Chapter 22 - Janji

Sehabis makan siang Arya kembali ke kantornya dan Bryan kembali ke ruangannya melakukan tinjauan pada beberapa laporan proyek VanAlex dan B-Hit. Sekretaris, PA hingga general manager bolak balik masuk dan mendiskusikan pekerjaan. Ketika sudah selesai hari sudah malam bahkan sudah lewat jam makan malam.

Bryan menarik napas dan merebahkan punggungnya pada kursi. Matanya menatap langit langit kantornya dengan pikiran yang melayang entah kemana. Tiba tiba sosok itu hadir lagi di benak Bryan. Sudah 12 tahun Bryan mencoba melupakan gadis itu tapi sebenarnya ia tidak pernah bisa. Tangan kanannya lantas meraba dada bawahnya lalu pandangan matanya beralih ke dadanya. Ia membuka tiga kancing kemeja nya dengan pelan dan terlihatlah sebuah tato bergambar nada, melodi terukir di kulitnya tepat di tulang rusuk atas.

Jari telunjuk Bryan mengusap dengan lembut tattoo yang sudah menemaninya selama lebih dari 10 tahun. Ia masih ingat setahun setelah tinggal di New York, ia dan Arya iseng masuk ke sebuah tattoo shop. Mereka akhirnya membuat tatto dengan pilihan masing masing. Arya membuat tatto sayap guardian angel dengan kata 'believe". Arya ingin menjadi malaikat penjaga bagi Bryan yang selalu percaya dan mendukungnya sampai kapanpun. Bryan sampai terharu mendengarnya.

Sedangkan Bryan memilih simbol nada, sebuah melody yang berbingkai ukiran hati. Arya tidak mau bertanya mengapa Bryan memilih tatto itu tapi itu cukup membuat Arya yakin jika Bryan benar benar sudah jatuh cinta. Melody adalah nama tengah Deanisa, gadis yang telah membuatnya pergi jauh meninggalkan rumah hanya untuk melupakan perasaannya. Itulah sebabnya mengapa Arya kadang suka menggoda Bryan dengan nama Nisa, Deanisa Melody terukir tepat di bawah jantungnya.

Bryan menarik napas berkali-kali dan menutup matanya. Sejenak ingatannya memutar kembali wajah lugu dan cantik milik Nisa. Jantungnya kemudian berdetak tiga kali lebih kencang ketika wajah Nisa ketika remaja tanggung muncul. Belum ada satupun wanita yang dikencani Bryan selama sepuluh tahun terakhir yang bisa membuat Bryan kehilangan akal.

Meski sakit tidak sempat memilikinya, tapi bayangan Nisa masih bisa membuat Bryan tersenyum. Bryan masih mengingat cantiknya Nisa dengan gaun bridesmaid pink di pernikahan ayahnya yang membuat Bryan hilang kendali dan mencium Nisa. Nisa pasti sangat membencinya gara gara kejadian itu.

Lamunan Bryan buyar saat Arya masuk ke ruangannya. Bryan mengancing kembali kemeja dan merapikan pakaiannya.

"Lo udah selesai kan, kita pulang yuk!" Bryan mengangguk dan ikut keluar bersama Arya. Mereka pun keluar dari VanAlex untuk makan malam berdua seperti biasanya. Hidup Bryan yang terlihat hingar bingar dari luar. Tapi ia sebenarnya menghabiskan malam-malam yang sepi sendirian tanpa pasangan yang jelas.

Yang baru melihat hal itu adalah Jayden Lin, saat pernah mampir ke apartemen Bryan karena terluka akibat sabetan pedang Hiroki Kagawa. Bryan juga tak mungkin terus mengganggu Arya saat ia kesepian. Arya juga punya kehidupan kehidupan sendiri dan Bryan harus bisa mengerti. Tapi Bryan selalu makan malam dengan sahabat masa kecilnya itu. Dan pembicaraan mereka tak jauh dari soal perempuan.

"Trus kenapa lo malah ngelakuinnya pagi bukan malam, bukannya dari malam lo udah bawa Emily masuk apartemen?"

"Ah itu... kita ngobrol semalaman dan pas gue pengen ngelakuin, dia uda keburu tidur. Jadi nya pagi hal itu baru kejadian," jawab Arya menyengir.

"Is she special?" Arya terdiam dan berpikir sejenak.

"Hhmm... dia cantik bahkan kalo gua boleh jujur dia gadis paling cantik yang pernah gue lihat."

"Uuuu... gua pikir Dira yang paling cantik buat lo!" goda Bryan. Arya merasa ada sedikit getir di dalam hatinya ketika nama Dira disinggung. Lalu ia hanya tersenyum tipis.

"Dira gak pernah menganggap gue ada Bryan, lo tau dia cuma suka sama lo, dan perasaan gue ke dia udah hampir hilang sepenuhnya." Bryan mengangguk tersenyum.

"Mungkin sekarang dia udah punya pacar atau bahkan menikah" tambah Arya lagi.

"Cewek lo itu, orang mana?" tanya Bryan.

"Dia bukan cewek gue, we are just.... sex buddies."

"Wow, dude lo dapat lotre dari mana?"

"Bryan..."

"Sorry, I don't mean it. Hehehe."

"Gue gak tau dia tinggal dimana, atau orang mana cuma dia seperti campuran Asia dan Eropa, rambut brunnete panjang dan punya bibir yang sangat gue suka."

"Wah gua kok jadi ngerasa lo sedang mendeskripsikan calon istri" Arya hanya menyengir. Mereka pun akhirnya melanjutkan sisa makan dan menikmati dessert sebelum akhirnya pulang dan beristirahat.

Beberapa hari kemudian, Bryan menelepon Ayahnya setelah menimbang apa yang harus dibicarakan. Bryan berniat ingin menghibur Hans setelah kematian istrinya. Pada dering ketiga telepon pun diangkat.

"Hi dad, it's me"

"Hi my Prince, Apa kabar, Nak?"

"Baik, Daddy sendiri?" Hans terdiam sejenak sebelum menjawab.

"Kurang sehat, Daddy sedang flu, hehehe," jawabnya sambil tersenyum di ujung telepon.

"Daddy harus banyak istirahat, aku gak suka lihat Daddy sakit" Hans tidak menjawab dan hanya tersenyum.

"Gimana keadaan Daddy, Alisha udah bilang kalo Tante Rita..." Bryan tidak melanjutkan kalimatnya. Hans sudah mengerti yang dimaksud Bryan.

"Yah beginilah, Tapi Daddy senang Rita pernah ada di rumah ini, dia benar benar buat Daddy bahagia hingga akhir hidupnya"

"Apa yang terjadi Dad?"

"Rita... dia mengidap kanker darah, ketika ditemukan sudah sangat terlambat untuk diobati, dia hanya sempat dua kali menjalani kemoterapi." Suara Hans terdengar sedih namun tetap mencoba menahan agar anaknya tidak menyadarinya. Bryan bisa mendengar dan dapat merasakan kesedihan Ayahnya. Ada rasa penyesalan di benak Bryan ketika ia meninggalkan rumah dalam suasana sehabis bertengkar dengan Hans. Tapi saat itu pilihan Bryan masih soal dirinya dan keegoisannya.

"Lalu sekarang, apa yang mau Daddy lakukan?"

"Belum tau, Daddy masih sulit untuk ke kantor, terlebih Nisa sudah gak di rumah lagi. Dia udah pindah ke rumah ibunya lagi setelah Rita meninggal."

Deg... deg... deg... jantung Bryan berdegup lebih kencang ketika mendengar Hans menyebut nama Nisa. Dia tak sadar meraba dan menekan dadanya, jantungnya seperti mau melompat.

"Di rumah hanya ada Alisha dan itu pun dia selalu sibuk dengan pekerjaan dan perawatannya di rumah sakit." Bryan masih terdiam belum tau mau menanggapi apa.

"Kamu sendiri, gimana dengan perusahaanmu, Nak. Daddy dengar kamu masuk tiga besar perusahaan paling besar capitalnya di dunia. Selamat ya, Daddy bangga sama kamu. VanAlex bisa besar lagi di tangan kamu."

"Makasih Dad." Hans kemudian sejenak menarik napas dan mulai bicara lagi.

"Bry, jika Daddy meminta kembali janji kamu sama Daddy, apa kamu bersedia pulang?" Bryan mengerutkan kening mencoba mengingat sesuatu. Ya sebelum pergi dia berjanji akan kembali dan mengurus perusahaan ayahnya. Dia bahkan sudah lupa janjinya.

"Hhhmmm, aku belum tau Dad."

"Apa kamu gak mau jadi penerus Daddy?"

"No, bukan itu maksudku, Dad, Bryan pasti akan mengurus HG untuk Daddy."

"Kalau begitu, Daddy ingin minta janji itu sekarang apa boleh?" Bryan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung harus menjawab apa.

"HG sedang defisit, properti disini sedang tidak bagus, mungkin sebentar lagi Daddy harus menjual perusahaan ini."

"Jangan, Dad, itu perusahaan yang Daddy bangun di luar VanAlex, perusahaan yang Daddy bangun dari dulu dengan keringat daddy sendiri."

"Maukah kamu mengurus HG untuk Daddy, dad ingin pensiun secepatnya."