Chapter 78 - Terpana

Tiba tiba mereka di interupsi oleh pramugrari yang menanyakan menu makan malam. Bryan kemudian meminta menu makan malam yang tidak terlalu berat tapi mengenyangkan. Tidak berapa lama pesanan makanan terhidang di meja di depan mereka.

"Kamu belum makan malam kan Snowflakes?" tanya Bryan lembut sambil membelai rambut Nisa. Nisa menggeleng saja tak menjawab. Bryan ingin menyuapi Nisa tapi Nisa menggeleng dan memilih untuk makan sendiri. Mereka berdua hanya makan malam sambil sesekali memandang satu sama lain tanpa bicara satu sama lain.

Selesai makan, Bryan kemudian mengambil sebuah selimut untuk menyelimuti kaki Nisa agar ia tidak kedinginan. Selama beberapa jam perjalanan yang sudah dihabiskan, keduanya tak berbicara. Hanya Bryan yang terus menggenggam tangan Nisa agar ia tidak merasa gugup jika ada turbulensi. Tak lama kemudian, Nisa pun mengantuk dan hendak tidur.

"Kita istirahat di kamar aja ya, ayo!" ajak Bryan menggendong Nisa tanpa menunggu persetujuannya. Bryan membawa Nisa masuk ke dalam sebuah kabin yang memiliki ranjang dan sebuah meja di sudut. Nisa lalu diletakkan Bryan di atas ranjang sebelum Bryan menutup pintu dan menguncinya.

Ia kemudian membuka mantel dan jasnya. Nisa hanya memandanginya saja tanpa bicara atau protes. Setelah membuka sepatunya dan membuka sepatu Nisa, Bryan mengajak Nisa berbaring. Entah mengapa Nisa mau ikut berbaring di samping Bryan. Ranjang itu tidak terlalu sempit ataupun lebar, masih cukup untuk mereka berdua.

"Tidurlah, besok kita sampai," bisik Bryan sambil menyamping memandang Nisa. Ia mengelus punggung Nisa agar ia nyaman. Nisa kemudian melirik pada dasi Bryan yang masih terpasang, ia pasti tidak nyaman tidur dengan masih memakai dasi. Nisa pun melepaskan dasi dan melongarkan kemeja Bryan agar lebih nyaman. Bryan hanya tersenyum saja diberi perhatian oleh Nisa.

Segala ketakutan dan keraguannya seolah sirna saat Nisa memperlakukannya begitu manis. Setelah meletakkan dasi di pinggir tempat tidur, Nisa kembali berbaring berhadapan dengan Bryan. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di dada Bryan sementara dan Bryan masih terus mengelus bahu dan lengan Nisa. Tidak butuh waktu lama bagi Nisa untuk akhirnya menutup mata dan tertidur. Beberapa kali terjadi turbulensi dan Nisa tidak bangun artinya ia benar-benar sudah tidur, Bryan kemudian mengecup kening Nisa dan ikut tertidur.

Pesawat Bryan mendarat di bandara pukul 7 pagi atau pukul 12 siang waktu Jakarta. Sebelum keluar ia memakaikan mantel panjang pada Nisa agar ia tidak kedinginan. Sekarang sedang ujung musim dingin cuaca mulai hangat karena musim semi hampir datang. Tapi angin masih membuat beberapa orang yang tidak terbiasa udara dingin bisa kedinginan. Turun dari pesawat, Nisa setengah dipeluk Bryan masuk ke sebuah mobil Rollsroyce dengan beberapa pengawalan di depannya.

Entah kapan Bryan mempersiapkan semuanya. Yang jelas, rombongan mobil itu langsung menuju mansion The Great Alexander, kompleks mansion milik keluarga Alexander selama ratusan tahun secara turun temurun. Bryan hanya sempat menghabiskan beberapa bulan umurnya tinggal di mansion itu, Ayahnya Hans membawa Bryan setelah Ibunya meninggal untuk tinggal di Indonesia .

Tapi dulu Bryan selalu pulang ke Belanda ketika libur Natal atau saat festival keju di Belanda. Sekarang ia mulai jarang pulang, setelah VanAlex pindah ke US, ia makin jarang pulang ke rumah Kakeknya. Kini mansion utama The Great Alexander di urus dan dikuasai oleh Darren karena Hans jarang sekali pulang.

Mata Nisa membesar dan ia membuka mulutnya saat kelaur dari mobil. Ia sampai menengadah melihat bangunan sangat besar dan tinggi di depannya. Ini sebuah rumah, bangunan ini bisa memuat ribuan orang. Bryan yang melihat hanya tersenyum kemudian menarik pinggang Nisa dan membawanya masuk.

Di dalam, para pelayan sudah berbaris menyambut salah satu pemilik rumah. Darren dan beberapa pengawal di belakangnya berjalan ke depan Bryan.

"Welcome home my Boy!" (Selamat datang Anakku) ucapnya sambil memeluk Bryan.

"And welcome to you too Milady," (dan selamat datang juga bagimu, Tuan Putri) ujar Darren membungkuk ala ksatria lalu ikut memeluk Nisa. Nisa sempat sedikit terkekeh saat Darren memeluk. Darren kemudian membawa kedua keponakannya itu masuk. Mansion itu terlalu besar untuk orang seperti Nisa yang tak pernah masuk ke mansion manapun, ia langsung terperangah.

'Aku pasti tersesat jika berada disini sendirian,' pikir Nisa saat mengedarkan pandangan ke semua arah sambil berjalan. Darren kemudian meminta salah satu pelayan untuk mengantar Bryan ke salah satu master bedroom di kastil sebelah utara. Kamar Bryan yang jarang ia tempati hanya jika ia di rumah ini.

"Beristirahatlah, kalian pasti capek. Uncle senang kalian bisa datang," ujar Darren tersenyum ramah sebelum pergi meninggalkan Bryan dan Nisa di ujung sebuah koridor sebelum masuk ke kastil sebelah utara. Bryan kemudian tersenyum saja dan melanjutkan berjalan bersama Nisa dan beberapa pelayan wanita.

Sampai di kamar yang luasnya dua kali rumah Nisa, Nisa masih bingung dengan apa yang terjadi. Sekejap ia bisa berada di sebuah negara yang tidak pernah ia pikirkan akan ia kunjungi. Rasanya seperti mimpi.

"Snowflakes kalau kamu mau mandi, air panasnya sudah disiapkan, kamar mandinya di sana," ujar Bryan menunjuk ke sebuah lorong di kamar itu. Nisa mengangguk. Bryan terlihat sudah membuka jas dan dasinya.

"Santai aja, ini rumah kamu juga," ujar Bryan tersenyum dan mencium kening Nisa. Ia lalu pergi keluar ke sebuah pintu di salah satu sisi kamar namun bukan pintu masuk sebelumnya. Nisa kemudian melepaskan mantelnya dan menuju kamar mandi. Betapa terkejutnya Nisa ketika melihat kamar mandi yang begitu besar dengan lantai batu marmer yang sangat indah. Terlihat sebuah jakuzi besar dengan air hangat yang masih mengalir dan sebuah shower di sudut ruangan bisa menampung sampai 5 keluarga.

Pemandangan dari jakuzi bahkan langsung mengarah ke sebuah taman dengan berbagai macam bunga tulip yang hendak mekar. Nisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ini pasti mimpi. Ia berkali-kali mencubit dirinya. Ternyata bukan mimpi. Nisa pun melepaskan seluruh pakaiannya dan mulai masuk ke jakuzi tersebut. Berendam di air hangat memang benar-benar menenangkan. Dia merasa seperti sedang liburan. Nisa benar-benar bahagia, ia jadi lupa ada rasa kesal dipaksa Bryan tiba-tiba naik pesawat ke Amsterdam.

15 menit kemudian ia selesai mandi. Dengan masih memakai handuk, Nisa membawa baju yang ia pakai tadi keluar kamar mandi. Ia mengintip dari balik pintu melihat keberadaan Bryan. Bryan sepertinya belum kembali ke kamar. Akhirnya setelah merasa aman, Nisa keluar dan mencari jika ia bisa memakai baju bersih.

Nisa menemukan walk in closet di balik pintu di dekat kamar mandi dan membuka salah satu lemari. Betapa terkejutnya ia melihat isi lemari yang penuh dengan pakaian dan pakaian dalam ukurannya. Kapan mereka menyiapkan ini semua? Nisa kemudian mengambil sebuah dress lengan dengan rok di atas lutut.

Setelah siap berpakaian dan sedang menyisir rambutnya, Bryan baru masuk dengan kemeja yang sama. Ia hanya tersenyum pada Nisa dan langsung masuk ke kamar mandi. Bryan baru keluar dengan bathrobe putih dan rambut basah 15 menit kemudian. Nisa akhirnya bisa melihat pemandangan yang tidak pernah disaksikannya, Bryan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Bryan hanya tersenyum saja melintas di depan Nisa dan masuk ke walk in closet. Lalu kemudian muncul lagi di hadapan Nisa dan menarik tangannya masuk ke walk in closet.

"Pilihkan pakaian untuk Kakak Snowflakes," Nisa hanya menyengir aneh. Biasanya ia hanya memakaikan jas jika di kantor. Hari ini ia harus memilih pakaian.

"Kita mau kemana?" tanya Nisa.

"Makan siang, lalu ke pemakaman." Nisa mengangguk. Ia pun membuka salah satu lemari dan berpikir pakaian apa yang cocok dipakai Bryan. Nisa memilih sebuah sweater dan jas. Bryan tersenyum dan mengangguk. Ia juga berpikiran sama, Bryan tidak ingin terlalu formal hari ini. Nisa ternyata bisa membaca pikirannya. Itu sebuah tanda yang bagus.

Bryan lalu membuka bathrobe-nya dengan santai di depan Nisa. Nisa yang kaget langsung berbalik. Bryan hanya tertawa melihat tingkah Nisa. Ia kemudian memeluk Nisa dari belakang.

"Kita sudah hampir bercinta seminggu lalu kenapa kamu masih malu." Bryan berbisik lalu sedikit mengecup ujung daun telinga Nisa. Ternyata Bryan memakai celana pendek ketika Nisa menyadarinya. Masih dalam mode defensif Nisa, Bryan akhirnya mencium sisi kepalanya sambil tergelak kecil.

"You are so cute!" ujarnya berbalik mengambil pakaian pilihan Nisa. Ia hanya menambahkan kaos putih lengan pendek sebelum memakai sweater dan celana panjang. Nisa tidak bicara dan hanya memadang saja Bryan yang berganti pakaian di depannya dengan wajah mengambek. Bryan hanya membalas dengan senyuman dan pergi meninggalkan Nisa di dalam walk in closet.