Chapter 37 - Mendekat

BEBERAPA MINGGU SEBELUMNYA

Bryan tidak bisa tidur, perjalanan menuju Jakarta masih terlalu lama. Sepertinya Arya juga sudah terlelap. Bryan kemudian menarik napas dan menyandarkan lagi kepala nya melihat kompartiment di atas pesawat. Ada yang ingin ia lakukan tapi tidak berani bertaruh, bagaimana jika ia tidak bertemu dengannya lagi? Ah masa bodoh, Bryan pun mengambil ponsel dan mendial nomor Darren Alexander.

"Hai Uncle," sapa Bryan.

"Hello My Boy, dimana kamu? Uncle pikir kamu sudah berangkat?"

"Aku masih di pesawat uncle, uncle masih di rumah Kakek?"

"Tidak lagi, sekarang sedang bersiap mau ke Scotland."

"Uncle ke tempat Mama?"

"Nanti setelah aku pulang dari Scotland." Bryan terdiam sejenak. Sudah lama ia tidak mengunjungi makam Ibunya, mungkin sudah hampir 2 tahun.

"Aku akan datang ke makam Mama bulan depan."

"Tentu, dia pasti senang jika kamu datang." Terdengar beberapa orang sedang berbicara dan hembusan angin. Sepertinya Darren juga hendak naik ke pesawat.

"Apa yang terjadi Bryan? Apa kamu butuh sesuatu, Nak?" Darren memang paling mengerti Bryan. Bahkan Bryan belum bicara, Darren seolah sudah tau jika Bryan hendak meminta sesuatu.

"Ehmm, Uncle bisa bantu aku?"

"Tentu, katakan saja!"

"Hmm... ada toko perhiasan turunan keluarga di Chelsea, tolong buatkan sebuah liontin untukku, nanti aku kirim designnya."

"Boleh, kirim saja alamat toko dan designnya. Nanti Uncle mampir ke Chelsea." Bryan tersenyum mendengar jawban Darren. Pamannya selalu bisa diandalkan.

"Apa uncle bisa mengantarkannya langsung ke aku setelah selesai dibuat?"

"Bisa, kalau begitu nanti kita bertemu ya. Sekarang Uncle harus pergi, pesawatnya sudah mau berangkat, Nak!"

"Hati-hati, Uncle. Terima kasih." Darren pun menutup panggilan itu. Sementara itu, Bryan tersenyum dan melanjutkan istirahat.

HG CORP

Usai bertemu Bryan di ruangannya, Darren kemudian keluar dan hendak kembali ke hotel tempatnya menginap tapi ia malah berpapasan dengan gadis cantik calon PA-nya Bryan di depan pintu lift karyawan. Melihatnya tengah menunggu lift terbuka, Darren memutuskan untuk ikut turun menggunakan lift yang sama. Nisa menolehkan wajahnya ke arah Darren dan tersenyum.

"Lho, Om Darren kenapa tidak pakai lift CEO aja?" tegur Nisa sambil tersenyum ramah. Darren hanya membalas dan menunggu lift dengan sabar.

"Ah tidak apa, kamu bisa sekalian temani saya turun," jawab Darren sembari membalas senyuman. Deanisa tersenyum begitu ramah pada Bryan. sekilas, Darren jadi teringat pada Anna, Ibunda Bryan Alexander. Nisa mengingatkan Darren pada Anna, mereka memang tidak mirip secara fisik tapi memiliki keramahan yang sama. Keduanya menghangatkan hati. Masuk ke dalam lift, rupanya Nisa pun menuju lantai dasar sama seperti Darren.

"Kamu betah disini?" tanya Darren berbasa-basi sambil melihat Nisa yang berada di sebelahnya.

"Nisa baru dua hari Om, sejauh ini baik-baik aja kok." Nisa tersenyum manis dan menggemaskan. Pantas jika Bryan menyukainya.

"Kalau Bryan, kamu betah sama dia?" Nisa menyengir dengan lugu mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menjawab tapi dari wajahnya Darren tau jika Bryan suka mengganggunya.

'Oh Bryan, kamu padahal sudah bukan anak kecil lagi. Kamu bahkan sudah sering gonta ganti pacar di New York tapi tidak bisa dijadikan pengalaman untuk mendekati gadis yang benar benar ia sukai, huh, Bryan!' ujar Darren dalam hatinya.

Tanpa sadar Darren menggeleng kepalanya pelan membayangkan tingkah Bryan pada Nisa. Tak lama pintu lift pun terbuka mereka tiba di lantai dasar HG. Darren kemudian sedikit mencegat Nisa sesaat sebelum ia pergi berlainan arah.

"Sebentar, Om mau bicara lima menit boleh?" Nisa mengangguk.

"Tentu Om," jawab Nisa lembut. Nisa gadis yang sopan dan dia mendengarkan dengan baik.

"Om cuma ingin kamu tetap berada disini, di samping Bryan, dan satu saat kamu bisa... menerima yang terbaik buat kamu dan Bryan," ujar Darren dengan ekspresi serius. Darren tau Nisa mungkin tidak mengerti arah pembicaraannya. Tapi ia tampak mencoba mencerna dan mengangguk pelan.

"Dia memang anak yang usil, tapi kamu tidak akan menyesal bekerja dibawah pengawasannya. Kamu harus percaya sama dia, yah?" lanjut Darren lagi berusaha memilih kata dengan tepat.

"Bersabarlah dengan Bryan, kalian berdua pantas mendapatkan yang terbaik," ujar Darren lagi sambil memegang kedua pundak Nisa dan menatap matanya.

"Kamu memang cantik Nisa, sampai jumpa," ujar Darreb sambil tersenyum sekali lagi dan berjalan menuju pintu keluar. Nisa hanya bisa memandang punggung Darren dengan kening mengernyit. Sesungguhnya ia benar-benar tak mengerti apa yang sedang dimaksudkan oleh Darren.

Sedangkan Darren sadar jika kini sejarah kembali terulang sekarang. Namun kali ini ia berharap jika Bryan tidak terlambat menerima perasaannya sendiri dan memperjuangkannya. Darren juga berharap Bryan tak merasakan yang dulu ia rasakan bersama Anna.

Tiga hari berlalu dan tidak ada perubahan yang terlalu berarti. Bryan masih terus sibuk dengan pekerjaannya sampai hari kamis pagi Nisa masuk seperti biasa ke ruangan Bryan menyajikan kopi dan makanan ringan, kemudian membacakan schedule nya hari itu. Arya masuk setelah Nisa selesai mencatat beberapa perintah Bryan di iPad nya.

"Pagi Nisa, kamu cantik banget hari ini," ujar Arya sambil tersenyum menggoda. Nisa pun membalas senyuman Arya dengan ramah seperti biasa.

"Pagi Pak Arya, Nisa siapkan kopi?" Arya mengangguk. Bryan yang berada di depan mereka berdua seolah dianggap tidak ada. Nisa pun langsung keluar ruangan untuk membuat kopi bagi Arya. Setelah Nisa keluar, Arya pun duduk sambil berguman.

"Cewek cantik pagi-pagi memang obat penyemangat hari paling mujarab," sindir Arya menggoda Bryan yang sedari tadi telah memicingkan mata.

"Are you done, she's my PA!" ujar Bryan ketus. Arya makin tersenyum.

"Come on man, gitu aja cemburu. Gua udah anggap Nisa adik gua sendiri," balas Arya. Bryan hanya bisa menghela napas.

"Kita ada meeting lunch dengan Om Albert nanti, lo harus ikut Arya." Arya mengangkat alisnya dan menyeringai.

"Dia berusaha jadi investor ya?"

"Sepertinya, dia sudah mengajukan penawaran lagi kemarin. Gua pikir lo juga harus ikut biar lo bisa analisa secara teknis." Arya mengangguk. Arya sebenarnya menghindar untuk bertemu dengan Albert Wijaya. Pengacara itu adalah salah satu teman Ayahnya sekaligus Ayah Indira, teman ia dan Bryan dulu.

Setelah pulang dari New York bersama Bryan, dia tidak menghubungi siapapun termasuk Indira. Sepertinya perasaan Arya pada gadis itu juga tidak lagi seperti dulu. Dulu rasanya, Arya akan melakukan apapun untuk menarik perhatian gadis itu. Sekalipun ia tau, Dira hanya mau dekat dengannya karena ada Bryan tapi ia tidak menyerah. Sampai saat Bryan pergi ke New York merupakan titik balik bagi Arya. Dia mulai melepaskan diri dari kendali Indira atas perasaannya.

Nisa kembali masuk ke ruangan dan menyajikan kopi bagi Arya. Arya tersenyum dan mengambil cangkir kopi dan menikmatinya.

"Hhmmh... kamu benar-benar pintar bikin kopi, makasih ya," uajrnya sambil menyeruput kopi dan memandang Nisa. Nisa pun mengangguk dan membalas senyuman Arya.

"Ehem, Nisa kamu ikut makan siang, ada meeting," ujar Bryan mengiterupsi pemandangan saling pandang Arya dan Nisa. Wajah Nisa yang tersenyum ketika berhadapan dengan Bryan langsung berubah.

"Baik pak, jika tidak ada lagi, Nisa mau kembali ke ruangan, permisi," ujarnya berbalik dan keluar. Bryan menggeleng tidak percaya, untuk Arya dia manis sekali giliran dengannya ia sungguh dingin.

'Ah gadis itu lama lama bisa buat aku gila!' pikir Bryan.

Waktu meeting makan siang sudah tiba, Bryan kemudian menunggu Nisa di ruangannya sampai akhirnya ia datang membawa beberapa dokumen yang diminta Bryan untuk disiapkan. Keduanya memasuki lift private dan langsung menuju lantai dasar. Bryan mencuri-curi pandang pada Nisa yang diam saja memandang lurus ke depan.

Hari ini Nisa memang berbeda. Jika biasanya ia membiarkan rambutnya tergerai, hari ini ia menguncir rambutnya. Dengan seragam kantor berwarna abu abu dan hitam, serta rok pendek diatas lutut menjadikannya terlihat segar dan seksi.

Ya seksi, rasanya cuma itu yang bisa dilihat Bryan setiap hari. Ia bahkan beberapa kali melonggarkan dasinya, seolah udara di sekitarnya mencekik. Lift sepertinya terlalu lama sampai ke lantai dasar. Tak ada satu pun dari mereka yang bicara.

Ding...akhirnya pintu terbuka dan Nisa keluar diikuti oleh Bryan. Arya sudah berangkat lebih dulu jadi Nisa harus satu mobil dengan Bryan. Kedua nya duduk di belakang dan di supiri oleh Denis, supir Bryan yang tiga tahun lebih muda darinya. Nisa mengira Bryan sudah memecat Denis karena ia menyela saat pertengkaran antara Nisa dan Bryan gara gara kopi panas.