Chereads / Terjebak dalam dendam / Chapter 2 - Terjebak Dendam

Chapter 2 - Terjebak Dendam

Bagaimana perasaanmu, jika orang-orang yang kalian sayangi merengang nyawa? Apa yang akan kalian lakukan, jika menjadi saksi mata dari kejadian tersebut?

Jangan tanya lagi seberapa besar rasa marah dan dendam, yang menyelimuti hati seorang gadis yang menyaksikan pembantaian keluarganya. Perasaan marah itu bahkan memberi dorongan kuat untuk membalaskan kematian ayah, ibu dan kakaknya. Mata gadis itu membengkak dan merah karena menangis.

Jika saja ia tidak memaksa keluarganya pindah ke kota ini, mungkin mereka masih bisa berkumpul, saling melempar canda dan tawa. Kejadian mengerikan ini tidak akan pernah terjadi.

Gadis itu keluar dari persembunyiannya dan melangkah mendekati tubuh tak berdaya orang tua dan kakaknya. Ia memeluk tubuh yang berlumuran darah itu, sesekali ia juga melirik dua pria yang tak jauh dari tempatnya sekarang. Keadaan mereka juga sama kacaunya dengan mayat yang dipeluknya.

Ia bingung harus menghubungi siapa, ia tidak memiliki keluarga yang bisa diharapkan di kota ini. Ayah dan ibunya adalah anak tunggal, memikirkan cara menghadapi situasi saat ini membuat ia pusing.

Sebenarnya ia masih memiliki seorang paman. Tapi, apakah mungkin ia bisa membantu? Akan tetapi mengingat ekspresi kecewa yang dilemparkan paman untuk ayahnya ketika mereka dibandara waktu itu, membuat ia mengurungkan niat untuk menghubungi pamannya dan lebih memilih menghubungi kantor polisi.

Dering pertama tak ada respon, bengitupun dengan deringan kedua. Akan tetapi gadis itu tidak menyerah, ia mencoba dan mencoba lagi sampai suara seseorang terdengar dari seberang sana.

"Halo ada yang bisa kami bantu?" tanya seseorang di seberang sana.

"Ha-halo, to-tolong keluarga sa-saya Pak," katanya dengan terbata-bata.

"Apa yang bisa kami bantu?" tanyanya lagi.

"Disini telah terjadi pembunuhan berantai, Pak. Bisakah bapak membantu saya? Saya akan mengirimkan alamatnya," jawabnya dengan sekali tarikan nafas.

"Kami segera kesana."

Setelah sambungan telepon terputus, ia kembali mendekati ayah, ibu dan kakaknya. Rasanya sangat berat ditinggalkan seorang diri di negeri asing, bagaimana ia akan bertahan di umurnya yang masih sangat muda.

"Ibu, Ayah, Kak Al. Rasanya aku juga ingin menyusul kalian, ini sangat sulit bagiku. Tapi aku tidak akan menyusul sebelum aku membalaskan kematian kalian."

Ia terdiam netranya yang tajam lurus kedepan dengan tatapan kosong, "Nyawa harus dibalas dengan nyawa, aku akan membalaskan kematian keluargaku." Seringaian muncul menghiasi wajahnya yang sembab.

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Aleta Queen Elvina. Seorang gadis remaja yang dingin sedingin kutub utara, kulit putih seputih salju, tidak lagi dengan lekukan wajahnya yang nyaris sempurna mirip boneka barbie.

Sepasang mata cokelatnyaย  yang selalu menajam tajam di padukan dengan alis dan bulu mata yang lentik, hidung yang kecil namun mancung serta bibir mungil yang merah alami. Membuatnya semakin terlihat sempurna.

Siapa yang tidak akan terpesona dengan wajahnya yang nyaris sempurna itu, tetapi tidak ada yang mengetahui bahwa ia hanyalah gadis pendendam yang menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan dendamnya. Ia tinggal sendiri setelah keluarganya dibunuh, kegelapan selalu menyelimuti, dendam dan amarah yang membara. Membuat ia tumbuh menjadi gadis dingan yang tak peduli dengan sekitar.

"Aleta." Panggilan tersebut langsung membuyarkan lamunan seorang gadis yang duduk melamun di taman kampus.

"Tidak ada, aku hanya ingin duduk," jawabnya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

Aleta memutar mata malas dan langsung pergi meninggalkan pria itu, ia yang memanggil Aleta tadi hanya menggeleng memaklumi gadis kutub itu.

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Saat di parkiran Aleta berniat memasuki mobilnya, namun seseorang berteriak dengan memanggil namanya.

"Aleta, kamu aku pa_panggil da_dari tadi. Kamu bu_budek atau apa hah?" ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.

"Aku buru-buru," jawab Aleta dengan santai.

" Kamu tau, apa yang aku dapatkan dari lokermu?"

Tanpa berniat menjawab pertanyaan gadis itu, Aleta dengan santainya masuk dalam mobil.

"Masuk, aku buru buru Felysia."

Dengan terpaksa Felysia memasuki mobil Aleta, ia masih kesal dengan sikap Aleta yang selalu mengabaikannya. Mobil BMW merah itu melaju keluar dari area kampus menuju tujuan yang akan mereka kunjungi.

"Kamu tau...." Felysia belum menyelesaikan apa yang akan dikatakannya, tetapi Aleta terlebih dahulu memotong.

"Ambil saja, aku tidak membutuhkan barang-barang itu," katanya masih dengan pandangan lurus ke arah jalanan.

Rasa kesal yang dirasakan Felysia berangsur hilang, "Kau yakin, ini harganya sangat mahal, Aleta?" tanyanya dengan nada tak percaya.

"Terserah, buang saja jika tak suka. Aku tak membutuhkan kalung itu." Diloker pribadi Aleta memang selalu berisi surat, cokelat, bunga, boneka, dan barang-barang berharga seperti kalung yang di dapatkan oleh Felysia. Aleta jengah melihat barang-barang itu setiap hari, ia yakin sangat yakin sebelum pulang Aleta selalu memastikan lokernya terkunci rapat. Tetapi entah bagaimana cara mereka memasukkan barang-barang itu.

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Jarak antara kampus dan tempat yang akan mereka kunjungi cukup jauh, Felysia yang mengira Aleta akan pulang kerumah ternyata salah. Aleta melewati jalur yang berbeda.

"Aleta kita sudah melewati jalur menuju rumahmu?" tanyanya dengan ragu-ragu.

"Aku tau, sebaiknya jangan banyak tanya Felysia," jawabnya dengan mata yang masih fokus memperhatikan jalanan di depan.

"Tapi...."

"Tapi apa?"

"Tapi, inikan jalan menuju markas, apa ada masalah yang membuatmu harus turun tangan sendiri?" tanyanya lagi saat mereka melewati jalanan yang sangat sepi. Jalan ini menuju tengah hutan, di dalam hutan itu terletak sebuah rumah yang sangat megah. Dulunya itu rumah Aleta dan keluarganya, semenjak mereka meninggal Aleta memilih pindah dan menjadikan rumah peninggalan ayahnya sebagai markas mereka.

Aleta hanya diam tanpa berniat menjawab pertanyaan Felysia, keterdiaman Aleta membuat Felysia memberengut kesal karena lagi-lagi di acuhkan.

"Aiss, andai kau bukan sahabatku Leta. Sudah dari dulu aku meninggalkanmu sendiri dengan sikapmu yang sangat dingin itu. Sungguh menyebalkan," ucap batin Felysia.