"Bry, gua rasa kita harus... wooww... ada apaan ni!" mata Arya terbelalak melihat wajah Nisa berada tepat di pinggul Bryan. Nisa yang kaget lantas menekan pads yang hendak ditempelkannya tiba-tiba ke perut Bryan dengan telapak tangannya.
"Ahhh, ouch!" Bryan meringis kaget.
"Ah, m-maaf Kak, Nisa gak sengaja!" telapak tangannya masih berada di perut Bryan tapi kemudian ia sadar dengan reflek menariknya.
"Sorry, wrong time, gue balik nanti aja." Arya menyengir dan langsung keluar. Bryan menghela napas. Arya memang datang di saat yang tidak tepat padahal Bryan sedang menikmati saat berdua dengan Nisa, meskipun hanya untuk mengoleskan obat. Suasananya jadi aneh, Nisa pun segera berdiri dan mencoba segera keluar dari ruangan Bryan.
"Maaf Kak, Nisa permisi dulu!" Nisa langsung keluar bahkan sebelum Bryan sempat bicara apa apa. Bryan pun mengibaskan kedua tangannya ke udara, gagal sudah rencananya. Ia menggaruk tekuk belakang kepalanya ketika Arya masuk lagi dan tersenyum. Bryan memicingkan matanya tapi Arya langsung masuk tanpa rasa bersalah.
"I am really sorry, gue gak tau lo berdua sedang..."
"Jangan mikir yang gak-gak, dia sedang nempelin cooling pads di perut gue!" ujar Bryan sambil mengancing kemeja dan merapikan pakaiannya.
"Lain kali gue ketuk pintu, ato harusnya lo taro tanda DO NOT DISTURB di depan pintu jadi gue tau lo lagi ngapain," ujar Arya memprovokasi sambil menyengir.
"Shut up. ayo kesini gue ketemu lack di cetak biru nya." Bryan mengajak Arya ke meja visual untuk melanjutkan kembali pekerjaannya.
Sesuai jadwal Nisa mendampingi Bryan selama meeting dan mencatat beberapa hal. Sebenarnya ada hal yang mulai disetujui Nisa dari pendapat Bram tentang Bryan kemarin. Bram memang benar, Bryan itu pimpinan yang cerdas. Cara Bryan menjelaskan, mempresentasikan sampai memberi motivasi memberi nilai lain bagi Bryan dimata Nisa.
Selama ini Nisa mengira bahwa Bryan hanyalah anak manja yang angkuh tapi jika dulu pun di sekolah ia terkenal karena kecerdasannya maka itu bukanlah isapan jempol. Sekarang pun Nisa sebenarnya dibuat kagum oleh Bryan. Ia benar benar tau apa yang harus dilakukannya untuk perusahaan. Cara nya memimpin rapat terlihat sangat seksi.
"Ah, Nisa apa yang kamu pikirkan, dia Kakakmu!" hardik Nisa pada dirinya. Nisa langsung menutup mata dan mulai mengetik kembali di iPad-nya.
Selesai makan siang, Nisa kembali ke kantor sendirian. Bryan belum kembali dari meeting makan siang nya, dia sudah harus meeting lagi jam 3 sementara sekarang sudah jam 1.30. Bram sudah diberikan tugas lain oleh Bryan untuk mewakilinya pada suatu pertemuan maka tinggallah Nisa membereskan dokumen untuk meeting selanjutnya. Ia cuma sendiri di ruangannya sedang mengetik beberapa laporan ketika pintu dibuka. Nisa berpikir jika Bram sudah kembali tapi ternyata yang membuka orang lain.
"Hhmm selamat siang ada yang bisa saya bantu?" ujar Nisa setelah yang masuk bukanlah Bram melainkan seorang pria paruh baya tampan dengan setelan jas yang rapi. Ia tersenyum dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana.
"Maaf, aku pikir kamu Bram, apa dia sudah pensiun, apa anda penggantinya?"
"Tidak, saya hanya pegawai magang, Pak Bram sedang ada meeting di luar." Pria itu mengangguk dan tersenyum.
"Jadi kamu magang sebagai PA nya Bryan?"
"Iya benar, boleh saya tau anda siapa?"
"Ah maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Darren Alexander, Om nya Bryan" ujarnya sambil tersenyum ramah.
"Maafkan saya tidak mengenali anda, nama saya Deanisa Melody," jawab Nisa sambil sedikit membungkuk memberi hormat dan membalas senyuman tamu yang ada di depannya.
"Deanisa Melody? Kamu bukannya putri nya Rita, istri Hans?" tunjuk Darren
"Iya, benar."
"oohh... jadi kamu sudah mulai bekerja untuk perusahaan ini? Baguslah kalau begitu." Darren masih tersenyum.
"Kita mungkin pernah bertemu sewaktu ibu kamu menikah dengan Hans, kamu bukannya gadis pengiring pengantin?" Nisa mengangguk sambil tersenyum. Dia tidak menyangka Darren masih mengingatnya padahal Nisa sendiri tidak ingat adik papa nya ini. Setelah Hans menikah dengan ibunya, Darren hanya datang sekali saat pesta itu dan tidak pernah terlihat datang lagi ke Indonesia.
"Om mau bertemu dengan Bryan, apa dia ada di ruangannya" tanya Darren kemudian
"Oh, Pak Bryan belum kembali, tapi Om boleh menunggu di ruangannya jika mau, dia tidak ada janji sampai jam 3."
"Pak?"
"Ini masih jam kantor" jawab Nisa langsung.
"Ohh iya, kalau begitu saya tunggu di ruangannya, terima kasih Deanisa, senang bisa bertemu denganmu lagi." Darren mengangguk mengerti dan tersenyum. Ia kemudian keluar ruangan Nisa dan menuju ruangan Bryan.
Wah sepertinya seluruh keluarga anggota Alexander kalau tidak ganteng ya cantik. Rasanya tidak ada satu pun dari anggota keluarga itu yang tidak memiliki kesempurnaan fisik. Nisa jadi melihat dan jadi membandingkan dirinya sendiri. Ia merasa minder dan biasa saja. Rasanya seperti orang biasa yang masuk dalam keluarga kerajaan.
15 MENIT KEMUDIAN
Bryan tiba di lobby kantor jam 2.10 siang. Makan siang tadi menghasilkan beberapa kesepakatan penting bagi kerjasama bisnis HG Corp ke depan. Ia kemudian langsung masuk lift dan menuju ruangannya di lantai 25. Sampai di pintu lift dan keluar Bryan menuju ke ruangan Nisa, ia mengetuk dan masuk menemukan Nisa sedang berada di depan desktopnya dengan setumpuk dokumen di sampingnya. Nisa menoleh ke arah Bryan lalu berdiri dari kursinya.
"Kamu sudah makan siang, Snowflakes?" Nisa mengangguk tanpa senyuman. Bryan sebenarnya tidak tau harus bicara apa, ia hanya iseng masuk ke dalam ruangan Nisa dan hendak melihatnya. Setengah hari berada di luar kantor tanpa melihat Nisa membuat Bryan kangen.
"Ada tamu untuk Kakak di ruangan," ujar Nisa kemudian.
"Siapa?"
"Om Darren Alexander." Bryan mengangkat alisnya.
"Oh Uncle Darren?" Nisa mengangguk saja. Bryan pun akhirnya ikut mengangguk.
"Untuk meeting jam 3 nanti, kamu bisa siapkan ruangannya. Sebentar lagi Kakak kesana." Nisa kemudian mengangguk lagi. Bryan lalu keluar dan menutup pintu. Bryan masuk ke ruangannya terlebih dahulu menemui Darren yang sudah menunggunya.
"Uncle udah lama datangnya?" ujar Bryan menghampiri dan langsung memeluk Darren ketika masuk ke ruangan.
"Oh, Putraku, gak terlalu lama baru lima belas menit," jawab Darren sambil tersenyum.
"Maaf Uncle, aku baru aja dari meeting."
"Kamu kelihatannya sibuk belakangan ini," ujar Darren lagi sambil tersenyum.
"Yah begitulah, Uncle bawa yang aku minta?" tanya Bryan lagi. Darren tersenyum dan mengeluarkan sebuah kotak panjang berwarna merah dan gold dari kantong jasnya.
"Seperti permintaan kamu," ujarnya sambil memberi Bryan sebuah kotak. Bryan lalu mengambilnya dengan senyuman dan berputar untuk duduk di kursinya.
"Uncle, mau minum kopi atau yang lainnya?"
"Tak apa... boleh Uncle tau untuk apa kamu membuat khusus liontin itu?" tanya Darren sambil duduk santai di depan Bryan. Bryan tersenyum sambil membuka kotak dan terlihatlah kalung emas putih dengan liontin simbol melodi yang terbingkai hati. Bentuk yang sama persis dengan tatto yang dimiliki Bryan. Kalung itu sempurna terpahat dari bahan terbaik dengan berlian berwarna pink di tengah liotin.
"Hadiah Natal," jawab Bryan sambil tersenyum. Darren bertanya dengan menaikkan alisnya. Jauh-jauh memesannya dari Inggris sampai Darren sendiri yang harus mengambilnya hanya untuk hadiah Natal. Pasti orang yang spesial. Bryan tau apa yang dipikirkan oleh Pamannya itu.
"Apa dia seorang gadis?" tanya Darren dengan wajah tenang. Bryan mengangguk tanpa ragu, dan menyimpan kembali dengan rapi kalung tersebut.
"Apa dia orang yang spesial untuk kamu?"
"Lebih dari itu." Darren makin memicingkan matanya namun masih tersenyum.
"Sejak kapan?" Bryan tampak berpikir sejenak
"Mungkin sejak... 12 tahun lalu," jawab Bryan tanpa menutupi. Darren kemudian terlihat seperti berpikir, lalu tak lama air wajahnya berubah. Ia memajukan tubuhnya mendekati Bryan.
"Apa gadis itu... PA barumu?" mata Bryan membesar saat Darren bisa menebak dengan tepat siapa gadis yang dimaksud Bryan. Apa ia menemui Nisa sebelum masuk?
"Gimana Uncle..."
"Daddy-mu tau soal ini?" potong Darren bertanya. Bryan menggeleng dengan wajah serius.
"Aku akan memberitahukannya nanti Uncle!"
"Bukannya dia adik tirimu, Bryan?" Bryan dengan kesal memejamkan mata. Hal yang sama terus diulangi setiap saat, Nisa adalah adik tiri.
"Secara teknis, dia bukan adik, kami tidak ada hubungan darah," sahut Bryan sedikit kesal. Darren pun tersenyum dan mengangguk.
"Dengarkan aku, Nak. Uncle, tidak mau kamu mengulang kesalahan yang dulu pernah kulakukan, jadi jika kamu butuh apapun, Uncle akan siap bantu kamu," ujar Darren memberi semangat.
"Apa maksud Uncle bilang seperti itu, kesalahan apa yang sudah Uncle perbuat?" Darren bingung harus menjelaskan apa. Dia pun hanya bisa menjawab,
"Suatu saat kamu akan tau!".