Chapter 59 - Jealous

Nisa menggeleng keras. Bryan tersenyum tipis melihat ancamannya pada Nisa membuatnya menyerah meski sedikit sakit karena Nisa terus menolaknya.

"Ayo tiduran, Snowflakes!" ujar Bryan memberi perintah membuat Nisa pasrah tidak bisa berkutik, ia terlentang dan memejamkan matanya erat-erat berharap Bryan tidak berbuat yang tidak-tidak padanya. Bryan hanya menggeleng dan tersenyum. Nisa benar-benar belum bisa mempercayainya ternyata.

Bryan lalu menarik sedikit baju Nisa agak ke atas dan terlihatlah sedikit perut mungil Nisa. Jika tidak dalam keadaan sakit, ingin sekali Bryan menciumi perut dan pinggang imut itu. Bryan menempelkan dengan lembut hotpacks tepat di bawah pusar. Dan ia memegangi hotpack itu agar tetap berada di tempat yang diinginkan.

"Snowflakes, cobalah untuk tidur, biar sakitnya reda," ujar Bryan lagi masih dengan nada lembut yang sama. Nisa mengangguk kemudian agak menyampingkan tubuhnya hingga merasa nyaman. Telapak tangan Bryan masih berada di perut Nisa. Di posisi seperti ini Nisa tidak memiliki tenaga untuk melawan Bryan. Sehingga ia membiarkan Bryan meredakan sakitnya.

Lama kelamaan, Nisa merasa nyaman dengan sentuhan Bryan dan hotpack yang menempel di perutnya. Melihat Nisa yang mulai mengantuk, sebelah tangannya kemudian membelai kening dan rambut Nisa sampai ia tertidur. Bryan ingin sekali berlama-lama memandang Nisa yang mulai tidur tapi ia ingat sudah meninggalkan ruang pertemuan terlalu lama.

Bryan kemudian memasukkan hotpack itu dalam baju Nisa dan memastikan benda itu tetap menempel dengan baik. Ia juga melepaskan sentuhannya perlahan. Bryan kemudian bangun mengambil selimut, menyesuaikan dingin ruangan, menutup tirai serta menghidupkan lampu remang agar Nisa dapat istirahat dengan tenang. Sebelum pergi ia sempat mencium kening Nisa beberapa kali.

"Cantik!" gumam Bryan saat mengecup sisi kening Nisa beberapa kali.

Bryan tidak pernah perduli pada kebutuhan wanita sebelumnya tapi pada Nisa ia bahkan bisa berusaha untuk membuat tamu bulanan Nisa jadi lebih nyaman. Bryan keluar sambil menghidupkan kamera pengawas yang ada di kamar itu. Kamera itu hanya bisa terhubung di handphone Bryan. Dia berencana menyelesaikan meeting lalu pulang mengantar Nisa yang sakit.

Jam makan siang, Bryan meminta salah satu staf untuk membeli bubur untuk Nisa. Tepat pukul 12.30 siang, Bryan masuk ke kamar itu lagi membawa bubur yang tetap hangat karena ditempatkan dalam sup container bersama segelas jus buah. Nisa belum bangun dan masih dalam posisi tidur yang sama.

Bryan kemudian melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemeja. Ia lalu duduk di sebelah Nisa yang membelakanginya. Bryan kemudian menyentuh bahu Nisa dengan lembut hendak membangunkannya. Entah berapa lama Bryan bisa menahan diri tidak memeluk Nisa dan menciumnya. Tapi ia tidak ingin Nisa marah padanya, akhirnya ia hanya mencium ujung kepala dan bahunya.

"Snowflakes, bangun Sayang, kamu harus makan," ujar Bryan setengah berbisik. Nisa yang mulai sadar pelan membuka matanya dan membalik dengan pelan tubuhnya. Bryan merasa deja vu karena mereka pernah berada dalam posisi seperti ini ketika SMP dulu di perpustakaan. Tapi saat itu, Nisa tidak mengetahui perasaan Bryan padanya.

Bryan tersenyum manis pada Nisa sebelum akhirnya sedikit menjauhkan tubuhnya. Ia kemudian mengambil nampan berisi makanan dan bubur untuk Nisa. Tubuh Nisa sudah lebih baik ia mampu bangun dan duduk dengan sendirinya. Ia melepaskan hotpack yang sudah tidak lagi panas dan menyerahkannya pada Bryan. Ia mengucapkan terima kasih untuk makanan dan hotpacknya.

"Apa setiap bulan kamu sakit seperti ini?" tanya Bryan dan Nisa mengangguk

"Kalau begitu setiap kamu datang bulan, kamu istirahat gak usah ke kantor, mengerti Snowflakes." Nisa mengangguk lagi. Tumben dia tidak protes dan menurut pada Bryan.

"Kakak sudah makan siang?" Bryan mengangguk. Ia hanya duduk bersila di atas tempat tidur memperhatikan Nisa menghabiskan makanannya. Nisa jadi sedikit salah tingkah diperhatikan seperti itu. Ia tidak mengerti mengapa semalam ia bisa mimpi Bryan akan menyakitinya. Padahal pada kenyataannya Bryan malah mengurusinya sakit.

Selesai makan Bryan membereskan nampan tempat makan Nisa dan berencana mengantarnya pulang. Nisa harus istirahat pikirnya. Nisa hanya memandang saja Kakaknya merapikan kemeja dan memakai jas. Bryan lalu mengambil sepatu Nisa dan berencana memakaikannya tapi Nisa menolak dan memilih memakai sendiri.

Bryan sudah terlalu banyak membantu, ia tidak ingin merepotkan lagi. Setelah mereka keluar dari kamar rahasia itu, Arya kemudian masuk dan hendak bertanya yang terjadi. Juan juga mengikuti Arya masuk.

"Nisa kamu sakit ya?" tanya Arya mendekat.

"Udah gak papa Kak Arya, Nisa udah baikan kok," jawab Nisa sambil tersenyum.

"Gue mau antar Nisa dulu," ujar Bryan masih sedikit memapah Nisa dengan memegang kedua bahunya.

"No, kita ada meeting sebentar lagi!" Arya spontan melarang sambil berkacak pinggang. Mata Nisa menoleh dari Bryan lalu pindah ke Arya.

"Ah, Kak. Nisa masih sanggup kerja kok!"

"NO!!" potong Arya dan Bryan serempak menyahut, Nisa sampai agak kaget membesarkan mata. Bryan kemudian memejamkan mata sejenak lalu menghela napas panjang.

"Snowflakes kamu harus istirahat, ambil cuti satu hari besok, lusa kamu baru masuk, Kakak akan antar kamu pulang," ujar Bryan pada Nisa. Arya langsung protes.

"No Bryan kita ada meeting penting 30 menit lagi. Gini aja biar Juan yang antar Nisa, bisa kan Juan?" tanya Arya lalu menoleh pada Juan. Juan spontan mengangguk.

"Tentu saja!" jawabnya tanpa ragu. Bryan langsung mengernyitkan kening menoleh pada Juan.

"NO WAY... I-i mean, hhmm, bisa gak lo aja yang datang ke meeting itu?" ujar Bryan berbisik pada Arya.

"HELL NO! Gue bukan CEO! we need you!" Bryan menarik napas panjang kecewa.

"Nisa gak masalah diantar Juan, toh Juan udah tau tempat tinggal Nisa!" celetuk Nisa tiba-tiba. Mata Bryan seketika membesar dan berbalik melotot pada Nisa. oh tidak, banyak yang terjadi di belakangnya dan dia tidak tau. Bryan tidak bisa menepis firasatnya bahwa kepala keamanannya terlihat tertarik pada Nisa. Dia pria normal dia tau persis seperti apa jika pria tertarik pada wanita.

"kaLau begitu tidak ada masalah, Juan, Nisa tanggung jawab kamu pastikan dia sampai di rumahnya dengan selamat!" Arya menambah penderitaan Bryan dengan memberi perintah seperti itu. Bryan hendak protes tapi Juan dengan cepat mengangguk dan berdiri disamping Nisa hendak mengantarnya pulang. Juan bahkan setengah memapah Nisa memegang kedua bahunya untuk diantarkan pulang.

Bryan benar-benar tidak bisa berkata apa-apa sampai Nisa keluar dari ruangannya bersama Juan. Dia menyisir rambut dengan tangannya tanda frustasi. Selesai mereka keluar, Bryan melotot Arya dengan tatapan kesal. Arya yang awalnya trsenyum melihat Juan dan Nisa keluar bersama langsung mengernyitkan kening begitu menoleh pada Bryan.

"What?" tanya Arya sambil mengernyitkan kening heran.

"Lo tega ngelakuin itu, dia cewek gue!" semprot Bryan kesal.

"Come on man, dia masih belum jadi milik lo, dan Juan gak akan macam-macam percaya deh!" balas Arya membela diri.

"HAA... lo gak bisa liat dia naksir Nisa!!"

"Bryan, be confident, Nisa kenal lo lebih lama daripada Juan, dia akan milih lo percaya ma gue, ayo kita harus pergi sekarang!" Arya hendak keluar ruangan sambil mendorong Bryan untuk ikut.

"Gimana lo bisa yakin, lo baru kasih kesempatan Juan buat ngedeketin Nisa!" Bryan masih bersikeras. Arya menggaruk kepalanya.

"Percaya gue deh, Bry. Dia bakalan jadi milik lo, udahlah jangan cemburuan!" Bryan kesal setengah mati di dorong Arya keluar ruangan. Mereka harus segera ke pertemuan yang menentukan pemenang tender.

"I hate meeting!" rutuk Bryan begitu keluar dari ruangan.