Pukul 10 Albert Wijaya sebagai calon klien sudah berada di ruang meeting kecil di sebelah ruang Arya. Albert berencana membangun resort dan hotel di kawasan Gili Trawangan setelah ia sukses membangun resortnya di Bali. Ia ingin menggunakan jasa HG CORP untuk merancang dan membangun resort serta hotel berbintang yang diinginkannya. Memang bukan proyek besar bagi HG CORP, namun mengingat Albert adalah teman keluarga Alexander dan Mahendra maka Bryan memberi perhatian khusus bagi teman ayahnya itu.
Arya dan seorang staf nya sudah berada di ruangan dan berbicara santai dengan Albert. Lalu tidak lama Bryan dan Nisa masuk. Kemudian meeting pun dimulai. Albert meminta secara khusus agar Arya yang menjadi arsitek. Ia akan menggambar rancangan dan desain untuk hotel dan resort tersebut. Itu termasuk interiornya.
Meeting sudah berlangsung 1 jam lebih dan Nisa merasa efek obat pereda nyeri mulai hilang. Ia mulai merasa tidak nyaman lagi. Tapi harus menahan sakit karena ia masih harus mencatat pertemuan itu. Tidak ada yang memperhatikan jika wajah Nisa mulai pucat dan ia mulai tidak konsentrasi mengambil catatan.
Napas Nisa mulai tersengal. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Napas tak teratur hanya akan membuat rasa sakit semakin naik. Biasanya pada hari pertama Nisa menggunakan kompres dengan handuk air hangat dan berbaring istirahat.
Terlebih beberapa hari ini Nisa memang terlalu lelah, karena pekerjaannya sebagai PA mulai banyak dan menumpuk. Sebelumnya ia berbagi pekerjaan dengan Bram, sekarang ia harus mengerjakan semua sendiri. Ditambah lagi belakangan ia mimpi buruk hingga puncaknya semalam saat ia bermimpi hal yang buruk akan terjadi padanya.
Nisa mulai memejamkan mata dan mengernyitkan kening menahan rasa sakit yang mulai membuatnya berkeringat di ruang ber AC. Wajahnya sudah sangat pucat dan tubuhnya mulai tak kuat ingin membungkuk. Nisa menarik napas panjang dan menegakkan kembali tubuhnya. Semua orang sedang berdiskusi dan tak melihat keadaan Nisa sama sekali.
Sampai Bryan kemudian memalingkan wajahnya tak sengaja melihat Nisa. Ia mengernyitkan kening melihat Nisa yang sudah pucat tapi masih terus berusaha mencatat. Peluhnya mulai terlihat dari garis rambutnya. Bryan menoleh lagi pada Arya yang masih sibuk berdiskusi. Selagi Arya dan stafnya masih berdiskusi dengan Albert, Bryan mendekatkan kursinya pada Nisa, Nisa yang menyadari reflek menjauh namun Bryan menarik lembut lengan Nisa dan berbisik
"Kamu sakit, Snowflakes?" Nisa menggeleng mencoba berkompromi dengan tubuhnya sendiri. Namun Bryan tidak bisa dibohongi. Ia kemudian bangun dan mencoba keluar dari ruangan.
"Maaf permisi sebentar, ada yang harus dihubungi, lanjutkan saja diskusinya. Aku akan kembali sebentar lagi," ujar Bryan tersenyum pada Albert dan Arya yang masih terus berdiskusi tentang proyek itu. Arya ikut memberi anggukan dan Albert bahkan mempersilahkan Bryan untuk keluar.
Bryan lalu memberi tanda pada Nisa agar berdiri dan mengikutinya. Ia membuka pintu dan Nisa yang pertama keluar sebelum Bryan. Setelah itu Bryan berjalan dan diikuti oleh Nisa, namun baru sampai di tengah koridor ke ruangan Bryan, Nisa sudah tidak sanggup lagi menahan sakit. Catatannya jatuh dan ia reflek membungkuk menahan sakit.
Bryan yang kemudian menoleh ke belakang seketika sadar Nisa tidak lagi mengikutinya. Matanya membesar saat melihat Nisa yang kesakitan dan tidak sanggup lagi berdiri sambil berpegangan pada handel salah satu pintu. Bryan setengah berlari menangkap tubuh Nisa dengan panik
"Dan kamu bilang kamu gak sakit!" ujar Bryan kesal langsung menggendong Nisa ala bridal style. Nisa sempat melawan dan hendak turun dari gendongan Bryan. Tiba tiba ingatan akan mimpinya semalam membuat tubuhnya seperti otomatis menjauhi Bryan. Tapi pegangan Bryan lebih kuat sehingga sia sia usahanya untuk melepaskan diri.
"Jangan ngelawan, Sayang!" hardik Bryan terus membawa Nisa ke ruangannya. Nisa tak bisa bersuara karena takut akan dilihat oleh pegawai lainnya jika Bryan menggendongnya sekarang.
Bryan langsung masuk ke ruangannya dan menuju kamar rahasia. Nisa makin ketakutan dibawa lagi ke dalam sana. Dia mencoba agar diturunkan tapi yang ada malah mendapat delikan mata dari Bryan.
"Berhenti melawan, it won't work!" Nisa akhirnya pasrah ia sudah membayang kan mimpi buruknya akan menjadi kenyataan. Masuk ke dalam kamar rahasia, Bryan meletakkan tubuh Nisa di ranjang dengan lembut. Tidak seperti yang Nisa bayangkan. Bryan melepaskan sepatu Nisa dan meletakkannya di sudut kamar. Nisa yang sudah tidak tahan akhirnya menyerah dengan berbaring dan meringkuk dengan membulatkan bentuk tubuhnya. Bryan sesungguhnya tidak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya Nisa sakit apa.
"Snowflakes, kamu kenapa?" tanya Bryan sambil duduk di samping Nisa. Nisa hanya menggeleng lemah. Nisa terus memegangi perutnya jadi asumsi Bryan jika Nisa sakit perut.
"Kamu udah sarapan tadi pagi?" Nisa mengangguk. Bryan dengan cemas terus memandangi Nisa dan mencoba mencari tau apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Kamu gak mau bilang sama kakak kamu kenapa?" Bryan masih bertanya. Dan nisa masih diam saja. Ia tidak mungkin memberitahukan pada Bryan tentang keadaannya.
'Harusnya dia pergi saja dan membiarkan aku istirahat,'- ujar Nisa dalam hatinya.
Melihat Nisa tak memberikan jawaban sama sekali, Bryan akhirnya mengangguk.
"Oke, kalo gitu Kakak panggil dokter aja kalau gitu!" ujar Bryan hendak beranjak ketika tangan Nisa kemudian menahan lengannya.
"Jangan, Nisa... Nisa gak apa Kak, Nisa sudah biasa begini." Nisa memejamkan mata lagi karena rasa sakit yang lebih besar datang lagi. Bryan jadi makin cemas melihat Nisa. Ia sempat mengelus punggungnya tapi keringat Nisa keluar lebih banyak.
"Apa maksudnya kamu selalu sakit, kamu sakit apa?" Nisa tidak menjawab dan menggeleng tapi wajahnya malah merona karena malu.
"Nisa... Nisa c-cuma sakit biasa... perempuan." Suara Nisa makin lama makin kecil. Bryan sampai tidak mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya.
"Kakak gak ngerti. Kamu kenapa, Sayang?" taya Bryan makin lembut. Ia juga makin mendesak Nisa untuk menjawab dan Nisa terus membenamkan kepala ke bantal. Bryan terus mendekatkan wajahnya bertanya dan Nisa hanya takut-takut melirik pada Bryan. Sampai akhirnya, Nisa akhirnya menyerah.
"Nisa sedang... datang... bulan, Kak." Alis Bryan terangkat ke atas begitu ia mendengar jawaban itu. Bryan menarik napas lega dan tersenyum setelahnya.
"Lalu kenapa kamu ke kantor, kamu bisa telepon Kakak minta cuti hari ini?" Nisa menggeleng.
"Hari ini ada meeting penting habis makan siang, proyek paling besar yang harus dimenangkan HG kan, Nisa ga boleh libur," jawabnya dengan suara lemah. Sejenak Bryan kagum dengan dedikasi Nisa. Ayahnya benar, Nisa memang bisa diandalkan, dia rajin dan bertanggungjawab. Tangan Bryan lalu memindahkan beberapa helai rambut Nisa yang sedikit menutupi pipinya.
"Ya udah, kalo gitu kamu istirahat disini aja okey, mau Kakak ambilkan sesuatu Snowflakes?" tanya Bryan dengan lembut. Nisa menggeleng. Bryan mengambil satu buah bantal sehingga Nisa memeluknya. Dalam hatinya ia ingin dirinya yang menjadi bantal itu, tapi ia masih memiliki pekerjaan dan Nisa harus istirahat.
"Maaf ya, Kak. Harusnya Nisa masih di ruang meeting," ujar Nisa lemah dengan nada menyesal.
"Udah gak usah dipikirin. Nanti notulen kamu biar diselesaikan sama staf nya Arya aja. Kamu istirahat aja disini, hhhmm!" Nisa mengangguk sedikit menaikkan ujung bibirnya tersenyum.
"Biasanya, apa yang bisa meredakan rasa sakit kamu?" tanya Bryan lagi.
"Kompres hangat dan tidur," jawab Nisa lemah masih menahan sakit. Bryan menaikkan alis dan mengangguk. Tiba tiba ia ingat jika masih punya persediaan hotpacks yang biasa menemaninya saat musim salju di NY. Ia tidak sengaja membawa pulang beberapa saat kembali dulu. Setelah membongkar sebuah laci, Bryan menemukan 3 kantong hotpacks yang biasa dipakainya untuk menghangatkan tubuh dan jari di musim dingin. Setelah menghangatkannya sebentar, Bryan membawa hotpacks itu untuk Nisa.
"Sini, pakai ini!" Bryan berencana meletakkan hot packs itu di perut Nisa. tapi Nisa reflek menolak tangannya.
"Gak apa Kak biar Nisa aja."
"Sini biar Kakak yang kompres, dimana sakitnya?"
"Jangan Kak beneran!" tangan Nisa masih menolak tangan Bryan yang berada di depan perutnya.
"Kakak gak akan ngapa-ngapain Snowflakes, beneran!" Nisa masih terus menolak sampai akhirnya Bryan harus agak memaksa.
"Kalo kamu gak nurut, Kakak akan cium kamu sampai kakak puas, mau?".