukan lagi.
"Katakanlah."
"Martin Charlotte, mantan koki terbaik yang pernah bekerja di Cotte Restaurant ternyata bukanlah ayah dari Ms.Charlotte."
"Apa maksudmu?" Tanyanya yang kembali menoleh pada Marsha. Takut jika wanita itu tiba-tiba bangun dan mendengar semua perbincangan mereka.
"Sangat mengejutkan jika Martin Charlotte adalah paman dari Ms.Charlotte."
Alland mendesah kasar mendengarnya. Ia sudah menduganya ketika mereka sedang berada di Paris beberapa hari yang lalu.
"Apa ada yang lain?"
"Ya, ada. Martin Charlotte tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia merupakan anak tunggal sejak lahir dan memiliki seorang putra yang bernama Hansel."
Damn it Marsha!
Siapa kau sebenarnya?
Mengapa terlalu banyak rahasia di hidupmu?
"Apa kau yakin?"
"Anda tidak perlu meragukan saya Mr.Stanford."
"Kalau begitu kabari aku jika kau mendapat informasi lain tentangnya. Aku membutuhkannya secepatnya Troy." Kata Alland bersungguh-sungguh.
"Baiklah, akan saya lakukan secepatnya."
Alland pun memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. Kembali menatap Marsha dan mengelus lembut surai panjangnya sebelum ia beranjak pergi.
"Terlalu banyak teka-teki di hidupmu Marsha, tapi aku berjanji akan memecahkannya sendiri dan akan selalu melindungimu." Katanya kemudian benar-benar pergi.
***